tag:blogger.com,1999:blog-76774193206432183992024-03-12T18:36:35.706-07:00IMAM MALIKAl-Imamu-Imam Malikal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.comBlogger29125tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-3603904703589120292010-12-16T01:59:00.000-08:002010-12-16T01:59:03.682-08:00KONSEP BELAJAR MENURUT ISLAMOleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I.,M.Pd.<br />
<br />
Islam sebagai agama Rahmatan lil’alamin<br />
Iqra’ merupakan salah satu perwujudan dari aktivitas belajar.<br />
Dan dalam arti luas, dengan iqra’ pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki kehidupan.<br />
Betapa pentingnya belajar, karena itu dalam Al-Qur’an Allah SWT berjanji akan meningkatkan derajat orang yang belajar.<br />
KONSEP BELAJAR MENURUT AL-QUR’AN DAN HADIS<br />
Aktivitas belajar sangat terkait dengan proses pencarian ilmu.islam sangat menekankan terhadap pentingnya ilmu. <br />
Al-qur’an dan Hadis mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi.<br />
Kata al-ilm dan kata-kata turunnya digunakan lebih dari 780. beberapa ayat pertama menyebutkan pentingnya pena,pengajaran, membaca untuk manusia<br />
Qs. Al-’Alaq (96) ayat 1-5<br />
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,<br />
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.<br />
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,<br />
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],<br />
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.<br />
Menurut Quraish shihab<br />
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut dengan nama Allah dan didasarkan kepada Allah (bismi rabbik), dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.<br />
Iqra’ berarti; bacalah, telitilah,dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, tanda-tanda sejarah, diri sendiri, yang tertulis ataupun tidak.<br />
Beberapa Hadis Tentang Pentingnya Belajar dan Menuntut Ilmu.<br />
Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.<br />
Carilah ilmu walaupun di negeri cina.<br />
Carilah ilmu sejak dalam buaian hingga keliang lahat.<br />
Para ulama itu adalah pewaris para nabi.<br />
Pada hari kiamat ditimbanglah tinta ulama dengan darah syuhada,maka tinta ulama dilebihkan dari darah syuhada.<br />
Beberapa hal penting berkaitan dengan belajar<br />
Bahwa orang yang belajar akan dapat memiliki ilmu pengetahuan yang berguna untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan.<br />
Allah melarang manusia untuk tidak mengetahui segala sesuatu yang manusia lakukan.<br />
Dengan ilmu yang dimiliki manusia melalui proses belajar, maka Allah akan memberikan derajat yang lebih tinggi kepada hambanya.<br />
CARA BELAJAR<br />
Dalam Al-Qur’an, cara belajar untuk menghasilkan perubahan tingkah laku dapat ditempuh dengan dua cara;<br />
1. ilmu atau perubahan yang diperoleh tanpa usaha manusia (ilmu laduni) seperti yang diimpormasikan dalam QS. Al-Kahfi-65; 65. “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.<br />
Menurut Quraish Shihab<br />
Manusia dapat memperoleh ilmu laduni, namun baik ilmu laduni maupun ilmu kasbi tidak dapat dicapai tanpa terlebih dulu melakukan qira’at (dalam arti luas), aktivitas belajar.<br />
2. ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, Ilmu Kasbi.<br />
Dalam al-Qur’an, cara belajar yang membutuhkan usaha manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Najati (2005), dapat melalui meniru (imitasi) coba-coba (trial and error), atau melalui pemikiran dan membuat konklusi logis.<br />
Belajar Melalui Imitasi<br />
Pada awal perkembangannya bayi belajar hanya dengan meniru orang tuanya, atau orang-orang didekatnya. Ketika dewasa perkembangannya semakin kompleks, meniru juga masih tetap menjadi salah satu cara manusia untuk belajar, tetapi tokoh yang ditiru bukan hanya orang tua atau orang didekatnya, melainkan orang yang tidak dikenal secara langsung, tokoh-tokoh, ulama, atau orang berpengaruh melalui buku, media masa maupun media elektronik.<br />
Pengalaman Praktis dan Trial and Error<br />
Manusia juga belajar dengan menggunakan pengalaman praktis dan coba-coba (trial and error).<br />
Dalam ayat-ayat al-Qur’an juga dijumpai dorongan kepada manusia untuk mengamati, memikirkan ayat-ayat Allah yg ada di alam semesta. Manusia disuruh observasi terhadap objek, pengalaman praktis, interaksi dengan alam. Semua itu dilakukan dengan cara mengamati melalui pengalaman praktis, coba-coba (trial and error), dan berfikir.<br />
Berfikir<br />
Pada hakekatnya saat manusia berfikir sedang belajar menggunakan trial and error secara intelektual. Terlintas alternatif solusi dari persoalan yang dihadapi, lalu mempertimbangkan untuk dipilih atau tidak, kemudian memilih solusi yang tepat dan baik.<br />
Diantara ayat-ayat yang memberikan bukti, argumentasi untuk berfikir tentang kebesaran Allah SWT; Qs. Al-Ghosyiyah 17-20, Qof 6-10, al-An’am 74-79, Al-Shoffat 95, Al-Anbiya’ 66-67.<br />
Kita lihat satu persatu:<br />
17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,<br />
18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?<br />
19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?<br />
20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?<br />
Qoof 6-10<br />
6. Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun ?<br />
7. Dan kami hamparkan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata,<br />
8. Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah).<br />
9. Dan kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam,<br />
10. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun- susun,<br />
Al-An’am 74-79<br />
74. Dan (Ingatlah) di waktu Ibrahim Berkata kepada bapaknya, Aazar[489], "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."<br />
75. Dan Demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.<br />
76. Ketika malam Telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."<br />
77. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah Aku termasuk orang yang sesat."<br />
78. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, Ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.<br />
79. Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.<br />
[489] di antara Mufassirin ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Abiihi (bapaknya) ialah pamannya.<br />
SARANA BELAJAR<br />
Sarana belajar yang dimiliki manusia berupa fisik dan psikis sesuai QS An-Nahl ayat 78; <br />
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”<br />
Dari ayat diatas, dikatakan bahwa dlm proses belajar manusia diberi sarana fisik berupa indra eksternal, yaitu mata dan telinga, serta sarana psikis berupa daya nalar atau intelektual.<br />
Sarana Fisik<br />
Dalam Al-Qur’an, yang sering disebut adalah mata dan telinga. Namun demikian alat indera yang lain (pencium, peraba, perasa) tidak mempunyai fungsi dalam kegiatan belajar.<br />
QS. Al-An’am ayat 7 jawabannya: <br />
“Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.“ <br />
Sarana Psikis<br />
1. AKAL, sebagai sarana psikis belajar, QS. An-Nahl 78 jawabannya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” <br />
Menurut Quraish Shihab, Af –idah berarti daya nalar, Ibnu Katsir (af-idah adalah akal yang menurut sebagian orang tempatnya dijantung, sedang yang lain mengatakan tempatnya diotak. Akal identik dengan daya pikir otak yang mengantarkan pada pemikiran yang logis dan rasional.<br />
<br />
Ok kita lihat berita dari QS. Al-Mulk ayat 10; tentang penyesalan orang kafir yang tidak menggunakan akalnya dengan baik.”Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".<br />
2. Qalb, mempunyai dua arti,(1) fisik, jantung, berupa segumpal daging berbentuk lonjong terletak dalam rongga kiri. Dan metafisik, qalb sebagai karunia Tuhan yang halus. Qalb yang indah inilah hakikat kemanusiaan yang mengenal dan mengetahui segalanya serta menjadi sasaran perintah, cela, hukuman, dan tuntutan Tuhan.<br />
Dalam kamus Al-Munawwir, arti fisik qalbu (‘jantung’ jg ‘hati’). Non fisik diartikan (al-aql-inti akal), Kata Dzakirah (ingatan;mental) dan al-Quwwah al-aqilah (daya pikir).<br />
Sementara dalam kamus Al-Maurid, qalb nonfisik diartikan; 1) mind (akal/pikiran), 2) secret thought (pikiran tersembunyi/ pikiran rahasia.<br />
Qalbu sebagi alat untuk memahami realitas ciptaan Tuhan<br />
QS. Al-A’raf ayat 179 jawabannya:<br />
“ Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”<br />
Kata qulub (jamak qalb) aktifitas memahami ayat-ayat Allah, yang tidak bisa diartikan secara fisik, baik dalam arti jantung atau hati.<br />
Perbedaan antara akal yang ada di Otak dengan akal yang tersembunyi di Hati ada kata TAFAKUR DAN TADZZAKUR :<br />
TAFAKUR; mempunyai fungsi untuk memikirkan segala sesuatu setelah mendapatkan rangsangan dari panca indra.<br />
<br />
TADZAKUR; berfikir abstrak, yang menggabungkan antara kekuatan akal dan hati untuk merenungkan realitas ciptaan Tuhan, yang dapat dilakukan tanpa melalui aktivitas indriawi.<br />
KONSEP BELAJAR<br />
MENURUT TOKOH-TOKOH ISLAMAL-GHAZALI-AL-JARNUJI<br />
<br />
IMAM AL-GHAZALI<br />
A. Konsep Ilmu;<br />
Menurut beliau; proses belajar yang dilakukan seseorang adalah usaha orang tsb untuk mencari ilmu, karena itu belajar itu sendiri tidak terlepas dari ilmu yang dipelajarinya.<br />
Ada dua pendapat IMAM AL-GHAZALI; tentang ilmu yang dipelajari yaitu 1) ilmu sebagai proses, 2) ilmu sebagai objek.<br />
Ilmu Sebagai Proses <br />
Pendapat IMAM AL-GHAZALI<br />
Mengklasifikasikan pada tiga bagian;<br />
1) Ilmu Hissiyab, llmu yang didapatkan melalui pengindraan. (misalnya seseorang belajar melalui alat pendengaran, penglihatan dan penciuman).<br />
2. Ilmu Aqliyah, ilmu yang diperoleh melalui kegiatan berfikir. Seperti; masalah teoritis yg berhubungan dengan hal-hal abstrak dan non-abstrak.<br />
3. Ilmu Ladunni, ilmu yang diperoleh langsung dari Tuhan tanpa melalui proses pengindraan atau berfikir (nalar),melainkan melalui hati dalam bentuk ilham.<br />
Ilmu Sebagai Objek <br />
Pendapat IMAM AL-GHAZALI<br />
Membagi menjadi tiga macam;<br />
1. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak, seperti (sihir).<br />
2. Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit atau banyak.<br />
3. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi bila mendalaminya tercela, seperti ilmu ketuhanan, cabang ilmu filsafat. Bila ilmu-ilmu tersebut didalami akan menimbulkan kekufuran.<br />
B. Jenis Ilmu<br />
Pendapat IMAM AL-GHAZALI<br />
Ada 2 yaitu;<br />
1. Ilmu Kasbi yaitu cara berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahab melalui proses pengamatan, penelitian,percobaan dan penemuan.<br />
2. Ilmu Laduni yaitu ilmu yang diperoleh oleh orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya, akan tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi itu, semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terpecah dengan jelas dan terserap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang tsb memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Padahal ia telah melakukan proses perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu.<br />
Pendekatan Dalam Menuntut Ilmu<br />
Pendapat IMAM AL-GHAZALI<br />
Ada 2 pendekatan yang digunakan yaitu;<br />
Ta’lim insani dan Ta’lim Rabbani.<br />
1. Ta;lim Insani yaitu belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini merupakan cara umum yang dilakukan orang, dan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat inderawi yang diakui oleh orang-orang berakal. <br />
Taklim Insani dibagi menjadi 2 yaitu; 1) proses eksternal melalui belajar mengajar. 2) proses internal melalui proses tafakur.<br />
1) proses eksternal melalui belajar mengajar.<br />
Dalam proses belajar mengajar sebenarnya tejadi aktivitas eksplorasi pengetahuan sehingga menghasikan perubahan-perubahan perilaku. Seorang guru mengeksplorasi ilmu yang dimilikinya untuk diberikan kepada muridnya, sedangkan murid menggali ilmu dari gurunya agar ia mendapatkan ilmu.<br />
Al-Ghazali menganalogikan menuntut ilmu dengan menggunakan proses belajar ini seperti petani (guru) yg menanam benih (ilmu yg dimiliki) ditanah (murid) sampai ia menjadi pohon (perilaku) kematangan dan kesempurnaan jiwa sebagai hasil belajar. Oleh Al-Ghazali diibaratkan sebagai pohon yang telah berbuah dan siap untuk dipetik sebagai hasil dari proses tersebut.<br />
2) proses internal melalui proses tafakur.<br />
Tafakur diartikan dengan membaca realitas dalam berbagai dimensinya wawasan spiritual dan penguasaan pengetahuan hikmah. Proses tafakur ini dapat dilakukan apabila jiwa dalam keadaan suci. Dengan membersihkan qalb dan mengosongkan egoisme dan keakuannya ke titik nol, maka ia berdiri dihadapan Tuhan, seperti seorang murid berhadapan dengan seorang guru. Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan manusia masuk kedalamnya.<br />
Menuntut ilmu harus melalui proses berfikir terhadap alam semesta karena ilmu itu sendiri merupakan hasil dari proses berfikir.(Jalaluddin,1996)<br />
AL-ZARNUJI<br />
Membagi ilmu dalam 4 kategori;<br />
1. Ilmu Fardhu ‘Ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim secara individual. <br />
Pertama yang harus dipelajari adalah ilmu tauhid yaitu ilmu yang menerangkan keesaan Allah SWT beserta sifat-sifatnya. <br />
Baru kemudian mempelajari ilmu fiqih, shalat, zakat, haji dan lain-lain kesemuanya berkaitan dengan tata cara beribadah kepada Allah SWT.<br />
2. Ilmu Fardhu Kifayah; yaitu ilmu yang kebutuhannya hanya pada saat-saat tertentu saja seperti ilmu shalat jenazah.<br />
Dengan demikian, seandainya ada sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardhu kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Namun sebaliknya, bila tidak,maka semuanya berdosa.<br />
3. Ilmu Haram; yaitu ilmu yang haram dipelajari seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal).<br />
Sebab, hal itu sesungguhnya tiada bermanfaat dan justru membawa marabahaya, karena lari dari kenyataan takdir Allah SWT tidak akan mungkin terjadi.<br />
2. Ilmu Jawaz, yaitu ilmu yang hukum mempelajarinya adalah boleh karena bermanfaat bagi manusia.<br />
Misalnya ilmu kedokteran, yang dengan mempelajarinya akan diketahui sebab dari segala sebab (sumber penyakit). Hal ini diperbolehkan karena Rasulallah SAW sendiri juga berobat.<br />
Metode Pembelajaran <br />
Pendapat Al-ZARNUJI<br />
Metode Pembelajaran meliputi 2 kategori;<br />
1. Metode yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar.<br />
2. Metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman, dan langkah-langkah dalam belajar.<br />
Ok. Kita lihat satu persatu.<br />
Strategi<br />
Cara memilih pelajaran<br />
Bagi orang yang mencari ilmu sebaiknya mendahulukan memilih ilmu yang dibutuhkan dalam urusan-urusan agamanya, seperti ilmu tauhid.<br />
Cara memilih guru<br />
Sebaiknya memilih guru yang lebih alim, wara’ dan umurnya lebih tua dari kita.<br />
Cara memilih teman<br />
Mencari teman yang rajin, wara’ dan berwatak baik, mudah paham, tidak malas, tidak banyak bicara.<br />
Pola Hubungan Guru Dengan Murid<br />
Pemikiran Al-Zarnuji<br />
Murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya pengagungan dan pemuliaan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya (guru/dosen), menjadi semangat dan dasar adanya penghormatan murid/mahasiswa terhadap guru/dosen.<br />
Kontekstualisasi hubungan guru (dosen) murid (mahasiswa), menunjukkan bahwa penempatan guru (dosen) pada posisi terhormat terkait oleh sosok guru (dosen) yang ideal. Yaitu guru (dosen) yang memenuhi kriteria dan kualifikasi kepribadian, kecerdasan ruhaniah disamping kecerdasan intelektual.al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-24340605652110394162010-12-15T04:31:00.001-08:002010-12-15T04:42:26.606-08:00RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP ) Bahasa InggrisSMP/MTs : ….<br />
Mata Pelajaran : Bahasa Inggris<br />
Kelas/Semester : VII (Tujuh) / 1<br />
Standar Kompetensi : 1. Memahami makna dalam teks tulis fungsional pendek sangat sederhana yang <br />
berkaitan dengan lingkungan terdekat<br />
Kompetensi Dasar : 5.2. Merespon makna yang terdapat dalam teks tulis fungsional pendek sangat <br />
sederhana secara akurat, lancar dan berterima yang berkaitan dengan lingkungan <br />
terdekat<br />
Indikator : <br />
• Mengidentifikasi berbagai informasi dalam teks fungsional pendek berbentuk <br />
pengumuman<br />
• Mengidentifikasi ciri kebahasaan teks pengumuman<br />
Jenis Teks : Teks fungsional pendek ”Pengumuman”<br />
Tema : Kehidupan Sekolah (School Life)<br />
Aspek / Skill : Membaca<br />
Alokasi Waktu : 2 x 40 menit<br />
<br />
1. Tujuan Pembelajaran<br />
Pada akhir pembelajaran siswa dapat :<br />
a. menemukan gagasan umum teks pengumuman<br />
b. menemukan informasi rinci dalam teks pengumuman<br />
c. menemukan makna kata tertentu dalam teks pengumuman<br />
d. menemukan ciri kebahasaan teks pengumuman<br />
<br />
2. Materi Pembelajaran<br />
a. Teks fungsional pendek ”Pengumuman” tentang kegiatan sekolah:<br />
b. Kosakata terkait tema / jenis teks.<br />
Mis : - announcement - uniform - be supposed to<br />
- gather - be ready<br />
- flag ceremony - punctual<br />
c. Ungkapan:<br />
1.Kalimat kesantunan<br />
Please be on time<br />
2. Kalimat sederhana ( +, -, ? )<br />
<br />
<br />
<br />
3. Metode / Teknik : Three-phase technique <br />
4. Langkah-langkah Kegiatan<br />
a. Kegiatan Pendahuluan<br />
- Menjawab berbagai pertanyaan tentang gambar kegiatan upacara di sekolah.<br />
- Menentukan makna kata dan menggunakannya dalam kalimat (Terkait pengumuman)<br />
b. Kegiatan Inti<br />
1. Membaca teks pengumuman<br />
2. Menjawab pertanyaan tentang isi teks pengumuman<br />
- gagasan utama<br />
- informasi rinci<br />
- makna kata<br />
- tujuan komunikatif<br />
3. Menentukan kata, makna dan bentuk kata kerja yang digunakan dalam teks pengumuman<br />
4. Membaca teks pengumuman lainnya<br />
c. Kegiatan Penutup<br />
1. Menanyakan kesulitan siswa dalam memahami teks pengumuman<br />
2. Menyimpulkan materi<br />
3. Menugaskan siswa mencari teks pengumuman lainnya dari koran / majalah<br />
<br />
5. Sumber Belajar<br />
a. Contoh teks pengumuman<br />
b. Koran / majalah<br />
c. Perpustakaan<br />
d. Buku teks : ... (judul, pengarang, penerbit, tahun, halaman)<br />
<br />
6. Penilaian<br />
a. Teknik : Tes Lisan.<br />
b. Bentuk : Pertanyaan lisan<br />
c. Instrumen : <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
I. Give your answers orally based on the text below<br />
<br />
Announcement<br />
<br />
All students of Class Seven One, are supposed to gather in the school yard on Monday August 12 th, 2006 at 10 a.m. for practicing flag ceremony.<br />
<br />
Please, be on time! <br />
Chairman<br />
<br />
1. What’s the text about ?<br />
2. Who is the announcement for ?<br />
3. What should the students of seven-one do ?<br />
4. Why do they have to be there ?<br />
5. Who gave the announcement? <br />
6. What does the word “chairman” mean ?<br />
7. What is the purpose of the chairman ?<br />
8. Mention three nouns in the text.<br />
<br />
d. Pedoman Penilaian: <br />
1. Tiap nomor benar diberi skor 5<br />
2. Skor maksimal : 8 x 5 = 40<br />
3. Nilai maksimal 10<br />
4. Nilai Siswa <br />
<br />
Skor Perolehan x 10<br />
Skor Maksimal<br />
<br />
<br />
e. Rubrik Penilaian: <br />
<br />
No. 1-8<br />
Uraian <br />
Setiap jawaban benar, tata bahasa benar, pilihan kata tepat dan lafal benar 5<br />
Setiap jawaban benar, tata bahasa kurang tepat, pilihan kata tepat dan lafal benar 4<br />
Setiap jawaban benar, tata bahasa salah, pilihan kata kurang tepat dan lafal benar 3<br />
Setiap jawaban benar, tata bahasa salah, pilihan kata dan lafal kurang tepat 2<br />
Setiap jawaban kurang tepat, tata bahasa salah, pilihan kata dan lafal salah 1<br />
Tidak ada jawaban 0<br />
<br />
<br />
<br />
Mengetahui : ......................., ...................<br />
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran<br />
<br />
<br />
_________________________ ______________________<br />
NIP. NIP.al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-46014883714549427212010-12-15T04:08:00.001-08:002010-12-15T04:08:46.273-08:00SISTEM PENDIDIKAN TERBUKA DAN JARAK JAUHOleh :<br />
Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.P.d<br />
<br />
<br />
A. Batasan Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh<br />
<br />
Batasan Pendidikan Jarak Jauh<br />
Pendidikan jarak jauh sudah berkembang bertahun-tahun sebelum bangsa Indonesia mengenalnya. Pengertian atau batasan pendidikan jarak jauh berkembang dari waktu ke waktu.<br />
Keagan (1986) mencatat perkembangan batasan yang dibuat oleh berbagai ahli pendidikan jarak jauh dan menyusunya secara kronologis seperti diuraikan di bawah ini.<br />
Pada tahun 1967, G.Dogmen membuat batasan mengenai pendidikan jarak jauh sbagai berikut :<br />
Pendidikan jarak jauh adalah cara belajar mandiri (self study) yang diorganisasikan secara sistematis. Pada cara ini penyajian bahan belajar, pemberian konsultasi kepada peserta didik, dan pengawasan serta jaminan keberhaslan peserta didik dilakukan oleh tim guru. Masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Menurut dia, pendidikan jarak jauh merupakan kebalikan dari “pendidikan langsung” atau “pendidikan secara tatap muka antara peserta didik dan guru”.<br />
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa menurut Dogmen cirri-ciri pendidikan jarak jauh adalah :<br />
1. Ada organisasi yang mengatur cara belajar mandiri<br />
2. Bahan belajar disampaikan melalui media<br />
3. Tidak ada kontak langsung antara guru dan peserta didik.<br />
<br />
Pada tahun 1968, G. Mackenzie, Christensen , dan P. Rigby mengatakan bahwa:<br />
Sekolah korespondensi sebagai salah satu bentuk pendiikan jarak jauh merupakan metode pembelajaran yang mengunakan korespondensi sebagai alat untuk berkomunikasi antara peserta didik dan guru. Menurut mereka karakteristik pendidikan jarak jauh adalah sebagai berikut :<br />
Peserta didik dan guru bekerja secara terpisah. Peserta didik dan guru dipersatukan melalui korespondensi. Perlu adanya interaksi antara peserta didik dan guru. Pada tahun 1971 di Perancis ada undang-undang yang mengatur penyelengaraan pendidikan jarak jauh. Hukum tersebut memuat batasan sebagai berikut : Pendidikan jarak jauh merupakan bentuk pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar secara terpisan dengan gurunya. Pertemuan guru dan peserta didik hanya dilakkan jika ada peristiwa yang istimewa atau untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu saja.<br />
Menurut batasan di atas ada dua cirri utama yang menonjol, yaitu : <br />
Terpisahnya guru dan peserta didik.<br />
Adanya kemungkinan untuk acara pertemuan atau pelajaran secara tatap muka tertentu antara guru dan peserta didik. <br />
Pada tahun 1973, O. Peter memberikan batasan pada pendidikan jarak jauh sebagai berikut : Pendidikan jarak jauh adalah metode penyampaian ilmu, keterampilan, dan sikap yang dipengaruhi cara-cara mengelola suatu industri. Seperti halnya dalam industri, system pendidikan jarak jauh dikembangkan dan dikelola dengan mengadakan pembagian tugas yang jelas antara yang mengembangkan, yang memproduksi, yang mendistribusikan bahan belajar dan yang mengelola kegiatan belajar mengajar. Seperti halnya dalam industri,bahan belajar yang berupa program media diproduksi dalam jumlah besar dengan menggunakan teknologi yang maju dan kemudian didistribusikan kepada penguna secara luas. Bahan belajar yang diproduksi dalam jumlah besar dengan mutu yang tinggi itu telah memberi kemungkinan untuk membelajarkan peserta didik dalam jumlah besar pada saat yang sama dimanapun mereka berada. Metode seperti itu dapat sebutkan sebagai menindustrialisasakan cara belajar dan mengajar.<br />
Batasan di atas mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut :<br />
Digunakannya mdia teknologi yang diproduksi dalam jumlah besar dengan mutu yang tinggi.<br />
Pendidikan dapat diberikan secara missal’;<br />
Yang merancang, mengembangkan, memproduksi, membagikan bahan belajar dan yang mengelola kegiatan belajar mengajar orang yang berbeda-beda. <br />
Pada tahun yang sama (1973) , Moore mengajukan batasan pendidikan jarak jauh sebagai berikut : Pendidikan jarak jauh merupakan metode pmbelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara terpisah dari kegiatan mengajarnya sehingga komunikasi antara peserta didik dan guru harus dilakukan dengan bantuan media cetak, elektronik, mekanis dan peralatan lainnya. Yang menonjol dalam batasan Moore adalah Terpisahnya peserta didik dan guru dalam proses belajar mengajar<br />
Digunakannya media untuk komunikasi antara peserta didik dan guru.<br />
Pada tahun 1977 , B.Holmeberg memberikan batasan sebagai berikut: Dalam system pendidikan jarak jauh peserta didik belajar tanpa mendapatkan pengawasan langsung secara terus menerus dari tutor yang hadir di ruang belajar atau di lingkungan sekolah, namun demikian siswa mendapat keuntungan dari perencanaan, bimbingan dan pembelajaran dari suatu lembaga yang mengorganisasikan pendidikan jarak jauh itu.<br />
Yang menjadi fokus dari batasan Holmberg adalah : <br />
Bahwa peserta didik dan guru bekerja secara terpisah. Adanya perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh sesuatu lembaga pendidikan yang mengatur pendidikan jarak jauh itu. Setelah tahun 1977 batasan pendidikan jarak jauh itu masih terus berkembangkan. Ciri- ciri yang menonjol selama masa perkembangan itu adalah terpisahnya peserta didik dan guru, adanya lembaga yang mengelola, digunakannya media untuk menyampaikan isi pelajaran, adanya komunikasi dua arah antara peserta didik dan guru,dan tidak adanya kelompok belajar yang tetap. Pada tahun 1980 Peter melontarkan kembali tambahan ciri pada pendidikan jarak jauh , yang mengatakan bahwa pendidikan jarak jauh seolah-olah dikelola seperti industri. Pendapat Peter ini ada yang mendukung, tetapi juga ada yang tidak dapat menerima.<br />
Diantara yang menolak teori industrialisasai itu adalah Baath. Dia mengatakan bahwa teori industrialisasi itu tidak dapat diterapkan pada pendidikan jarak jauh yang kecil, dan pendidikan jarak jauh yang tidak menggunakan bahan belajar yang diproduksi dalam jumlah besar. Karena itu batasan Peter itu tidak dapat dimasukkan ke dalam batasan umum system pendidikan jarak jauh. <br />
Menurut Moore (1983) jarak dalam sistem pendidikan jarak jauh jangan hanya dilihat dari jarak geografis atau jarak fisik antara peserta didik dan guru saja, menurutnya transaksi pendidikan dalam sistem pendidikan jarak jauh itu terjadi dalam situasi khusus,yaitu terpisahnya peserta didik dan guru. Keterpisahan atau jarak ini menimbulkan adanya pola perilaku guru dan peserta didik yang berbeda dari pola perilaku dalam lingkungan pendidikan konvensional. Karena keterpisahan itu ada jarak kejiwaan dan jarak komunikasi yang harus dijembatani. Jarak in dapat menimbulkan perbedaan penafsiran antara isi pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan pengertian yang ditangkap oleh peserta didik. Jarak kejiwaan dan jarak komunikasi ini oleh Moore (1983) disebut jarak transaksi. <br />
Sampai seberapa jarak jauh kejiwaan dan jarak komunikasi (jarak transaksi) yang ada dalam program pendidikan jarak jauh itu dapat dijembatani, sangat tergantung pada fungsi dialog dan struktur pembelajarannya. Makin mudah komnikasi antara guru dan peserta didik, makin dekat jarak transaksinya dan makin kecil terjadinya perbedaan penafsiran mengenai konsep yang dipelajari peserta didik. <br />
Banyaknya lembaga pendidikan jarak jauh dan banyaknya batasan mengenai pendidikan jarak jauh itu telah mendorong para ahli untuk terus mengadakan penelitian dan analisis.<br />
Menurut Keegan (1980) para peneliti itu pada akhirnya menyimpulkan batasan sebagai berikut :<br />
Pendidikan jarak jauh adalah suatu bentuk pendidikan yang mempunyai karakteristik sebagai berikut : <br />
Dalam sistem pendidikan jarak jauh peserta didik dan guru bekerja secara terpisah sepanjang proses belajar itu. Ini berarti bahwa siswa harus dapat belajar secara mandiri. Bantuan belajar yang diperoleh dari orang lain sanagat terbatas. Ciri ini membedakan pendidikan jarak jauh dari pendidikan konvensional yang memberikan pelajaran secara tatap muka. <br />
Dalam sistem pendidikan jarak jauh ada lembaga pendidikan yang merancang dan menyiapkan bahan belajar, serta memberikan pelayanan bantuan belajar kepada peserta didik. Adanya lembaga pendidikan ini membedakan sistem pendidikan jarak jauh dari proses belajar sendiri ( private study) atau tech yourself programmes. Jadi jika kita membeli buku di toko dan kemudian belajar sendiri sehingga kita memahami secara keseluruhan isi buku itu, itu tidak berarti bahwa kita telah mengikuti sistem pendidikan jarak jauh. <br />
Dalam sistem pendidikan jarak jauh, pelajaran ( pengetahuan, keterampilan, dan sikap) disampaikan kepada siswa melalui media seperti media cetak, radio, kaset, audio, TV, kaset Video, slide, CD-ROM dan sebagainya. Kecuali berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan isi pelajaran, media juga merupakan alat penghubung atau alat komunikasi antara peserta didik dan guru. <br />
Dalam sistem pendidikan jarak jauh ada usaha untuk terjadinya komunikasi dua arah antara peserta didik dan guru atau antara peserta didik dengan lembaga penyelenggara, atau antara sesama peserta didik. Inisiatif untuk berkomunikasi itu bukan hanya datang dari guru atau lembaga , tetapi dapat juga datang dari peserta didik. Ciri ini membedakan pendidikan jarak jauh dari program siaran radio atau TV pendidikan yang hanya menyiarkan program-program pendidikan tanpa menjalin hubungan dua arah dengan pendengar atau penonton. <br />
Dalam sistem pendidikan jarak jauh tidak ada kelompok belajar bersifat tetap sepanjang masa belajarnya. Karena itu peserta didik pendidikan jarak jauh menerima pelajaran secara individual bukannya secara kelompok. Sekali waktu memang dapat dilakukan pertemuan kelompok peserta didik yang mempelajari mata pelajaran yang sama untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pelajaran atau sekedar untuk bersosialisasi.<br />
<br />
Batasan Pendidikan Terbuka<br />
<br />
Pendidikan terbuka berkembang setelah pendidikan jarak jauh, umumnya kurang lebih baru 30 tahunan. Istilah pendidikan terbuka dan pendidikan jarak jauh seringkali digunakan orang tanpa melihat beda diantaranya. Kalau kita amati secara teliti beberapa pendidikan terbuka yang ada seperti The British Open University of the United Kingdom ( BOU-UK ), Sukhothai Thammthirat Open University ( STOU ), Universitas Terbuka, SMP Terbuka dan lain-lain ternyata mereka mempunyai ciri umum yang sama dengan cici-ciri pendidikan jarak jauh. Pada pendidikan terbuka peserta didik juga belajar terpisah dengan guru, diorganisir oleh lembaga tertentu, isi pelajaran disampaikan melalui berbagai program media, biasanya tidak ada kelmpok belajar permanent. Bahkan di Universitas Terbuka ada bagian yang disebut Unit Pelaksana Belajar Jarak Jauh (UPBJJ). <br />
Menurut Race (1989) istilah terbuka berarti peserta didik mempunyai pilihan.Dia mempunyai kebebasan untuk memilih strategi belajar sendiri, dan keleluasaan untuk mengontrol kegiatan belajarnya sendiri. Tidak banyak kontrol atau campur tangan yang dilakukan oleh dosen, instruktur, atau guru.Terbuka juga berarti leluasa dalam aturan penerimaan peserta didik. Banyak program pendidikan terbuka yang tidak memberikan persyaratan masuk berupa pengetahuan atau pengalaman belajar prerequisite (pra syarat). Keegan (1986) mengatakan bahwa pendidikan terbuka terutama ditandai oleh dihilangkannya aturan-aturan (restriction), exclusion, dan previleges. Sebagai gantinya diberikan keleluasaan dalam memasuki pendidikan terbuka, memasuki pendidikan terbuka tidak perlu tes. Dorell (1993) mengatakan bahwa pendidikan terbuka itu terbuka bagi semua orang. Jadi tidak ada prakualifikasi seperti umur, status dan kecerdasan.<br />
Ada beberapa ciri lain yang oleh penyelenggara pendidikan terbuka dipandang sebagai ciri pendidikan terbuka, yaitu :<br />
1. Pendidikan terbuka biasanya tidak mempunyai persyaratan masuk seketat pendidikan konvensional. Orang yang mendaftarkan diri ke UT atau SMP Terbuka misalnya tdak perlu mengikuti tes masuk seperti universitas lainnya.<br />
2. Sistem pendidikan terbuka menganut multy entry system. Siswa dapat keluar masuk sewaktu-waktu. Pada suatu semester peserta didik boleh tidak aktif, dan pada semester lain aktif kembali.<br />
3. Peserta didik dapat memilih tempat dan waktu belajar sesuai dengan keinginannya.<br />
4. Peserta didik dapat belajar sesuai dengan kecepatan belajar (pace of learning ) masing-masing.<br />
a. Munculnya istilah Open and Distance Learning (ODL).<br />
Karena adanya persamaan karakteristik dan tidak adanya perbedaan yang sangat hakiki antara pendidikan jarak jauh dan pendidikan terbuka, di dunia internasional muncul istilah atau nama Open and Distance Learning (Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh). Lockwod (1995) menulis buku yang berjudul Open and Distance Learning Today. Dalam buku tersebut tidak dipersoalkan beda antara open learning dan distance learning. Konferensi- konferensi internasional menyebutkan nama open learning dan distance learning tanpa penjelasan seolah-olah keduanya sudah menyatu.<br />
Dari uraian di atas kiranya dapat dipahami kalau orang menggunakan istilah pendidikan jarak jauh dan pendidikan terbuka secara bergantian (interchangeable) atau menyatukan menjadi istilah open and distance learning.<br />
<br />
b. Strategi Pelaksanaan Sistem Pendidikan Terbuka dan Jaak Jauh.<br />
Sebagaimana sistem pendidikan lansung atau konvensional, sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh juga membutuhkan sarana dan prasaranapenunjang pendidikan, agar tujuan umum pendidikan bisa diwujudkan sesuai dengan jenjang pendidikanya. Sarana penunjang biasanya berupa modul-modul pelajaran yang dikirim kepada peserta didik. Sarana bisa juga berbasis teknologi informasi. Munculnya teknologi informasi dan komunikasi pada pendidikan terbuka dan jarak jauh sangatlah membantu sekali. Seperti dapat dilihat dengan munculnya berbagai pendidikan secara online atau wibe-school atau cyber- school, dengan menggunakan fasilitas internet. Pendekatan sisem pengajaran yang dapat dilakukan aalah dengan melakukan pengajaran lansung (realtime) ataupun dengan cara menggnakan sistem sebagai tempat pemusatan pengetahuan (knowledge). Hal ini memungkinkan terbentuknya kesempatan bagi siapa saja untuk mengetahui jenjang pendidikan.<br />
<br />
Tidak seperti pendidikan langsung /konvensional, sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh membutuhkan pengolahan dan manajemen pendidikan yang “khusus”, baik dari sisi peserta didik maupun guru ataupun tujuan pendidikan bisa terwujud.<br />
Dari sisi guru, beberapa faktor yang penting untuk keberhasilan sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh adalah perhatian, percaya diri guru, pengalaman, mampu menggunakan media teknologi informasi dan komunikasi, kreatif, aktif learning dan kemampuan menjalin interaksi dan komunikasi jarak jauh dengan siswa. Juga memperhatikan hambatan teknis yang mungkin terjadi, sehingga pendidikan jarak jauh bisa berlangsung efektif.<br />
Dari sisi peserta didik, salah satu faktor yang penting adalah keseriusan mengikuti proses belajar mengajar disaat guru tidak berhadapan langsung dengan peserta didik. Pada tingkatan ini keterlibatan dan kehadiran “orang-orang” disekitar, termasuk anggota keluarga memegang peranan penting dan strategi. Kehadiranya bisa mendukung berlangsungnya proses belajar mengajar secara efektif, tapi sebaliknya bisa juga menjadi penghambat. Faktor lainya adalah aktif learning dan komunikasi yang efektif. Partisipasi aktif peserta didik pendidikan terbuka dan jarak jauh mempengaruhi cara bagaimana mereka berhubungan dengan materi yang akan dipelajari. <br />
Keberhasilan sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh ditunjang oleh adanya interaksi dan komunikasi yang efektif dan maksimal antara guru dan peserta didik, interaksi antara peserta didik dengan fasilitas pendidikan seperti modul-modul pendidikan, interaksi peserta didik dengan orang-orang sekitarnya dan adanya pola pendidikan aktif dalam masing-masing interaksi tersebut. Juga keaktifan dan kemandirian siswa dalam pendalaman materi, pengajaran soal-soal ujian, keatifitas mencari materi-materi penunjang dari sumber-sumber lain seperti internet atau digital –library.<br />
oooooooooal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-71037977261519106872010-12-04T18:55:00.000-08:002010-12-04T18:55:02.202-08:00PENGERTIAN HAKEKAT MANUSIAPENGERTIAN HAKEKAT MANUSIA<br />
Oleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I.,M.Pd.<br />
Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal. <br />
Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir sebagian besar para ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal dari sebuah evolusi dari seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi biologi. Anggapan ini tentu sangat keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia. Dalam hal ini membuat kita para manusia kehilangan harkat dan martabat kita yang diciptakan sebagai mahluk yang sempurna dan paling mulia.<br />
Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan yang sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT. {“Allah telah menundukkan bagi kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi semuanya.”}(Q. S. Al-Jatsiyah: 13). {“Allah telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar. Dia juga telah menundukkan bagi kalian malam dan siang.”}(Q. S. Ibrahim: 33). {“Allah telah menundukkan bahtera bagi kalian agar dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya.”}(Q. S. Ibrahim: 32), dan ayat lainnya yang menjelaskan apa yang telah Allah karuniakan kepada manusia berupa nikmat akal dan pemahaman serta derivat (turunan) dari apa-apa yang telah Allah tundukkan bagi manusia itu sehingga mereka dapat memanfaatkannya sesuai dengan keinginan mereka, dengan berbagai cara yang mampu mereka lakukan. Kedudukan akal dalam Islam adalah merupakan suatu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati.<br />
Dengan demikian, manusia adalah makhluk hidup. Di dalam diri manusia terdapat apa-apa yang terdapat di dalam makhluk hidup lainnya yang bersifat khsusus. Dia berkembang, bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak, menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan kekurangan dan membutuhkan yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya. Dia memiliki rasa kasih sayang dan cinta,<br />
rasa kebapaan dan sebagai anak, sebagaimana dia memiliki rasa takut dan aman, menyukai harta, menyukai kekuasaan dan kepemilikan, rasa benci dan rasa suka, merasa senang dan sedih dan sebagainya yang berupa perasaan-perasaan yang melahirkan rasa cinta. Hal itu juga telah menciptakan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan pemuasan rasa cintanya itu dan memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari adanya potensi kehidupan yang terdapat dalam dirinya. <br />
Oleh karena itu manusia senantiasa berusaha mendapatkan apa yang sesuai dengan kebutuhannya,hal ini juga dialami oleh para mahluk-mahluk hidup lainnya, hanya saja, manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya dalam hal kesempurnaan tata cara untuk memperoleh benda-benda pemuas kebutuhannya dan juga tata cara untuk memuaskan kebutuhannya tersebut. Makhluk hidup lain melakukannya hanya berdasarkan naluri yang telah Allah ciptakan untuknya sementara manusia melakukannya berdasarkan akal dan pikiran yang telah Allah karuniakan kepadanya.<br />
Dewasa ini manusia, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara spermatozoa dengan ovum.<br />
Didalam Al-Qur`an proses penciptaan manusia memang tidak dijelaskan secara rinci, akan tetapi hakikat diciptakannya manusia menurut islam yakni sebagai mahluk yang diperintahkan untuk menjaga dan mengelola bumi. Hal ini tentu harus kita kaitkan dengan konsekuensi terhadap manusia yang diberikan suatu kesempurnaan berupa akal dan pikiran yang tidak pernah di miliki oleh mahluk-mahluk hidup yang lainnya. Manusia sebagai mahluk yang telah diberikan kesempurnaan haruslah mampu menempatkan dirinya sesuai dengan hakikat diciptakannya yakni sebagai penjaga atau pengelola bumi yang dalam hal ini disebut dengan khalifah. Status manusia sebagai khalifah , dinyatakan dalam Surat All-Baqarah ayat 30. Kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah.<br />
Namun kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah Nabi Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-‘Abbasiah. Akan tetapi fungsi dari khalifah itu sendiri sesuai dengan yang telah diuraikan diatas sangatlah luas, yakni selain sebagai pemimpin manusia juga berfungsi sebagai penerus ajaran agama yang telah dilakukan oleh para pendahulunya,selain itu khalifah juga merupakan pemelihara ataupun penjaga bumi ini dari kerusakan.<br />
SIAPAKAH MANUSIA<br />
Kehadiran manusia pertama tidak terlepas dari asal usul kehidupan di alam semesta. Asal usul manusia menurut ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari teori tentang spesies lain yang telah ada sebelumnya melalui proses evolusi.<br />
Evolusi menurut para ahli paleontology dapat dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan tingkat evolusinya, yaitu :<br />
Pertama, tingkat pra manusia yang fosilnya ditemukan di Johanesburg Afrika Selatan pada tahun 1942 yang dinamakan fosil Australopithecus.<br />
Kedua, tingkat manusia kera yang fosilnya ditemukan di Solo pada tahun 1891 yang disebut pithecanthropus erectus.<br />
Ketiga, manusia purba, yaitu tahap yang lebih dekat kepada manusia modern yang sudah digolongkan genus yang sama, yaitu Homo walaupun spesiesnya dibedakan.<br />
Fosil jenis ini di neander, karena itu disebut Homo Neanderthalesis dan kerabatnya ditemukan di Solo (Homo Soloensis).<br />
Keempat, manusia modern atau Homo sapiens yang telah pandai berpikir, menggunakan otak dan nalarnya.<br />
Beberapa Definisi Manusia :<br />
1. Manusia adalah makhluk utama, yaitu diantara semua makhluk natural dan supranatural, manusia mempunyai jiwa bebas dan hakikat hakikat yg mulia.<br />
2. Manusia adalah kemauan bebas. Inilah kekuatannya yg luar biasa dan tidak dapat dijelaskan : kemauan dalam arti bahwa kemanusiaan telah masuk ke dalam rantai kausalitas sebagai sumber utama yg bebas – kepadanya dunia alam –world of nature–, sejarah dan masyarakat sepenuhnya bergantung, serta terus menerus melakukan campur tangan pada dan bertindak atas rangkaian deterministis ini. Dua determinasi eksistensial, kebebasan dan pilihan, telah memberinya suatu kualitas seperti Tuhan<br />
3. Manusia adalah makhluk yg sadar. Ini adalah kualitasnya yg paling menonjol; Kesadaran dalam arti bahwa melalui daya refleksi yg menakjubkan, ia memahami aktualitas dunia eksternal, menyingkap rahasia yg tersembunyi dari pengamatan, dan mampu menganalisa masing-masing realita dan peristiwa. Ia tidak tetap tinggal pada permukaan serba-indera dan akibat saja, tetapi mengamati apa yg ada di luar penginderaan dan menyimpulkan penyebab dari akibat. Dengan demikian ia melewati batas penginderaannya dan memperpanjang ikatan waktunya sampai ke masa lampau dan masa mendatang, ke dalam waktu yg tidak dihadirinya secara objektif. Ia mendapat pegangan yg benar, luas dan dalam atas lingkungannya sendiri. Kesadaran adalah suatu zat yg lebih mulia daripada eksistensi.<br />
4. Manusia adalah makhluk yg sadar diri. Ini berarti bahwa ia adalah satu-satuna makhluk hidup yg mempunyai pengetahuan atas kehadirannya sendiri ; ia mampu mempelajari, manganalisis, mengetahui dan menilai dirinya.<br />
5. Manusia adalah makhluk kreatif. Aspek kreatif tingkah lakunya ini memisahkan dirinya secara keseluruhan dari alam, dan menempatkannya di samping Tuhan. Hal ini menyebabkan manusia memiliki kekuatan ajaib-semu –quasi-miracolous– yg memberinya kemampuan untuk melewati parameter alami dari eksistensi dirinya, memberinya perluasan dan kedalaman eksistensial yg tak terbatas, dan menempatkannya pada suatu posisi untuk menikmati apa yg belum diberikan alam.<br />
6. Manusia adalah makhluk idealis, pemuja yg ideal. Dengan ini berarti ia tidak pernah puas dengan apa yg ada, tetapi berjuang untuk mengubahnya menjadi apa yg seharusnya. Idealisme adalah faktor utama dalam pergerakan dan evolusi manusia. Idealisme tidak memberikan kesempatan untuk puas di dalam pagar-pagar kokoh realita yg ada. Kekuatan inilah yg selalu memaksa manusia untuk merenung, menemukan, menyelidiki, mewujudkan, membuat dan mencipta dalam alam jasmaniah dan ruhaniah.<br />
7. Manusia adalah makhluk moral. Di sinilah timbul pertanyaan penting mengenai nilai. Nilai terdiri dari ikatan yg ada antara manusia dan setiap gejala, perilaku, perbuatan atau dimana suatu motif yg lebih tinggi daripada motif manfaat timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatan suci, karena ia dihormati dan dipuja begitu rupa sehingga orang merasa rela untuk membaktikan atau mengorbankan kehidupan mereka demi ikatan ini.<br />
8. Manusia adalah makhluk utama dalam dunia alami, mempunyai esensi uniknya sendiri, dan sebagai suatu penciptaan atau sebagai suatu gejala yg bersifat istimewa dan mulia. Ia memiliki kemauan, ikut campur dalam alam yg independen, memiliki kekuatan untuk memilih dan mempunyai andil dalam menciptakan gaya hidup melawan kehidupan alami. Kekuatan ini memberinya suatu keterlibatan dan tanggung jawab yg tidak akan punya arti kalau tidak dinyatakan dengan mengacu pada sistem nilai.<br />
Al Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan social. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah, sama dengan makhluk lain. Manusia sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan roh Allah yang memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah.<br />
Manusia memiliki fitrah dalam arti potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan pada saat dilahirkan ke dunia. Potensi yang dimiliki manusia dapat dikelompokkan pada dua hal, yaitu potensi fisik dan potensi ruhaniah.<br />
Potensi fisik manisia adalah sifat psikologis spiritual manusia sebagai makhluk yang berfikir diberi ilmu dan memikul amanah.sedangkan potensi ruhaniah adalah akal, gaib, dan nafsu. Akal dalam penertian bahasa Indonesia berarti pikiran atau rasio. Dalam Al Qur’an akal diartikan dengan kebijaksanaan, intelegensia, dan pengertian. Dengan demikian di dalam Al Qur’an akal bukan hanya pada ranah rasio, tetapi juga rasa, bahkan lebih jauh dari itu akal diartikan dengan hikmah atau bijaksana.<br />
Musa Asyari (1992) menyebutkan arti alqaib dengan dua pengertian, yang pertama pengertian kasar atau fisik, yaitu segumpal daging yang berbentuk bulatpanjang, terletak di dada sebelah kiri, yang sering disebut jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah, yaitu hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan, dan arif.<br />
Akal digunakan manusia dalam rangka memikirkan alam, sedangkan mengingat Tuhan adalah kegiatan yang berpusat pada qalbu.<br />
Adapun nafsu adalah suatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya. Dorongan-dorongan ini sering disebut dorongan primitif, karena sifatnya yang bebas tanpa mengenal baik dan buruk. Oleh karena itu nafsu sering disebut sebagai dorongan kehendak bebas.<br />
PERSAMAAN dan PERBEDAAN MANUSIA DENGAN MAHLUK LAIN.<br />
Manusia pada hakekatnya sama saja dengan mahluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan keunggulan yang dimiliki manusia dibanding dengan mahluk lain.<br />
Manusia sebagai salah satu mahluk yang hidup di muka bumi merupakan mahluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu berbeda dengan binatang, sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang. Letak perbedaan yang paling utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam kemampuannya melahirkan kebudayaan. Kebudayaan hanya manusia saja yang memlikinya, sedangkan binatang hanya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bersifat instinctif.<br />
Dibanding dengan makhluk lainnya, manusia mempunyai kelebihan.kelebihan itu membedakan manusiadengan makhluk lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, baik di darat, di laut, maupun di udara. Sedangkan binatang hanya mampu bergerak di ruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang bergerak di darat dan di laut, namun tetap saja mempunyai keterbatasan dan tidak bisa meampaui manusia. Mengenai kelebihan manusia atau makhluk lain dijelaskan dalam surat Al-Isra ayat 70.<br />
Diantara karakteristik manusia adalah :<br />
1. Aspek Kreasi<br />
2. Aspek Ilmu<br />
3. Aspek Kehendak<br />
4. Pengarahan Akhlak<br />
Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang kelihatannya tidak berbeda dengan argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037) untuk tujuan yang sama, melalui pembuktian dengan kenyataan faktual. Al Ghazaly memperlihatkan bahwa; diantara makhluk-makhluk hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak yang monoton, juga mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa vegetatif. Jenis hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain kemampuan bisa bergerak bervariasi juga mempunyai rasa. Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Dalam kenyataan manusia juga mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia selain mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia juga mempunyai semua yang dimiliki jenis-jenis makhluk tersebut, disamping mampu berpikir dan serta mempunyai pilihan untuk berbuat dan untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip yang memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an nafs al insaniyyat. Prinsip inilah yang betul-betul membeda manusia dari segala makhluk lainnya.<br />
TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA<br />
Allah SWT berfirman dalam surat Ad-dzariyat:56 bahwasannya:”Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk mengabdi kepadanya”mengabdi dalam bentuk apa?ibadah dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya seperti tercantum dalam Al-qur’an.<br />
<br />
“Sesungguhnya telah ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.”<br />
Perintah ataupun tugas yang diberikan oleh Allah kepada manusia dalam beribu-ribu macam bentuk dimulai dari hal yang paling kecil menuju kepada hal yang paling besar dengan berdasarkan dan berpegang kepada Al-qur’an dan hadist didalam menjalankannya.Begitupun sebaliknya dengan larangan-larangannya yang seakan terimajinasi sangat indah dalam pikiran manusia namun sebenarnya balasan dari itu adalah neraka yang sangat menyeramkan,sangat disayangkan bagi mereka yang terjerumus kedalamnya.Na’uudzubillaahi min dzalik<br />
Dalam hadist shohih diungkapkan bahwa jalan menuju surga itu sangatlah susah sedangkan menuju neraka itu sangatlah mudah.Dua itu adalah pilihan bagi setiap manusia dari zaman dahulu hingga sekarang,semua memilih dan berharap akan mendapatkan surga,namun masih banyak sekali orang-orang yang mengingkari dengan perintah Allah bahkan mereka lebih tertarik dan terbuai untuk mendekati,menjalankan larangan-larangannya.Sehingga mereka bertolak belakang dari fitrahnya sebagai manusia hamba Allah yang ditugasi untuk beribadah.Oleh karenanya,mereka tidak akan merasakan hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.<br />
FUNGSI DAN PERANAN MANUSIA<br />
Berpedoman kepada QS Al Baqoroh 30-36, maka peran yang dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran allah dan sekaligus pelopor dalam membudayakan ajaran Allah. Untuk menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi pelopor pembudayaan ajaran Allah, seseorang dituntut memulai dari diridan keluarganya, baru setelah itu kepada orang lain.<br />
Peran yang hendaknya dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, diantaranya adalah :<br />
1. Belajar (surat An naml : 15-16 dan Al Mukmin :54)belajar yang dinyatakan pada ayat pertama surat al Alaq adalah mempelajari ilmu Allah yaitu Al Qur’an.<br />
2. Mengajarkan ilmu (al Baqoroh : 31-39) ilmu yang diajarkan oleh khalifatullah bukan hanya ilmu yang dikarang manusia saja, tetapi juga ilmu Allah.<br />
3. Membudayakan ilmu (al Mukmin : 35 )<br />
Ilmu yang telah diketahui bukan hanya untuk disampaikan kepada orang lain melainkan dipergunakan untuk dirinya sendiri dahulu agar membudaya. Seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.<br />
Manusia terlahir bukan atas kehendak diri sendiri melainkan atas kehendak Tuhan. Manusia mati bukan atas kehendak dirinya sendiri Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruhnya berada ditangan Tuhan Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun hukum yang penuh dengan rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya.<br />
Kuasa memberi juga kuasa mengambil Betapa piciknya kalau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi. Sebaliknya menangis duka dan penasaran Sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita. Yang terpenting adalah menjaga sepak terjang kita Melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran Kejujuran dan keadilan?Cukuplah Yang lain tidak penting lagi.<br />
Suka duka adalah permainan perasaan. Yang digerakan oleh nafsu iba diri Dan mementingkan diri sendiri. Tuhanlah sutradaranya, Maka manusia manusia adalah pemain sandiwaranya Yang berperan diatas panggung kehidupan Sutradara yang menentukan permainannya Dan ingatlah bukan perannya yang penting Melainkan cara manusia yang memainkan perannya itu.<br />
Walaupun seseorang diberi peran sebagai seorang raja besar, Kalau tidak pandai dan baik permainannya ia akan tercela. Sebaliknya biarpun sang sutradara memberi peran kecil tak berarti Peran sebagai seorang pelayan atau rakyat jelata Kalau pemegang peran itu memainkannya dengan sangat baik Tentu ia akan sangat terpuji dimata Tuhan juga dimata manusia.<br />
Apalah artinya seorang pembesar Yang dimuliakan rakyat Bila ia lalim rakus dan melakukan hal hal yang hina. Maka ia akan hanya direndahkan dimata manusia Dan juga dimata Tuhan. Sebaliknya betapa mengagumkan hati manusia Yang menyenangkan Tuhan Bila seorang biasa yang bodoh miskin Dan dianggap rendah namun mempunyai sepak terjang Dalam hidup ini penuh dengan kebajikan Yang melandaskan kelakuannya pada jalan kebenaran. Maka mereka itulah yang paling mulia dimata Tuhan.<br />
“Wahai orang orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan, diatasnya terdapat malaikat malaikat yang bengis dan sadis yang tidak mengabaikan apa yang diperintahkan kepada mereka, dan mereka melakukan apa yang diperintahkan”<br />
Itulah firman Allah yang diberikan kepada manusia dalam menjalankan peranannya selama hidup di muka bumi.Peran terhadap diri sendiri dan keluarga.Bukan diawali dari peran untuk keluarga atau pun negara tapi justru peran itu ditujukan untuk diri sendiri sebelum berperan untuk orang lain.Peranan seseorang harus dibangun dari dalam diri sendiri secara terus menerus untuk mendapatkan hasil yang maksimal,ketika sebuah pribadi telah menguasai peranannya untuk diri sendiri, barulah bisa berperan untuk orang lain,terutama keluarga.Ada sebuah kata kata dari seorang teman yang pernah berbagi dengan saya tentang masalah berderma. Dia berkata pada saya”kawan untuk kita bisa memberikan sesuatu kepada orang lain tentunya kita harus dalam kondisi lebih terlebih dahulu, tidak mungkin kita dalam kondisi kekurangan terus kita meberi untuk orng lain”.Jadi untuk bisa membangun sebuah keluarga, kelompok, negara dan mungkin yang lebih besar lagi maka haruslah menjadi kewajiban kita untuk bisa terlebih dahulu membangun diri kita.<br />
TANGGUNG JAWAB MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH<br />
Tanggungjawab Abdullah terhadap dirinya adalah memelihara iman yang dimiliki dan bersifat fluktuatif ( naik-turun ), yang dalam istilah hadist Nabi SAW dikatakan yazidu wayanqusu (terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah).<br />
Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggungjawab terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahliikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman dari neraka).<br />
Allah dengan ajaranNya Al-Qur’an menurut sunah rosul, memerintahkan hambaNya atau Abdullah untuk berlaku adil dan ikhsan. Oleh karena itu, tanggung jawab hamba Allah adlah menegakkan keadilanl, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman dengan ajaran Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kenungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, Abdullah harus senantiasa melaksanakan solat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran (Fakhsyaa’iwalmunkar). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran (Al-Imran : 2: 103). Demikianlah tanggung jawab hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.<br />
TANGGUNG JAWAB MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH ALLAH<br />
Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan , wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.<br />
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya.<br />
Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimilikitidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang.<br />
Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hokum-hukum Tuhan baik yang baik yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam QS 35 (Faathir : 39) yang artinya adalah :<br />
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafiranorang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lainhanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”.<br />
Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifan adalah realisasi dari pengabdian kepada allah yang menciptakannya.<br />
Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajad manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah, seperti fiman-Nya dalam QS (at-tiin: 4) yang artinya<br />
“sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.<br />
KESIMPULAN<br />
Manusia adalah mahluk Allah yang paling mulia,di dalam Al-qur’an banyak sekali ayat-ayat Allah yang memulyakan manusia dibandingkan dengan mahluk yang lainnya.Dan dengan adanya ciri-ciri dan sifat-sifat utama yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia menjadikannya makhluk yang terpilih diantara lainnya memegang gelar sebagai khalifah di muka bumi untuk dapat meneruskan,melestarikan,dan memanfaatkan segala apa yang telah Allah ciptakan di alam ini dengan sebaik-baiknya.<br />
Tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah SWT.Semua ibadah yang kita lakukan dengan bentuk beraneka ragam itu akan kembali kepada kita dan bukan untuk siapa-siapa.Patuh kepada Allah SWT,menjadi khalifah,melaksanakan ibadah,dan hal-hal lainnya dari hal besar sampai hal kecil yang termasuk ibadah adalah bukan sesuatu yang ringan yang bisa dikerjakan dengan cara bermain-main terlebih apabila seseorang sampai mengingkarinya.Perlu usaha yang keras,dan semangat yang kuat ketika keimanan dalam hati melemah,dan pertanggungjawaban yang besar dari diri kita kelak di hari Pembalasan nanti atas segala apa yang telah kita lakukan di dunia<br />
<br />
ooooooooooooooooooal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-13957556133897808642010-12-04T18:52:00.000-08:002010-12-04T18:52:49.615-08:00PENGERTIAN DAN UNSUR PENDIDIKANPENGERTIAN DAN UNSUR PENDIDIKAN<br />
Oleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I.,M.Pd.<br />
Seorang calon pendidik hanya dapat melaksanakan tugasnya denga nbaik jika memperoleh jawaban yang jelas dan benar tentang apa yang dimaksud pendidikan. Jawaban yang benar tentang pendidikan diperoleh melalui pemahaman terhadap unsur-unsurnya, konsepdasar yang melandasinya, dan wujud pendidikan sebagi sistem. Bab II ini akan mengkaji pengertian pendidikan,unsur-unsur pendidikan, dan sistem pendidikan.<br />
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN<br />
1. Batasan tentang Pendidikan<br />
Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.<br />
a. Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya<br />
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.<br />
b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi<br />
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.<br />
c. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warganegara<br />
Pendidikan sebagai penyiapan warganegara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.<br />
d. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja<br />
Pendidikan sebagai penyimpana tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.<br />
e. Definisi Pendidikan Menurut GBHN<br />
GBHN 1988(BP 7 pusat, 1990: 105) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut: pendidikan nasiaonal yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesia dan berdasarkan pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk memingkatkan kecerdasan serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.<br />
2 Tujuan dan proses Pendidikan<br />
a. Tujuan pendidikan<br />
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dazn merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.<br />
b. Proses pendidikan<br />
Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilitas segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan, Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya , pengelolaan proses pendidikan meliputi ruang lingkup makro, meso, mikro. Adapun tujuan utama pemgelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal.<br />
3 Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH)<br />
PSH bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, PSH merupakan sesuatu proses berkesinambungan yang berlangsung sepanjang hidup. Ide tentang PSH yang hampir tenggelam, yang dicetuskan 14 abad yang lalu, kemudian dibangkitkan kembali oleh comenius 3 abad yang lalu (di abad 16). Selanjutnya PSH didefenisikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasian dan penstruktursn ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua.(Cropley:67)<br />
Berikut ini merupakan alasan-alasan mengapa PSH diperlukan:<br />
a. Rasional<br />
b. Alasan keadilan<br />
c. Alasan ekonomi<br />
d. Alasan faktor sosial yang berhubungan dengan perubahan peranan keluarga, remaja, dan emansipasi wanita dalam kaitannya dengan perkembangan iptek<br />
e. Alasan perkembangan iptek<br />
f. Alasan sifat pekerjaan<br />
4 Kemandirian dalam belajar <br />
a. Arti dan perinsip yang melandasi <br />
Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktivitas belajar yang berlangsungnya lebih didorong oleh kamauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran. Konsep kemandirian dalam belajar bertumpu pada perinsip bahwa individu yang belajar akan sampai kepada perolehan hasil belajar.<br />
b. ¬Alasan yang menopang<br />
Conny Semiawan, dan kawan-kawan (Conny S. 1988; 14-16) mengemukakan alasan sebagai berikut:<br />
Perkembangan iptek berlangsung semakin pesat sehingga tidak mungkin lagi para pendidik(khususnya guru) mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik.<br />
Penemuan iptek tidak mutlak benar 100%, sifatnya relatif.<br />
Para ahli psikologi umumnya sependapat, bahwa peserta didik mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan wajar sesuai dengan situasi dan kondidi yang dihadapi dengan mengalami atau mempraktekannya sendiri.<br />
Dalam proses pendidikan dan pembelajaran pengembangan konsep seyogyanya tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan penanaman nilai-nilai ke dalam diri peserta didik.<br />
B. UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN<br />
Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu:<br />
Subjek yang dibimbing (peserta didik).<br />
Orang yang membimbing (pendidik).<br />
Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)<br />
Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)<br />
Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan)<br />
Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode)<br />
Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan)<br />
Penjelasan:<br />
1. Peserta Didik<br />
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.<br />
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:<br />
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.<br />
b. Individu yang sedang berkembang.<br />
c. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.<br />
d. Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.<br />
2. Orang yang membimbing (pendidik)<br />
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungankeluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat.<br />
3. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)<br />
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan.<br />
4. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)<br />
a. Alat dan Metode.<br />
Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara khusus alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat pendidikan dibedakan atas alat yang preventif dan yang kuratif.<br />
b. Tempat Peristiwa Bimbingan Berlangsung (lingkungan pendidikan)<br />
Lingkungan pendidikan biasanya disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.<br />
C. PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM<br />
1. Pengertian Sistem<br />
Beberapa definisi sitem menurut para ahli:<br />
a. Sistem adalah suatu kebulatan keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau utuh. (Tatang M. Amirin, 1992:10)<br />
b. Sistem meruapakan himpunan komponen yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan. (Tatang Amirin, 1992:10)<br />
c. Sistem merupakan sehimpunan komponen atau subsistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai rencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (Tatang Amirin, 1992:11)<br />
2. Komponen dan Saling Hubungan antara Komponen dalam Sistem Pendidikan.<br />
Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen. Komponen tersebut antara lain: raw input (sistem baru), output(tamatan), instrumentalinput(guru, kurikulum), environmental input(budaya, kependudukan, politik dan keamanan).<br />
3. Hubungan Sistem Pendidikan dengan Sitem Lain dan Perubahan Kedudukan dari Sistem<br />
Sistem pendidikan dapat dilihat dalam ruang lingkup makro. Sebagai subsistem, bidang ekonomi, pendidikan,dan politik masing-masing-masing sebagai sistem. Pendidikan formal, nonformal, dan informal merupakan subsistem dari bidang pendidikan sebagai sistem dan seterusnya.<br />
4. Pemecahan masalah pendidikan secara sistematik.<br />
a. Cara memandang sistem<br />
Perubahan cara memandang suatu status dari komponen menjadi sitem ataupunsebaliknya suatu sitem menjadi komponen dari sitem yang lebih besar, tidak lain daripada perubahan cara memandang ruang lingkup suatu sitem atau dengan kata lain ruang lingkup suatu permasalahan.<br />
b. Masalah berjenjang<br />
Semua masalah tersebut satu sama lain saling berkaitan dalam hubungan sebab akibat, alternatif maslah, dan latar belakang masalah.<br />
c. Analisis sitem pendidikan<br />
Penggunaan analisis sistem dalam pendidikan dimaksudkan untuk memaksimalkan pencapaian tujuan pendidikan dengan cara yang efesien dan efektif. Prinsip utama dari penggunaan analisis sistem ialah: bahwa kita dipersyaratkan untuk berpikir secra sistmatik, artinya harus memperhitungkan segenap komponen yang terlibat dalam maslah pendidikan yang akan dipecahkan.<br />
d. Saling hubungan antarkomponen<br />
Komponen-komponen yang baik menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik. Tetapi komponen yang baik saja belum menjamin tercapainya tujuan sistem secara optimal, manakala komponen tersebut tidak berhibungan secra fungsional dengan komponen lain.<br />
e. ¬Hubungan sitem dengan suprasistem<br />
Dalam ruang lingkup besar terlihat pula sistem yang satu saling berhubungan dengan sistem yang lain. Hal ini wajar, oleh karena pada dasarnya setiap sistem itu hanya merupakan satu aspek dari kehidupan. Sdangkan segenap segi kehidupan itu kita butuhkan, sehingga semuanya memerlukan pembinaandan pengembangan.<br />
5. Keterkaitan antara pengajaran dan pendidikan<br />
Kesimpulan yang dapat ditarik dari persoalan pengajaran dan pendidikan adalah:<br />
a. Pengajaran dan pendidikan dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing saling mengisis.<br />
b. Pembedaan dilakukan hanya untuk kepentingan analisis agar masing-masing dapat dipahami lebih baik.<br />
c. Pendidikan modern lebih cenderung mengutamakan pendidikan, sebab pendidikan membentuk wadah, sedangkan pengajaran mengusahakan isinya. Wadah harus menetap meskipun isi bervariasi dan berubah.<br />
6. Pendidikan prajabatan (preservice education) dan pendidikan dalam jabatan (inservice education) sebagai sebuah sistem.<br />
Pendidikan prajabatan berfungsi memberikan bekal secara formal kepada calon pekerja dalam bidang tertentu dalam periode waktu tertentu. Sedangkan pendidikan dalam jabatan bermaksud memberikan bekal tambahan kepada oramg-orang yang telah bekerja berupa penataran, kursus-kursus, dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan prajabatan hanya memberikan bekal dasar, sedangkan bekal praktis yang siap pakai diberikan oleh pendidikan dalam jabatan.<br />
7. Pendidikan formal, non-formal, dan informal sebagai sebuah sistem.<br />
Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang pedidikan yang telah baku, misalnya SD,SMP,SMA, dan PT. Pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke masyarakat. Pendidikan informal adalah suatu fase pendidikan yang berada di samping pendidikan formal dan nonformal.<br />
¬Dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal, nonformal, dan informal ketiganya hanya dapat dibedakan tetapi sulit dipisah-pisahkan karena keberhasilan pendidikan dalam arti terwujudnya keluaran pendidikan yang berupa sumberdaya manusia sangat bergantung kepada sejauh mana ketiga sub-sistem tersebut berperanan.<br />
oooooo<br />
.......................<br />
---------al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-79280177920361497742010-12-04T18:48:00.000-08:002010-12-05T19:50:16.510-08:00LANDASAN PENDIDIKANLANDASAN PENDIDIKAN<br />
Oleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I, M.Pd<br />
Sebelum kita membicarakan tentang landasan-landasan pendidikan yang dianut oleh suatu bangsa, maka terlebih dahulu kita harus mempunyai kesatuan pendapat tentang arti landasan pendidikan. Landasan pendidikan merupakan norma dasar pendidikan yang bersifat imperatif; artinya mengikat dan mengharuskan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan untuk setia melaksanakan dan mengembangkan berdasarkan landasan pendidikan yang dianut. <br />
Umumnya ada lima landasan pendidikan utama yang menjadi norma dasar pendidikan, yakni: (1) Landasan Filosofis Pendidikan, (2) Landasan Sosiologis Pendidikan, (3) Landasan Kultural Pendidikan, (4) Landasan Psikologis Pendidikan, (5) Landasan Ilmiah dan Teknologi.<br />
Landasan Filosofis Pendidikan<br />
Ada aliran utama filsafat di dunia sampai sekarang (Laboratorium Pancasila IKIP MALANG, hal.14): <br />
Materialisme: mengajarkan bahwa hakikat realitas semesta, termasuk mahluk hidup, manusia, hakikatnya ialah materi. Semua realitas itu ditentukan oleh materi dan terikat oleh hukum alat: sebab akibat yang bersifat obyektif.<br />
Idealisme/Spiritualisme: mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia, subyek manusia sadar atas realitas dirinya dan semesta, karena ada akal budi dan kesadaran rohani. Hakikat diri adalah akal dan budi (ide, spirit). <br />
Realisme: mengajarkan bahwa materialisme dan idealisme tidak sesuai dengan kenyataan: tidak realistis.<br />
Realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukan materi semata-mata. Realita adalah perpaduan materi dan non materi (spiritual, ide, rohani); terutama pada manusia nampak adanya gejala daya pikir, cipta, dan budi. Jadi realisme merupakan sintesis jasmani dan rohani, materi dan non materi. <br />
Landasan Sosiologis Pendidikan<br />
Sejalan dengan uraian di atas, landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa kita harus memusatkan perhatian kita pada pola hubungan antara pribadi an antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan dama, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.<br />
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik.<br />
Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya masing-masing, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. (Usman dan Alfian, 1992:255). Dampak individualisme menimbulkan cara pandang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat sajalah yang dapat eksis. <br />
Berhadapan dengan paham di atas adalah paham kolektivisme yang memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya.<br />
Menurut Soepomo (Laboratorium IKIP MALANG, 1993) dalam masyarakat yang menganut paham integralistik; masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Sedangkan menurut Soeryanto Poespowardoyo (Oesman & Alfian, 1992) masyarakat integralistik mnempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi, namun juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.<br />
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. <br />
Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.<br />
Landasan Kultural Pendidikan<br />
Landasan kultural mengandung makna norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan berbudaya yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan berbudaya suatu bangsa kita harus memusatkan perhatian kita pada berbagai dimensi (Sastrapratedja, 1992:145): kebudayaan terkait dengan ciri manusia sendiri sebagai mahluk yang “belum selesai” dan harus berkembang, maka kebudayaan juga terkait dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia yang asasi: (1) kebudayaan dapat dipahami sebagai strategi manusia dalam menghadapi lingkungannya, dan (2) kebudayaan merupakan suatu sistem dan terkait dengan sistem sosial. Kebudayaan dari satu pihak mengkondisikan suatu sistem sosial dalam arti ikut serta membentuk atau mengarahkan, tetapi juga dikondisikan oleh sistem sosial.<br />
Dengan memperhatikan berbagai dimensi kebudayaan tersebut di atas dapat dikemukakan, bahwa landasan kultural pendidikan di Indonesia haruslah mampu memberi jawaban terhadap masalah berikut: (1) semangat kekeluargaan dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan pendidikan, (2) rule of law dalam masyarakat yang berbudasya kekeluargaan dan kebersamaan,(3) apa yang menjadi “etos” masyarakat Indonesia dalam kaitan waktu, alam, dan kerja, serta kebiasaan masyarakat Indonesia yang menjadi “etos” sesuai dengan budaya Pancasila; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras tangguh bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil, sehat jasmani dan rohani, dan (4) cara bagaimana masyarakat menafsirkan dirinya, sejarahnya, dan tujuan-tujuannya. Bagaimana tiap warga memandang dirinya dalam masyarakat yang integralistik, bagaimana perkembanga cara peningkatan hrkat dan martabat sebagai manusia, apa yang menjadi tujuan pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.<br />
<br />
Landasan Psikologis Pendidikan<br />
Landasan psikologis mengandung makna norma dasar pendidikan yang bersumber dari hukum-hukum dasar perkembangan peserta didik. <br />
Hukum-hukum dasar perkembangan peserta didik sejak proses terjadinya konsepsi sampai mati manusia akan mengalami perubahan karena bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan itu bersifat jasmaniah maupun kejiwaannya. Jadi sepanjang kehidupan manusia terjadi proses pertumbuhan yang terus-menerus. Proses perubahan itu terjadi secara teratur dan terarah, yaitu ke arah kemajuan, bukan kemunduran. Tiap tahap kemajuan pertumbuhan ditandai dengan meningkatnya kemampuan dan cara baru yang dimiliki. Pertumbuhan merupakan peralihan tingkah laku atau fungsi kejiwaan dari yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Perubahan-perubahan yang selalu terjadi itu dimaksudkan agar orang didalam kehidupannya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.<br />
Lingkungan manusia terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fiik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar anak yang non manusia; sedangkan lingkungan sosial adalah semua orang yang ada didalam kehidupan anak, yakni orang yang bergaul dengan anak, melakukan kegiatan bersama atau bekerja sama.<br />
Tugas pendidikan yang terutama adalah memberikan bimbingan agar pertumbuhan anak dapat berlangsung secara wajar dan optimal. Oleh karena itu, diperlukan pngetahuan tentang hukum-hukum dasar perkembangan kejiwaan manusia agar tindakan pendidikan yang dilaksanakan berhasil guna dan berdaya guna. Beberapa hukum dasar yang perlu kita perhatikan dalam membimbing anak dalam proses pendidikan. <br />
Tiap-Tiap Anak Memiliki Sifat Kepribadian yang Unik. Anak didik merupakan pribadi yang sdang bertumbuh dan berkembang. Apabia kita amati secara seksama, mungkin kita menghadapi dua anak didik yang tidak sama benar. Di samping memiliki kesamaan-kesamaan, tentu masing-masing punya sifat yang khas, yang hanya dimiliki oleh diri masing-masing. Diakatakan, bahwa tiap-tiap anak memiliki sifat kepribadian yang unik; artinya anak memiliki sifat-sifat khas yang dimiliki oleh dirinya sendiri dan tidak oleh anak lain. Keunikan sifat pribadi seseorang itu terbentuk karena peranan tiga faktor penting, yakni: (1) keturunan/heredity, (2) lingkungan/environment, (3) diri/self.<br />
<br />
Faktor Keturunan<br />
Sejak terjadinya konsepsi, yakni proses pembuahan sel telur oleh sel jantan, anak memperoleh warisan sifat-sifat pembawaan dari kedua orang tuanya yang merupakan potensi-potensi tertentu. Potensi ini relatif sudah terbentuk (fixed) yang sukar berubah baik melalui usaha kegiatan pendidikan maupun pemberian pengalaman. Beberapa ahli ilmu pengetahuan terutama ahli biologi menekankan pentingnya faktor keturunan ini bagi pertumbuhan fisik, mental, maupun sifat kepribadian yang diinginkan. Pandangan ini nampaknya memang cocok untuk dunia hewan. Namun demikian, dalam lingkungan kehidupan manusia biasanya potensi individu juga merupakan masalah penting. Sedang para ahli ilmu jiwa yang menekankan pentingnya lingkungan seseorang dalam pertumbuhannya cenderung mengecilkan pengaruh pembawaan ini (naïve endowment). Mereka lebih menekankan pentingnya penggunaan secara berdaya guna pengalaman sosial dan edukasional agar seseorang dapat bertumbuh secara sehat dengan penyesuaian hidup secara baik. <br />
<br />
Faktor Lingkungan<br />
Sebagaimana diterangkan di muka, lingkungan kehidupan itu terdiri dari lingkungan yang bersifat sosial dan fisik. Sejak anak dilahirkan bahkan ketika masih dalam kandungan ibu, anak mendapat pengaruh dari sekitarnya. Macam dan jumlah makanan yang diterimanya, keadaan panas lingkungannya dan semua kondisi lingkungan baik yang bersifat membantu pertumbuhan maupun yang menghambat pertumbuhan. Sama pentingnya dengan kondisi lingkungan anak yang berupa sikap, perilaku orang-orang di sekitar anak. Kebiasaan makan, berjalan, berpakaian, itu bukan pembawaan, melainkan hal-hal yang diperoleh dan dipelajari anak dari lingkungan sosialnya. Bahasa yang dipergunakan merupakan media penting untuk menyerap kebudayaan masyarakat dimana anak tinggal. Tidak saja makna hafiah kata yang terdapat dalam bahasa itu melainkan juga asosiasi perasaan yang menyertai kata dalam perbuatan. <br />
Faktor Diri<br />
Faktor penting yang sering diabaikan dalam memahami prinsip pertumbuhan anak ialah faktor diri (self), yaitu faktor kejiwaan seseorang. Kehidupan kejiwaan itu terdiri dari perasaan, usaha, pikiran, pandangan, penilaian, keyakinan, sikap, dan anggapan yang semuanya akan berpengaruh dalam membuat keputusan tentang tindakan sehari-hari. Apabila dapat dipahami diri seseorang, maka dapat dipahami pola kehidupannya. Pengetahuan kita tentang pola hidup seseorang akan dapat membantu kita untuk memahami apa yang menjadi tujuan orang itu dibalik perbuatan yang dilakukan. Seringkali kita menginterpretasikan pengaruh pembawaan dan lingkungan secara mekanis tanpa memperhitungkan faktor lain yang tidak kurang pentingnya bagi pertumbuhan anak, yaitu diri (self). Memang pengaruh pembawaan dan lingkungan bagi pertumbuhan anak saling berkaitan dan saling melengkapi; tetapi masalah pertumbuhan belum berakhir tanpa memperhitungkan peranan self, yakni bagaimana seseorang menggunakan potensi yang dimiliki dan lingkungannya. Di sinilah pemahaman tentang self atau pola hidup dapat membantu memahami seseorang. Self mempunyai pengaruh yang besar untuk menginterprestasikan kuatnya daya pembawaan dan kuatnya daya lingkungan. Contoh yang ekstrim ada anak yang cacat fisik, tetapi beberapa fungsinya tetap berdaya guna, sedang anak cacat yang lain menggunakan kecacatannya sebagai suatu alasan untuk ketidakmampuannya. Ini tidak lain karena pernana self. Self berinteraksi dengan pembawaan dan lingkungan yang membentuk pribadi seseorang.<br />
<br />
Tiap Anak Memiliki Kecerdasan yang Berbeda-beda<br />
Sebagaimana diterangkan di atas, sejak anak dilahirkan, mereka itu memiliki potensi yang berbeda-beda dan bervariasi. Pendidikan memberi hak kepada anak untuk mengembangkan potensinya.<br />
Kalau kita perhatikan siswa-siswa, kita akan segera mengetahui bahwa mereka memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, meskipun mereka mempunyai usai kalender yang sama, tetapi kemampuan mentalnya tidak sama. Dikatakan mereka memiliki usia kronologis yang sama, tetapi usia kecerdasan yang tidak sama. Jadi setiap anak memiliki indeks kecerdasan yang berbeda-beda. Indeks kecerdasan atau IQ diperoleh dari hasil membagi usia kecerdasan denga usia kalender (usia senyatanya) dikalikan 100. Baik usia kecerdasan maupun usia kronologis (usia senyatanya) dinyatakan dalam satuan bulan.<br />
Contoh:<br />
Seorang anak dengan usia kecerdasan 10 tahun dan 6 bulan (126 bulan) diambil dari hasil tes intelegensi yang valid dan reliabel. Usia kronologisnya 10 tahun dan 6 bulan (126 bulan), maka IQ anak tersebut 100. Untuk kepentingan praktis IQ normal ditentukan antara 90 – 10. Dengan melihat indeks kecerdasan anak, kita dapat mengklasifikasi anak itu pada kecerdasan tertentu.<br />
<br />
Klasifikasi Kecerdasan<br />
<br />
> 140 = Genius<br />
130 - 139 = Sangat Pandai<br />
120 - 129 = Pandai<br />
110 - 119 = Di atas Norma<br />
90 - 109 = Normal/Sedang<br />
80 - 89 = Di bawah Norma<br />
70 - 79 = Bodoh<br />
50 - 69 = Feeble Minded: Moron<br />
< 49 = Feeble Monded: Imbicile/Idiot<br />
<br />
Anak golongan idiot mempunyai kemampuan mental yang paling rendah. Golongan ini tidak dapat melindungi dirinya dari bahaya atau melayani kebutuhan dirinya sendiri. Umurnya biasanya tidak panjang dan hanya mampu menumbuhkan kemampuan mentalnya pada tingkat usia 4 tahun.<br />
Golongan imbicile satu tingkat lebih baik daripada golongan idiot. Anak golongan imbicile dapat dilatih untuk melayani kebutuhan dirinya dan menguasai ketrampilan sederhana dengan bimbingan khusus. Anak golongan ini dapat mencapai usia dewasa, tetapi jarang sekali mencapai usia kecerdasan lebih dari tingkatan usia 8 tahun. Sedangkan golongan moron mampu melayanai kebutuhan dirinya. Dengan pendidikan sekolah yang direncanakan dengan seksama, mereka dapat mempelajari hal-hal yang sederhana dan menguasai ketrampilan yang terbatas untuk lapangan pekerjaan yang sederhana. Usia mental golongan moron jarang sekali mencapai tingkat usia 12 tahun. Terbuka kemungkinan memasuki lapangan pekerjaan yang menguntungkan dirinya sendiri dan yang mengerjakannya. Golongan genius pada waktu sekarang lebih mendapat perhatian para ahli daripada sebelumnya. Kemampuan berpikir dan penalaran golongan pada tingkatan kemampuan mental yang tinggi, sehingga mampu melakukan kegiatan yang bersifat kreatif dan invertif. Anak-anak berbakat ini ditemukan ada pada semua bangsa dan pada semua tingkatan sosial ekonomi dan semua jenis (laki-laki atau perempuan). Berdasarkan data yang ada ternyata jumlah jenius laki-laki lebih banyak dari perempuan. Berdasarkan penyelidikan Terman; anak-anak berbakat, kondisi fisiknya lebih baik dari yang normal, lebih kuat dan sehat dari umumnya anak-anak pada usia yang sama. Dalam hal penyesuaian sosial sama baiknya. <br />
<br />
Tiap Tahap Pertumbuhan Mempunyai Ciri-ciri Tertentu. Karena tiap tahap pertumbuhan itu memiliki ciri-ciri tertentu hal ini dapat membantu pendidik untuk mengatur strategi pendidikan dengan kesiapan anak muda untuk menerima, memahami dan menguasai bahan pendidikan sesuai dengan kemampuan. Jadi strategi pendidikan untuk siwa Sekolah Taman Kanak-kanak akan berbeda dengan strategi yang diperuntukkan siswa Sekolah Dasar. Demikian juga dengan jenjang persekolahan yang lain.<br />
<br />
Landasan Ilmiah dan Teknologi Pendidikan <br />
<br />
Landasan ilmiah dan teknologi pendidikan mengandung makna norma dasar yang bersumber dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengikat dan mengharuskan pelaksana pendidikan untuk menerapkannya dalam usaha pendidikan. Norma dasarnya yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu harus mengandung ciri-ciri keilmuan yang hakiki (Lihat jurnal pendidikan, Mei 1989). (1) Ontologis, yakni adanya objek penalaran yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diamati dan diuji. (2) Epistomologis, yakni adanya cara untuk menelaah objek tersebut dengan metode ilmiah, dan (3) Aksiologis, yakni adanya nilai kegunaan bagi kepentingan dan kesejahteraan lahir batin. <br />
Bagi pendidikan di Indonesia yang menjadi objek penalaran seluruh aspek kehidupan diklasifikasikan ke dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta agama. Yang dalam pengembangannya senantiasa harus dipedomi nilai-nilai Pancasila.<br />
Demikian pula cara telaah objek penalaran aspek kehidupan tersebut selain memperhatikan segi ilmiahnya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.<br />
Nilai kegunaan ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya terkait dengan peningkatan kesejahteraan lahir batin, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing sebagai bangsa, serta tidak bertentangan dengan nilai agama dan budaya bangsa.<br />
Manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi yang melandasi pendidikan harus mampu (1) memberikan kesejahteraan lahir dan batin setinggi-tingginya, (2) mendorong pemanfaatan pengembangan sesuai tuntutan zaman, (3) menjamin penggunaannya secara bertanggung jawab, (4) memberi dukungan nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya bangsa, (5) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (6) meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas sumber daya manusia.<br />
<br />
<br />
oooooooooooal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-61411291384393002632010-12-04T18:44:00.001-08:002010-12-05T19:47:59.715-08:00LANDASAN-LANDASAN PENDIDIKANLANDASAN-LANDASAN PENDIDIKAN<br />
oleh :Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd<br />
<br />
A. Pendahuluan<br />
<br />
Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini turut mempercepat laju perkembangan ekonomi yang paling nyata dirasakan yaitu menyangkut lapangan kerja, baik dilihat dari kebutuhan masyarakat maupun kemampuan dalam menyediakan atau menyiapkan tenaga kerja. Dalam hubungannya dengan masalah penyiapan tenaga kerja. Yang dihadapi di lapangan yaitu rendahnya mutu tenaga kerja di Negara kita. Banyak variabel yang turut mempengaruhi mutu tenaga kerja,biasanya variabel kodisi fisik,kualitas pendidikan, dan etos kerja sangat dominan dalam menentukan produktivitas tenaga kerja.<br />
Secara garis besar materi makalah ini di bagi menjadi 6 sub pokok bahasan yaitu : Landasan Hukum Landasan Filosofis, Landasan Psikologis, Landasan Sosiologis, Landasan Teknologis, dan Landasan Kultural<br />
<br />
B. Uraian<br />
<br />
Berikut adalah uraian pokok bahasan dalam makalah ini :<br />
<br />
1. Landasan Hukum<br />
<br />
Tiap-tiap negara memiliki peraturan perundang-undangan sendiri. Semua tindakan yang dilakukan di negara itu didasaran pada perundang-undangan tersebut. Bila ada suatu tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan itu, maka dikatakan tindakan itu melanggar hukum. Dan orang yang bersangkutan patut diadili. Oleh sebab itu, tindakan dikaakan benar bila sejalan atau sesuai dengan hukum yang beraku di negara bersangkutan.<br />
Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan yang bertingkat, mulai dari Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Ketetapan, sampai dengan Surat Keputusan. Semuanya mengandang hukum yang patut ditaati, dimana Undang-undang Dasar 1945 merupakan hukum yang tertingi. Sementara itu peraturan perundang-undangan yang lain harus tunduk kepada Undang-undang Dasar 1945. <br />
Kata landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak. Landaan hukum seorang guru boleh mengajar misalnya, adalah surat keputusan tentang pengangkatanya sebagai guru. Yang melandasi atau mendasari ia menjadi guru adalah surat keputusan itu beserta hak-haknya. Surat keputusan itu merupakan titik tolak untuk bisa melaksanakan pekerjaan guru. Begitu pula halnya mengapa anak-anak sekarang diwajibkan belajar paling sedikit sampai tingkat SMP, adalah dilandasi atau didasari atau bertitik tolak dari Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Dasar dan ketentuan tentang wajib belajar.<br />
Sementara itu kata hukum dapat dipandang sebagai peraturan baku yang patut ditaati. Aturan baku yang sudah disahkan oleh pemerintah ini, bila dilangar dan mendapat sangsi sesuai dengan aturan yang berlaku pula. Seorang guru yang melanggar disiplin misalnya, bisa dikenai sangsi dalam bentuk kenaikan pangkatnya ditunda. Begitu pula seorang peserta didik yang kehadiranya kurang dari 75% tidak diizinkan mengikuti ujian akhir.dari uraian di atas dapatlah dipahami makna kata landasan hukum yang sedang dibahas ini. Landasan hukum dapat diartikan peraturan baku sebagai tempat terpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan. Tetapi tidak semua kegiatan pendidikan yang dilandasi oleh aturan lain, seperti aturan kurikulum, aturan cara mengajar, cara membuat persiapan, supervisi, dan sebagainya. Apalagi bila dikaitkan dengan kiat mengajar atau seni mendidik, sangat banyak kegiatan pendidikan yang dikembangkan sendiri oleh para pendidik.<br />
2. Landasan Filosofis<br />
<br />
Filosofis terhadap pendidikan adalah suatu pendekatan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Pengetahuan atau teori pendidikan yang dihasilkan dengan pendekatan filosofi disebut filsafat pendidikan. Menurut Henderson (1959), filsafat pendidikan adalah filsafat yang diterapkan / diaplikasikan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan.<br />
Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah dalam hidup dan kehidupan, dimana pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan membutuhkan filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah yang luas, kompleks, dan lebih mendalam, yang tidak terbatas oleh pengalaman indrawi maupun fakta-fakta faktual, yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Masalh-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan suatu fakta, namun pembahasanya tidak bisa dengan mengunakan cara-cara yang dilakukan oleh sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam.<br />
Tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan pandangan hidup individu maupun masyarakat yang menyelengarakan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami tujuan akhirnya, sehingga hanya tujuanlah yang dapat ditentukan terlebih dahulu dalam pendidikan. Tujuan pendidikan tersebut perlu dipahami dalam kerangka hubunganya dengan tujuan hidup tersebut, baik yang berkaitan dengan tujuan dan pandangan hidup individu maupun kelompok, si terdidik maupun pendidik secara pribadi memiliki tujuan dan pandangan hidup sendiri, dan sebagai masyarakat atau warga negara memiliki tujuan hidup bersama.<br />
Karakteistik pendekatan filosofi, seperti halnya pendekatan sains, dapat dilihat dari obyek pengkajian, dan metode kerja pengkajian. Objek pengkajian pendidikan dengan menggunakan pendekatan filosofi, adalah semua aspek pendidikan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Seluruh aspek pendidikan seperti tujuan pendidikan, isi pendidikan, metode pendidikan, pendidik, anak didik, keluarga, masyarakat, merupakan kajian yang komprehensif dari pengkajian filosofi. Pengkajian seperti ini disebut pengkajian sinopsis, yaitu suatu pengkajian yang bersifat merangkum atau mencakup semua aspek pendidikan.<br />
Tujuan akhir suatu pengkajian filosofi dalam pendidikan adalah merumuskan apa dan bagaimana seharusnya tentang pendidikan. Kajian filosofi berusaha merumuskan apa yang dimaksud dengan pendidikan, bagaimana seharusnya tujuan pendidikan, bagaimana seharusnya kurikulum dirumuskan / disusun. Metode pengkajian filosofi adalah melalui kajian rasional yang mendalam tentang pendidikan dengan menggunakan semua pengalaman manusia dan kemanusianya. Oleh karena itu pengalaman kemanusiaan seseorang dapat diterapkan dalam menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan.<br />
<br />
3. Landasan Psikologis<br />
<br />
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani. Yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar. Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia, yang berada dan melekat dalam manusia itu sendiri. Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Jiwa balita baru berkembang sedikit sekali sejajar dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan sederhana sekali. Makin besar anak itu makin makin berkembang pula jiwanya, dengan melalui tahap-tahap tertentu akhirnya anak itu mencapai kedewasaan baik dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani. Dalam perkembangan jiwa dan jasmani inilah seyogyanya anak-anak belajar, sebab pada maa ini mereka peka untuk belajar, punya waktu banyak untuk belajarbelum berumah tangga, bekerja, dan bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga. Masa belajar ini bertingkat-tingkat sejalan dengan fase-fase perkembangan mereka. Oleh karena itu, layanan-layanan pendidikan terhadap mereka harus pula dibuat bertingkat-tingkat agar pelajaran itu mudah dipahami oleh anak-anak.<br />
<br />
1. Landasan Sosiologis<br />
<br />
Ada sejumlah definisi tentang sosiologi, namun walaupun berbeda-beda bentuk kalimatnya, semuanya memiliki makna yang mirip. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Jadi sosiologi mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya an bagaimana susunan unit-unit masyarakat atau sosial disuatu wilayah serta kaitanya satu dengan yang lain. Menurut perkembangan sejarah, manusia itu tidak pernah berhenti dari kesibukanya, baik kesibukan dalam menghadapi dunia luar atau lingkungan sekitar maupun diri manusia itu sendiri. Dari pagi sampai malam anak-anak, orang dewasa, dan orang tua sibuk dengan pekerjaanya masing-masing. Di dalam kesibukan-kesibukan mana terjalinlah suatu hubungan timbal balik di dalam usaha mencapai dan memenuhi kebutuhan manusia. Ada anak-anak yang sibuk bermain, atau bekerja untuk membantu orang tua orang tua bekerja untuk anak, mahasiswa pergi kuliah, tukang kedai melayani para tamunya dan sebagainya. Kalau kita perhatikan di dalam mesyarakat ini, penuhlah dengan kesibukan-kesibukan manusia entah apapun yang dikerjakan! Manusia, dengan segala tingkah lakunya di dalam menghadapi lingkungan sekitarnya menimbulkan usaha-usaha untuk mengetahui dan akhirnya memanipulasi lingkungan sekitar manusia untuk memenuhi kebutuhanya.<br />
Di dalam kegiatan manusia sebagai mahluk sosial menimbulkan berbagai ilmu pengetahuan sendiri. Termasuk di sini ialah kegiatan manusia untuk mendidik generasi-generasi mudanya, ialah dengan memberikan, mewariskan kebudayaan kepada anak cucunya. Nah, di dalam karya mendidik inilah manusia berusaha untuk memenuhi bagaimanakan proses pendidikan itu dilihat dari segi sosialnya, ditinjau dari konstelasi sosial, dimana terjalin karya mendidik itu. Maka di sini timbulah suatu cabang ilmu pengetahuan ialah sosiologi pendidikan. Atau kalau dengan istilah yang lebih pendek dapatlah dipergunakan Sosio-Paedagogika.<br />
<br />
5. Landasan Teknologis<br />
<br />
Pada hakikatnya teknologi pendidikan adalah suatu pendekatan yang sistematis dan kritis tentang pendidikan. Teknologi pendidikan memandang soal belajar dan mengajar sebagai masalah atau problema yang harus dihadapi secara rasional dan ilmiah.<br />
Hidup manusia sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi misalnya banyak menghasilkan mesin dan alat-alat elektronik yang sangat membantu manusia dalam menjalani hidup sehari-hari seperti jam, mesin jahit, mesin foto copy, mobil, pesawat, komputer, hand phone, dan sebagainya. Disamping itu alat-alat itu juga dapat merusak menimbulkan macam-macam bahaya yang dapat merusak dan membahayakan hidup manusia. <br />
Adanya alat-alat itu dapat mengubah pikiran manusia, mengubah cara kerja dan cara hidupnya. Juga pendidikan tidak bebas dari pengaruh teknologi. Teknologi pendidikan bersikap skeptis yaki menghasilkan kebenaran prinsip-prinsip mengajar atau asas-asas didaktik sebelum diperoleh bukti-bukti akan kebenaranya. Teknologi pendidikan merupakan suatu ekspresi dari scientific movement atau gerakan ilmiah yang telah dirintis oleh Aristoteles dan bergerak terus melalui Wundt, Pavlov, Thorndike, Skinner, hingga masa kini.<br />
<br />
6. Landasan Kultural<br />
<br />
Kultural menurut Taylor adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat (Imran Manan, 1989). Kultur produk perseorangan ini tidak disetujui Hasan (1983) dengan mengemukakan kultur adalah keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, Sedangkan Kneller mengatakan Kultur adalah cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat (Imran Manan, 1989).<br />
Dari ketiga definisi kebudayaan di atas, tampaknya definisi terakhir yang paling tepat sebab mencakup semua cara hidup ditambah dengan kehidupan manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri sebagai warga masyarakat. Namun ada baiknya kalau ciptaan manusia yang bersifat umum itu diklasifikasikan agar mudah mempelajarinya.al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-4360498421351616382010-12-04T18:39:00.000-08:002010-12-04T18:39:10.025-08:00TEORI PERKEMBANGAN KOGNISI ( JEAN PIAGET )TEORI PERKEMBANGAN KOGNISI<br />
( JEAN PIAGET )<br />
Oleh : IMAM MUSTAQIM, S.Pd.I., M.Pd.<br />
<br />
<br />
PENGERTIAN<br />
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan ( Neisser, 1976). Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa.<br />
Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. <br />
<br />
TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET<br />
<br />
Jean Piaget meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927 sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu /pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu.<br />
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia masih kecil.<br />
Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably dengan istilah struktur. Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang . Scheme berhubungan dengan : <br />
Refleks-refleks pembawaan ; misalnya bernapas, makan, minum. Scheme mental ; misalnya scheme of classification, scheme of operation. ( pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap, pola tingkah laku yang dapat diamati Jika schemas / skema / pola yang sudah dimiliki anak mampu menjelaskan hal-hal yang dirasakan anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan keadaan ekuilibrium (equilibrium), namu ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pola-pola yang ada, anak mengalami sensasi disekuilibrium (disequilibrium) yaitu kondisi yang tidak menyenangkan. <br />
Sebagai contoh karena masih terbatasnya skema pada anak-anak : seorang anak yang baru pertama kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia baru memiliki konsep cecak yang sering dilihat dirumahnya. Ia memiliki konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia melihat buaya untuk pertama kalinya, konsep cecaklah yang paling dekat dengan stimulus. Peristiwa ini pun bisa terjadi pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui. Misalnya : seringkali orang menyebut kuda laut itu sebagai singa laut, padahal kedua binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun bentuk tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan sebagian bentuk tubuhnya yang hampir sama. <br />
Perkembangan skemata ini berlangsung terus -menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran dan tingkat intelegensi anak itu. <br />
Menurut Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek, <br />
Struktur ; disebut juga scheme seperti yang dikemukakan diatas<br />
Isi ; disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.<br />
Fungsi ; disebut fungtion, yaitu yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektul. <br />
Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi invariant, yaitu organisasi dan adaptasi.<br />
Organisasi ; berupa kecakapan seseorang dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk system-sistem yang koheren.<br />
Adaptasi ; yaitu penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya. <br />
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu :<br />
Asimilasi<br />
Adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk / proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya.<br />
Akomodasi<br />
Adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung/ proses perubahan respons individu terhadap stimuli lingkungan.<br />
Dalam struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif ini pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya.<br />
Dengan penjelasan diatas maka dapatlah kita ketahui tentang bagaimana terjadinya pertumbuhan dan perkembangan intelektual.<br />
Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari adanya equilibrium – disequilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium, individu akan dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi.<br />
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN<br />
Piaget mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan anak, yaitu :kematangan<br />
pengalaman fisik / lingkungan<br />
transmisi social<br />
equilibrium<br />
Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. <br />
Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis :<br />
tahap Sensori Motor : 0 – 2 tahun ;<br />
tahap Pra Operasi : 2 – 7 tahun ;<br />
tahap Operasi Konkrit : 7 – 11 tahun ;<br />
tahap Operasi Formal : 11 keatas.<br />
Sebaran umur pada seiap tahap ersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an.<br />
Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)<br />
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra)<br />
Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghiang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dll.<br />
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak beum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya. <br />
Tahap Pra Operasi ( Pre Operational Stage)<br />
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting), (mairer, 1978 :24). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu, cirri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.<br />
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja.<br />
Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)<br />
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, dan pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objek<br />
Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. <br />
Smith (1998) memberikan contoh. Anak-anak diberi tiga boneka dengan warna rambut yang berlainan (Edith, Suzan, dan Lily), tidak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi boneka yang berambut paling gelap. Namun, ketika diberi peranyaan, “Rambut Edith lebih terang daripada rambut Lily. Rambut siapakah yang paling gelap?” , anak-anak pada tahap operasional konkret mengalami kesulitan karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambang-lambang.<br />
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak telah dapat mengetahui symbol-simbol matematis, tetapi belum dapatt menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).<br />
Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)<br />
Tahap operasi formal ini adalah tahap akhir dari perkembangan konitif secara kualitatif. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abtrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwanya berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. <br />
Sebagai contoh eksperimen Piaget berikut ini : <br />
Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “pak Pendek” dan untaian klip (penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian ditambahkan penjelasan dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” itu mempunyai teman “Pak Tinggi”. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi “Pak Pendek”empat batang sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam batang korek api. Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah diatas, anak harus memerlukan operasi terhadap operasi. <br />
Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kekampuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya (child, 1977 : 127)<br />
Kesimpulan pada tahap ini adalah :<br />
Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu disebut operasional formal). <br />
Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya system nilai dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.<br />
IMPLIKASI PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN DI KELAS<br />
Pengaplikasiannya di dalam belajar : perkembangan kognitif bergantung pada akomodasi. Kepada individu diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak dapat belajar dari apa yang telah diketahuinya saja. Ia tak dapat menggantungkan diri pada asimilasi. Dengan adanya area baru ini individu akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasi. Situasi atau area itulah yang akan mempermudah pertumbuhan kognitif.<br />
Secara terinci dibawah ini adalah penerapan teori Piaget terhadap pendidikan di kelas :<br />
Karena cara berpikir anak itu berbeda-beda dan kurang logis di banding dengan orang dewasa, maka guru harus dapat mengerti cara berpikir anak, bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan guru.<br />
Anak belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Arrtinya disini adalah agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri. Pendidikan disini bertujuan untuk mengembangkan pemikiran anak, artinya ketika anak-anak mencoba memecahkan masalah, penalaran merekalah yang lebih penting daripada jawabannya. Oleh sebab itu guru penting sekali agar tidak menghukum anak-anak untuk jawaban yang salah, tetapi sebaliknya menanyakan bagaimana anak itu memberi jawaban yang salah, dan diberi pengertian tentang kebenarannya atau mengambil langkah-langkah yang tepat untuk untuk menanggulanginya.<br />
Guru dapat menemukan menemukan dan menetapkan tujun pembelajaran materi pelajaran atau pokok bahasan pengajaran tertentu. <br />
Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak mengandung tiga aspek, yaitu structure, content dan function. Anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektualnya berubah / berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan ; masing-masing . mempunyai struktur psikologi khusus yang menentukan kecakapan pikir anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus. <br />
<br />
KRITIK TERHADAP TEORI PIAGET<br />
Kebanyakan ahli psikologi sepenuhnya menerima prinsip-prinsip umum Piaget bahwa pemikiran anak-anak pada dasarnya berbeda dengan pemikiran orang dewasa, dan jenis logika anak-anak itu berubah seiring dengan bertambahnya usia. Namun, ada juga peneliti yang meributkan detail-detail penemuan Piaget, terutama mengenai usia ketika anak mampu menyelesaikan tugas-tugas spesifik. <br />
Pada sebuah studi klasik, McGarrigle dan Donalson (1974) menyatakan bahwa anak sudah mampu memahami konservasi (conservation) dalam usia yang lebih muda daripada usia yang diyakini oleh Piaget. <br />
Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu bahwa anak-anak baru mencapai pemahaman tentang objek permanence pada usia di atas 6 bulan. Balillargeon dan De Vos (1991) ; 104 anak diamati sampai mereka berusia 18 tahun, dan diuji dengan berbagai tugas operasional formal berdasarkan tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk pengujian hipotesa. Mayoritas anak-anak itu memang belum mencapai tahap operasional formal. Hal ini sesuai dengan studi-studi McGarrigle dan Donaldson serta Baillargeon dan DeVos, yang menyatakan bahwa Piaget terlalu meremehkan kemampuan anak-anak kecil dan terlalu menilai tinggi kemampuan anak-anak yang lebih tua dan belum lama ini, Bradmetz (1999) menguji pernyataan Piaget bahwa mayoritas anak mencapai formal pada akhir masa kanak-kanak. <br />
Inilah yang menjadi pertentangan dan kritikan diantara para ahli psikologi.al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-74485312311275960432010-12-04T18:38:00.000-08:002010-12-04T18:38:11.058-08:00FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR ANAKFAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI<br />
PRESTASI BELAJAR ANAK<br />
<br />
Oleh : IMAM MUSTAQIM, S.Pd.I., M.Pd.<br />
<br />
Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi meramalkan sukses terhadap prestasi belajar. Namun IQ yang tinggi ternyata tidak menjamin sukses di masyarakat Dalam rangka Seminar Sehari tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar Anak dan Kurikulum Berbasis Komputensi di Sekolah Dasar<br />
1. Pengaruh Pendidikan dan Pembelajaran Unggul.<br />
Seorang secara genetis telah lahir dengan suatu organisme yang disebut inteligensi yang bersumber dari otaknya. Struktur otak telah ditentukan secara genetis, namun berfungsinya otak tersebut menjadi kemampuan umum yang disebut inteligensi, sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya (Semiawan, C, 1997).Pada kala bayi lahir ia telah dimodali 100 - 200 milyar sel otak dan siap memproseskan beberapa trilyun informasi. Cara pengelolaan inteligensi sangat mempengaruhi kualitas manusianya, tetapi sayang perlakuan lingkungan dalam caranya tidak selalu menguntungkan perkembangan inteligensi yang berpangaruh terhadap kepribadian dan kualitas kehidupan manusia. Ternyata dari berbagai penelitian bahwa pada umumnya hanya kurang lebih 5% neuron otak berfungsi penuh (Clark, 1986). <br />
Lingkungan pendidikan dan berbagai pusat pelatihan serta tempat kerja kita kini juga dipengaruhi oleh lingkungan global yang merupakan berbagai pengaruh eksternal dalam dinamika berbagai aspek kehidupan di dunia, Lingkungan global yang mengadung pengertian tereksposnya kita oleh kehidupan komunitas global menuntut adaptasi masyarakat kita pada kondisi global dan pada gilirannya menuntut adaptasi individu untuk bisa bertahan di masyarakat di mana ia hidup.<br />
Interface antar berbagai stimulus lingkungan melalui interaksi untuk mewujudkan aktualitasasi diri individu secara optimal dalam masyarakat di mana ia hidup dan juga aktualisasi daerah pada masyarakat yang lebih luas, nasional maupun global, inilah yang harus menjadi perhatian pengelola ataupun atasan atas perlakuan subjek SDM, dalam hal kita, para guru dalam perlakuannya terhadap peserta didik. Interaksi yang terjadi dalam prilaku anak-anak kita. Namun secara reciprocal (timbal balik) perlakuan yang diterjadikan adalah cermin kehidupan masyarakat di mana ia hidup.<br />
Menghadapi era global di masa yang akan datang, diharapkan kesadaran tentang reformasi pendidikan memenuhi kondisi masa depan yang dipersyaratkan (necessary condition to be fullfield). Kurun waktu milenium ke 3 dari proses kehidupan manusia sudah berjalan, dan abad ke-21 serta abad ke-22 ini bukan saja merupakan abad-abad baru, melainkan juga peradaban baru. Hal ini dikarenakan betapapun mengalami krisis moneter, Indonesia akan terkena juga oleh restrukturisasi global dunia yang sedang berlangsung. Restrukturisasi dunia, yang terutama ditandai oleh berbagai perubahan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan aspek kehidupan lain, mempengaruhi setiap insan manusia, laki, perempuan, anak di negara berkembang maupun di negara maju, tidak terkecuali negara Indonesia, dan terutama berdampak terhadap orientasi pendidikan.<br />
2. Perkembangan dan Pengukuran Otak.<br />
Sebagaimana tadi dikatakan, maka cara penggunaan sistem kompleks dari proses pengelolaan otak ini sebenarnya sangat menentukan inteligensi maupun kepribadian dan kualitas kehidupan yang dialami seorang manusia, serta kualitas manusia itu sendiri. Untuk meningkatkan kecerdasan anak maka produksi sel neuroglial, yaitu sel khusus yang mengelilingi sel neuron yang merupakan unit dasar otak, dapat ditingkatkan melalui berbagai stimulus yang menambah aktivitas antara sel neuron (synaptic activity), dan memungkinkan akselerasi proses berfikir(Thompsn, Berger, dan Berry, 1980 dalam Clark, 1986). Dengan demikian inteligensi manusia dapat ditingkatkan, meskipun dalam batas-batas tipe inteligensinya.<br />
Secara biokimia neuron-neuron tersebut menjadi lebih kaya dengan memungkinkan berkembangnya pola pikir kompleks. Juga banyak digunakan berkembangnya aktivitas "Prefrontal cortex" otak, sehingga terjadi perencanaan masa depan, berfikir berdasarkan pemahaman dan pengalaman intuitif, Prefrontal cortex yang terutama tumbuh pada ketika anak berumur duabelas sampai enambelas tahun mencakup juga kemampuan melihat perubahan pola ekstrapolasi kecendrungan hari ini ke masa depan; regulasi diri serta strategi "biofeedback" dan meditasi; berfikir sistem analisis;yang merupakan aspek-aspek bentuk tertinggi kreativitas serta memiliki kepekaan sosial, emosional maupun rasional (Goodman, 1978, dalam Clark, 1986). Sifat-sifat manusia ini banyak terkait dengan sifat-sifat inisiatif dan dorongan mencapai kemandirian dan keunggulan. <br />
Otak dewasa manusia tidak lebih dari 1,5 kg, namun otak tersebut adalah pusat berfikir, perilaku serta emosi manusia mencerminkan seluruh dirinya (selfhood), kebudayaan, kejiwaan serta bahasa dan ingatannya. Descartes pusat kesadaran orang, ibarat saisnya, sedangkan badan manusia adalah kudanya. Meskipun kemudian ternyata, bahwa perilaku manusia juga dipengaruhi oleh ketidaksadarannya (freud dalam Zohar, 2000:39), kesadaran manusia yang oleh Freud disebut rasionya merupakan kemampuan umum yang mengontrol seluruh perilaku manusia. Berbagai penelitian kemudian membuktikan bahwa kemampuan rasional tersebut biasa diukur dengan IQ (Intelligence Quetient). <br />
Meskipun kini terbukti bahwa orang memiliki lebih dari satu inteligensi menurut teori Gardner ada 8 (teori Multiple Intelligence), ukuran yang disebut IQ mengukur kemampuan umum yang bersifat tunggal masih sering dipakai untuk menandai kemampuan intelektual dan prestasi belajar. Ternyata bahwa otak tersebut masih menyimpan berbagai kemungkinan lain. "Celebral Cortex" otak dibagi dalam dua belahan otak yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut "corpus callosum". Belahan otak kanan menguasai belahan kiri badan, sedangkan belahan otak kiri menguasai belahan kanan badan. Respons, tugas dan fungsi belahan kiri dan kanan berbeda dalam menghayati berbagai pengalaman belajar, sebagaimana seorang mengalami realitas secara berbeda-beda dan unik. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk merespons terhadap hal yang sifatnya linier, logis, teratur, sedangkan yang kanan untuk mengembangkan kreativitasnya, mengamati keseluruhan secara holistik dan mengembangkan imaginasinya. Dengan demikian ada dua kemungkinan cara berfikir, yaitu cara berfikir logis, linier yang menuntut satu jawaban yang benar dan berfikir imaginatif multidimensional yang memungkinkan lebih dari satu jawaban.<br />
<br />
3. Kecerdasan (Inteligensi) Emosional.<br />
<br />
Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi meramalkan suskse terhadap prestasi belajar. Namun IQ yang tinggi ternyata tidak menjamin sukses di masyarakat (Segal, 1997:14). Pada permulaan tahun sembilan puluhan berbagai penelitian menunjukkan (Segal, 1997:5) bahwa diinspirasi oleh berbagai psikolog humanis seperti Maslow, Rollo May, Carl Rogers yang sangat memperhatikan segi-segi subyektif (perasaan) dalam perkembangan psikolog, eksplorasi tentang emosi telah menunjuk pada sumber-sumber emosi (Segal, 1997, Goleman, 1995).<br />
Ternyata bahwa emosi selain mengandung persaan yang dihayati seseorang, juga mengandung kemampuan mengetahui (Menyadari) tentang perasaan yang dihayati dan kemampuan bertindak terhadap perasaan itu. Bahkan pada hakekatnya emosi itu adalah impuls untuk bertindak.<br />
Goleman menyatakan bahwa selain rational mind, seorang memiliki an emotional main yang masing-masing diukur oleh IQ dan EQ dan bersumber masing-masing dari head dan heart. kedua kehidupan mental tersebut, meskipun berfungsi dengan cara-caranya sendiri, bekerjasama secara sinergis dan harmonis.<br />
• Homo sapiens yang memiliki neocortex(otak depan) yang merupakan sumber rasio, yaitu otak depan, terdiri dari pusat-pusat yang memahami dan mendudukan apa yang diamati oleh alat dria kita. Dalam evolusi tentang pengtahuan kemampuan organisma, ternyata bahwa penanjakan kehidupan manusia dalam peradaban dan kebudayaan adalah kerja neocortex yang ternyata juga menjadi sumber kemampuan seseorang untuk perencanaan dan strategi jangka panjang dalam mempertahankan hidup (Goleman, 1995:11).<br />
• Perkembangan ini menjadi otak memiliki nuansa terhadap kehidupan emosional seseorang. Struktur lymbic (sumsum tulang belakang) menghidupkan perasaan tentang kesenangan dan keinginan seksual, yaitu emosi yang mewujudkan sexual passion. Namun keterkaitan sistem lymbic tersebut dengan neocortex menumbuhkan hubungan dasar ibu-anak, yang menjadi landasan untuk unit keluarga dan commitment jangka panjang untuk membesarkan anak (spesi yang tidak dimiliki organisma ini seperti binatang melata, tidak memiliki kasih sayang) dan sering membunuh dan /atau menghancurkan anaknya sendiri. Masa anak dan masa belajar panjang (long childhood) bersumber dari saling keterhubungan neuron-neuron dalam 'pabrik' otak ini.<br />
• Amygdala adalah neuron yang mewujudkan struktur keterhubungan di atas brainstem dekat dasar dari limbic ring(cincin sumsum tulang belakang antara emosi dan rasio). Amygdala adalah tempat penyimpanan memori emosi. Joseph Le Doux, neoroscientist dari Center for Neural Scince New York University menemukan peran penting amygdala dalam otak emosional. Amygdala menerima input langsung melalui alat dria dan memberikan signal kepada neocortex, namun juga dapat memberikan respons sebelum tercatat di neocortex. Jadi ada kemungkinan respons manusia sebelum ia berfikir. <br />
<br />
<br />
ooooooooooooooal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-66566658253348396092010-12-02T03:08:00.001-08:002010-12-02T03:08:23.391-08:00Pembelajaran Tuntas (Mastery-Learning) dalam KTSPOleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd.<br />
Guru SMP Negeri 1 Pagaralam<br />
Dosen STKIP Muhammadiyah Pagaralam<br />
<br />
A. Latar Belakang<br />
Salah satu di antara masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak diperbincangkan adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendahnya rata-rata prestasi belajar, khususnya peserta didik Sekolah Menengah Atas (SMA). Masalah lain adalah bahwa pendekatan dalam pembelajaran masih terlalu didominasi peran guru (teacher centered). Guru lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai objek dan bukan sebagai subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam berbagai mata pelajaran, untuk mengembangkan kemampuan berpikir holistik (menyeluruh), kreatif, objektif, dan logis, belum memanfaatkan quantum learning sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta kurang memperhatikan ketuntasan belajar secara individual. <br />
Demikian juga proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita, umumnya belum menerapkan pembelajaran sampai peserta didik menguasai materi pembelajaran secara tuntas. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak menguasai materi pembelajaran meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Tidak heran kalau mutu pendidikan secara nasional masih rendah.<br />
Penerapan Standar Isi yang berbasis pendekatan kompetensi sebagai upaya perbaikan kondisi pendidikan di tanah air ini memiliki beberapa alasan, di antaranya:<br />
1. potensi peserta didik berbeda-beda, dan potensi tersebut akan berkembang jika stimulusnya tepat;<br />
2. mutu hasil pendidikan yang masih rendah serta mengabaikan aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, seni & olah raga, serta kecakapan hidup (life skill);<br />
3. persaingan global yang memungkinkan hanya mereka yang mampu akan berhasil;<br />
4. 4. persaingan kemampuan SDM (Sumber Daya Manusia) produk lembaga pendidikan;<br />
5. persaingan yang terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga perlu rumusan yang jelas mengenai standar kompetensi lulusan.<br />
Upaya-upaya dalam rangka perbaikan dan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi meliputi: kewenangan pengembangan, pendekatan pembelajaran, penataan isi/konten, serta model sosialisasi, lebih disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi serta era yang terjadi saat ini. Pendekatan pembelajaran diarahkan pada upaya mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengelola perolehan belajar (kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Dengan demikian proses pembelajaran lebih mengacu kepada bagaimana peserta didik belajar dan bukan lagi pada apa yang dipelajari.<br />
Sesuai dengan cita-cita dari tujuan pendidikan nasional, guru perlu memiliki beberapa prinsip mengajar yang mengacu pada peningkatan kemampuan internal peserta didik di dalam merancang strategi dan melaksanakan pembelajaran. Peningkatan potensi internal itu misalnya dengan menerapkan jenis-jenis strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara penuh, utuh dan kontekstual.<br />
Berbicara tentang rendahnya daya serap atau prestasi belajar, atau belum terwujudnya keterampilan proses dan pembelajaran yang menekankan pada peran aktif peserta didik, inti persoalannya adalah pada masalah “ketuntasan belajar” yakni pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan bagi setiap kompetensi secara perorangan. Masalah ketuntasan belajar merupakan masalah yang penting, sebab menyangkut masa depan peserta didik, terutama mereka yang mengalami kesulitan belajar.<br />
Pendekatan pembelajaran tuntas adalah salah satu usaha dalam pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi peserta didik mencapai penguasaan (mastery level) terhadap kompetensi tertentu. Dengan menempatkan pembelajaran tuntas (mastery learning) sebagai salah satu prinsip utama dalam mendukung pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, berarti pembelajaran tuntas merupakan sesuatu yang harus dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh seluruh warga sekolah. Untuk itu perlu adanya panduan yang memberikan arah serta petunjuk bagi guru dan warga sekolah tentang bagaimana pembelajaran tuntas seharusnya dilaksanakan.<br />
B. Asumsi Dasar<br />
Metode pembelajaran adalah cara untuk mempermudah peserta didik mencapai kompetensi tertentu. Hal ini berlaku baik bagi guru (dalam pemilihan metode mengajar) maupun bagi peserta didik (dalam memilih strategi belajar). Dengan demikian makin baik metode, akan makin efektif pula pencapaian tujuan belajar (Winarno Surahmad, 1982). Langkah metode pembelajaran yang dipilih memainkan peranan utama, yang berakhir pada semakin meningkatnya prestasi belajar peserta didik.<br />
Pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam proses pembelajaran berbasis kompetensi dimaksudkan adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Dalam model yang paling sederhana, dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan, dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan peserta didik akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi jika peserta didik tidak diberi cukup waktu atau dia tidak dapat menggunakan waktu yang diperlukan secara penuh, maka tingkat penguasaan kompetensi peserta didik tersebut belum optimal. Block (1971) menyatakan tingkat penguasaan kompetensi peserta didik sebagai berikut :<br />
<br />
Model ini menggambarkan bahwa tingkat penguasaan kompetensi (degree of learning) ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang benar-benar digunakan (time actually spent) untuk belajar dibagi dengan waktu yang diperlukan (time needed) untuk menguasai kompetensi tertentu.<br />
Dalam pembelajaran konvensional, bakat (aptitude) peserta didik tersebar secara normal. Jika kepada mereka diberikan pembelajaran yang sama dalam jumlah pembelajaran dan waktu yang tersedia untuk belajar, maka hasil belajar yang dicapai akan tersebar secara normal pula. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara bakat dan tingkat penguasaan adalah tinggi. Secara skematis konsep tentang prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran dengan pendekatan konvensional dapat digambarkan sebagai berikut :<br />
<br />
Sebaliknya, apabila bakat peserta didik tersebar secara normal, dan kepada mereka diberi kesempatan belajar yang sama untuk setiap peserta didik, tetapi diberikan perlakuan yang berbeda dalam kualitas pembelajarannya, maka besar kemungkinan bahwa peserta didik yang dapat mencapai penguasaan akan bertambah banyak. Dalam hal ini hubungan antara bakat dengan keberhasilan akan menjadi semakin kecil.<br />
Secara skematis konsep prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran tuntas, dapat digambarkan sebagai berikut:<br />
<br />
Dari konsep-konsep di atas, kiranya cukup jelas bahwa harapan dari proses pembelajaran dengan pendekatan belajar tuntas adalah untuk mempertinggi rata-rata prestasi peserta didik dalam belajar dengan memberikan kualitas pembelajaran yang lebih sesuai, bantuan, serta perhatian khusus bagi peserta didik yang lambat agar menguasai standar kompetensi atau kompetensi dasar. Dari konsep tersebut, dapat dikemukakan prinsip-prinsip utama pembelalaran tuntas adalah:<br />
1. Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang hirarkis,<br />
2. Evaluasi yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback,<br />
3. Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan,<br />
4. Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar lebih awal. (Gentile & Lalley: 2003)<br />
C. Perbedaan antara Pembelajaran Tuntas dengan Pembelajaran Konvensional<br />
Pembelajaran tuntas adalah pola pembelajaran yang menggunakan prinsip ketuntasan secara individual. Dalam hal pemberian kebebasan belajar, serta untuk mengurangi kegagalan peserta didik dalam belajar, strategi belajar tuntas menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi mengakui dan melayani perbedaan-perbedaan perorangan peserta didik sedemikiah rupa, sehingga dengan penerapan pembelajaran tuntas memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal. Dasar pemikiran dari belajar tuntas dengan pendekatan individual ialah adanya pengakuan terhadap perbedaan individual masing-masing peserta didik.<br />
Untuk merealisasikan pengakuan dan pelayanan terhadap perbedaan individu, pembelajaran harus menggunakan strategi pembelajaran yang berasaskan maju berkelanjutan (continuous progress). Untuk itu, pendekatan sistem yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam teknologi pembelajaran harus benar-benar dapat diimplementasikan. Salah satu caranya adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar harus dinyatakan secara jelas, dan pembelajaran dipecah-pecah ke dalam satuan-satuan (cremental units). Peserta didik belajar selangkah demi selangkah dan boleh mempelajari kompetensi dasar berikutnya setelah menguasai sejumlah kompetensi dasar yang ditetapkan menurut kriteria tertentu. Dalam pola ini, seorang peserta didik yang mempelajari unit satuan pembelajaran tertentu dapat berpindah ke unit satuan pembelajaran berikutnya jika peserta didik yang bersangkutan telah menguasai sekurang-kurangnya 75% dari kompetensi dasar yang ditetapkan. Sedangkan pembelajaran konvensional dalam kaitan ini diartikan sebagai pembelajaran dalam konteks klasikal yang sudah terbiasa dilakukan, sifatnya berpusat pada guru, sehingga pelaksanaannya kurang memperhatikan keseluruhan situasi belajar (non belajar tuntas).<br />
Dengan memperhatikan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa perbedaan antara pembelajaran tuntas dengan pembelajaran konvensional adalah bahwa pembelajaran tuntas dilakukan melalui asas-asas ketuntasan belajar, sedangkan pembelajaran konvensional pada umumnya kurang memperhatikan ketuntasan belajar khususnya ketuntasan peserta didik secara individual. Secara kualitatif perbandingan ke dua pola tersebut dapat dicermati pada Tabel berikut,<br />
Tabel 1: Perbandingan Kualitatif antara Pembelajaran Tuntas dengan Pembelajaran Konvensional<br />
Langkah Aspek Pembeda Pembelajaran Tuntas Pembelajaran Konvensional<br />
A. Persiapan 1.Tingkat ketuntasan Diukur dari performance peserta didik dalam setiap unit (satuan kompetensi atau kemampuan dasar). Setiap peserta didik harus mencapai nilai 75 Diukur dari performance peserta didik yang dilakukan secara acak<br />
2. Satuan Acara Pembelajaran Dibuat untuk satu minggu pembelajaran, dan dipakai sebagai pedoman guru serta diberikan kepada peserta didik Dibuat untuk satu minggu pembelajar-an, dan hanya dipakai sebagai pedoman guru<br />
3. Pandangan terhadap kemampuan peserta didik saat memasuki satuan pembelajaran tertentu Kemampuan hampir sama, namun tetap ada variasi Kemampuan peserta didik dianggap sama<br />
B. Pelaksanaan pembelajaran 4. Bentuk pembelajaran dalam satu unit kompetensi atau kemampuan dasar Dilaksanakan melalui pendekatan klasikal, kelompok dan individual Dilaksanakan sepenuhnya melalui pendekatan klasikal<br />
5. Cara pembelajaran dalam setiap standar kompetensi atau kompetensi dasar Pembelajaran dilakukan melalui penjelasan guru (lecture), membaca secara mandiri dan terkontrol, berdiskusi, dan belajar secara individual Dilakukan melalui mendengarkan (lecture), tanya jawab, dan membaca (tidak terkontrol)<br />
6. Orientasi pembelajaran Pada terminal performance peserta didik (kompetensi atau kemampuan dasar) secara individual Pada bahan pembelajaran<br />
7. Peranan guru Sebagai pengelola pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan peserta didik secara individual Sebagai pengelola pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan seluruh peserta didik dalam kelas<br />
8. Fokus kegiatan pembelajaran Ditujukan kepada masing-masing peserta didik secara individual Ditujukan kepada peserta didik dengan kemampuan menengah<br />
9. Penentuan keputusan mengenai satuan pembelajaran Ditentukan oleh peserta didik dengan bantuan guru Ditentukan sepenuhnya oleh guru<br />
C. Umpan Balik 10. Instrumen umpan balik Menggunakan berbagai jenis serta bentuk tagihan secara berkelanjutan Lebih mengandalkan pada penggunaan tes objektif untuk penggalan waktu tertentu<br />
11. Cara membantu peserta didik Menggunakan sistem tutor dalam diskusi kelompok (small-group learning activities) dan tutor yang dilakukan secara individual Dilakukan oleh guru dalam bentuk tanya jawab secara klasikal<br />
D. Indikator Pelaksanaan Pembelajaran Tuntas<br />
1. Metode Pembelajaran<br />
Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi juga mengakui dan memberikan layanan sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual peserta didik, sehingga pembelajaran memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal.<br />
Adapun langkah-langkahnya adalah :<br />
• mengidentifikasi prasyarat (prerequisite),<br />
• membuat tes untuk mengukur perkembangan dan pencapaian kompetensi,<br />
• mengukur pencapaian kompetensi peserta didik.<br />
Metode pembelajaran yang sangat ditekankan dalam pembelajaran tuntas adalah pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.<br />
Pembelajaran tuntas sangat mengandalkan pada pendekatan tutorial dengan sesion-sesion kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer (Kindsvatter, 1996)<br />
2. Peran Guru<br />
Strategi pembelajaran tuntas menekankan pada peran atau tanggung jawab guru dalam mendorong keberhasilan peserta didik secara individual. Pendekatan yang digunakan mendekati model Personalized System of Instruction (PSI) seperti dikembangkan oleh Keller, yang lebih menekankan pada interaksi antara peserta didik dengan materi/objek belajar.<br />
Peran guru harus intensif dalam hal-hal berikut:<br />
• Menjabarkan/memecah KD (Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan (unit-unit) yang lebih kecil dengan memperhatikan pengetahuan prasyaratnya.<br />
• Mengembangkan indikator berdasarkan SK/KD.<br />
• Menyajikan materi pembelajaran dalam bentuk yang bervariasi<br />
• Memonitor seluruh pekerjaan peserta didik<br />
• Menilai perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotor, dan afektif)<br />
• Menggunakan teknik diagnostik<br />
• Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan<br />
3. Peran Peserta didik<br />
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang memiliki pendekatan berbasis kompetensi sangat menjunjung tinggi dan menempatkan peran peserta didik sebagai subjek didik. Fokus program pembelajaran bukan pada “Guru dan yang akan dikerjakannya” melainkan pada ”Peserta didik dan yang akan dikerjakannya”. Oleh karena itu, pembelajaran tuntas memungkinkan peserta didik lebih leluasa dalam menentukan jumlah waktu belajar yang diperlukan. Artinya, peserta didik diberi kebebasan dalam menetapkan kecepatan pencapaian kompetensinya. Kemajuan peserta didik sangat bertumpu pada usaha serta ketekunannya secara individual.<br />
4. Evaluasi<br />
Penting untuk dicatat bahwa ketuntasan belajar dalam KTSP ditetapkan dengan penilaian acuan patokan (criterion referenced) pada setiap kompetensi dasar dan tidak ditetapkan berdasarkan norma (norm referenced). Dalam hal ini batas ketuntasan belajar harus ditetapkan oleh guru, misalnya apakah peserta didik harus mencapai nilai 75, 65, 55, atau sampai nilai berapa seorang peserta didik dinyatakatan mencapai ketuntasan dalam belajar.<br />
Asumsi dasarnya adalah:<br />
• bahwa semua orang bisa belajar apa saja, hanya waktu yang diperlukan berbeda,<br />
• standar harus ditetapkan terlebih dahulu, dan hasil evaluasi adalah lulus atau tidak lulus. (Gentile & Lalley: 2003)<br />
Sistem evaluasi menggunakan penilaian berkelanjutan, yang ciri-cirinya adalah:<br />
• Ulangan dilaksanakan untuk melihat ketuntasan setiap Kompetensi Dasar<br />
• Ulangan dapat dilaksanakan terdiri atas satu atau lebih Kompetensi Dasar (KD)<br />
• Hasil ulangan dianalisis dan ditindaklanjuti melalui program remedial dan program pengayaan.<br />
• Ulangan mencakup aspek kognitif dan psikomotor<br />
• Aspek afektif diukur melalui kegiatan inventori afektif seperti pengamatan, kuesioner, dsb.<br />
Sistem penilaian mencakup jenis tagihan serta bentuk instrumen/soal. Dalam pembelajaran tuntas tes diusahakan disusun berdasarkan indikator sebagai alat diagnosis terhadap program pembelajaran. Dengan menggunakan tes diagnostik yang dirancang secara baik, peserta didik dimungkinkan dapat menilai sendiri hasil tesnya, termasuk mengenali di mana ia mengalami kesulitan dengan segera. Sedangkan penentuan batas pencapaian ketuntasan belajar, meskipun umumnya disepakati pada skor/nilai 75 (75%) namun batas ketuntasan yang paling realistik atau paling sesuai adalah ditetapkan oleh guru mata pelajaran, sehingga memungkinkan adanya perbedaan dalam penentuan batas ketuntasan untuk setiap KD maupun pada setiap sekolah dan atau daerah.<br />
Mengingat kecepatan tiap-tiap peserta didik dalam pencapaian KD tidak sama, maka dalam pembelajaran terjadi perbedaan kecepatan belajar antara peserta didik yang sangat pandai dan pandai, dengan yang kurang pandai dalam pencapaian kompetensi. Sementara pembelajaran berbasis kompetensi mengharuskan pencapaian ketuntasan dalam pencapaian kompetensi untuk seluruh kompetensi dasar secara perorangan. Implikasi dari prinsip tersebut mengharuskan dilaksanakannya program-program remedial dan pengayaan sebagai bagian tak terpisahkan dari penerapan sistem pembelajaran tuntas.<br />
Sumber:<br />
Diambil dan Adaptasi dari :<br />
Depdiknas. 2008. Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tuntas (Mastery-Learning) Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atasal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-64862878807317106572010-12-02T03:01:00.001-08:002010-12-02T03:01:52.699-08:00PAUD MENYIAPKAN MASA DEPAN ANAKOleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd.<br />
Guru SMP Negeri 1 Pagaralam<br />
Dosen STKIP Muhammadiyah Pagaralam<br />
<br />
SETIAP orang tua sangat menginginkan anaknya lebih baik, lebih hebat dan lebih berhasil dari mereka. Sebaliknya tidak ada orang tua di muka bumi ini yang menginginkan anak-anaknya lebih rendah kedudukan sosialnya, gagal dalam hidupnya dan tidak memiliki masa depan yang cerah. <br />
Anak adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa sehingga setiap orang yang dikaruniai seorang anak wajib untuk mengasihi, membimbing, memberikan pendidikan yang terbaik serta mengupayakan kesejahteraannya sesuai dengan kemampuan yang orang tua miliki karena anak juga adalah masa depan keluarga. Ada pepatah orang batak mengatakan 'Anakkonki do hamoraon di au', yang artinya anakku adalah harta yang berharga bagiku sehingga orang Batak dikenal sebagai salah satu suku yang sangat memperjuangkan pendidikan anak-anaknya walau harus membanting tulang tidak kenal lelah agar anaknya berhasil, tentunya hal ini juga mungkin berlaku bagi suku-suku lainnya di Indonesia.<br />
Teori yang mangatakan bahwa pendidikan yang pertama dan terutama adalah dalam keluarga sangat tepat sehingga orang tua harus sebagai contoh dan model bagi anak. Hal ini diperkuat oleh pendapat Martin Luther (1483 - 1546) yang mengatakan bahwa keluarga adalah pihak paling penting dalam pendidikan anak. Jika orang tua dapat memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anak-anaknya maka sikap anak tidak jauh beda dari orang tuanya demikian sebaliknya apabila orang tua tidak dapat memberikan contoh dan teladan yang baik maka orang tua tidak bisa berharap banyak anak-anaknya akan menjadi lebih baik sesuai dengan keinginan orang tua, bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya? <br />
Kehadiran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Nasional Indonesia menjadi sangat urgen bagi peletakan dasar pendidikan anak seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003. PAUD membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Anggapan bahwa pendidikan itu baru bisa dimulai setelah Sekolah Dasar (7 tahun) ternyata tidak benar, bahkan pendidikan yang dimulai pada usia TK (4-6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat karena sebenarnya pendidikan itu bisa dimulai sejak anak lahir bahkan sejak dalam kandungan. <br />
Sayangnya banyak orang tua yang belum menyadarinya. Pada usia 4 tahun pertama separuh kapasitas kecerdasan manusia sudah terbentuk, artinya kalau pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan/stimulasi yang maksimal maka potensi otak anak tidak akan berkembang secara optimal. Disinilah peran penting Pendidikan Anak Usia Dini tersebut.<br />
Pendidikan anak usia dini dilakukan dengan tujuan memberikan konsep yang bermakna bagi anak melalui pengalaman nyata dan bermakna. Hanya melalui pengalaman nyata dan bermaknalah anak menunjukkan aktivitas dan rasa ingin tahu (curiousity) secara optimal dan menempatkan posisi pendidik sebagai pendamping, pembimbing serta fasilitator bagi anak sehingga menghindari bentuk pembelajaran yang hanya berorientasi pada kehendak guru yang menempatkan anak secara pasif dan guru menjadi dominan. <br />
Pada masa usia dini anak mengalami masa keemasan (the golden years) yang merupakan masa dimana anak mulai peka/sensitif untuk menerima berbagai rangsangan. Masa peka pada masing-masing anak berbeda, seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, bahasa, sosio emosional, agama dan moral. <br />
Pendidikan anak usia dini merupakan wahana pendidikan yang sangat fundamental dalam memberikan kerangka dasar terbentuk dan berkembangnya dasar-dasar pengetahuan, sikap dan keterampilan pada anak. Keberhasilan proses pendidikan pada masa dini tersebut menjadi dasar untuk proses pendidikan selanjutnya. Demikian juga keberhasilan penyelenggaraan pendidikan pada lembaga pendidikan anak usia dini (Kelompok bermain, Taman Penitipan Anak, Satua PAUD sejenis lainnya) sangat tergantung pada sistem dan proses pendidikan yang dijalankan.<br />
Tujuan PAUD secara umum adalah; pertama, membantu anak untuk terus belajar sepanjang hayat guna menguasai keterampilan hidup. Pembelajaran bagi anak usia dini bukan berorientasi pada sisi akademis saja melainkan menitikberatkan kepada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik, bahasa, intelektual, sosial-emosi serta seluruh kecerdasan (Kecerdasan Jamak). Dengan demikian, PAUD yang diselenggarakan harus dapat mengakomodasi semua aspek pekembangan anak dalam suasana yang menyenangkan dan menimbulkan minat anak. <br />
Kedua, mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sedangkan berdasarkan tinjauan aspek didaktis psikologis tujuan pendidikan di Pendidikan Anak Usia Dini yang utama adalah; pertama, menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan agar mampu menolong diri sendiri (self help), yaitu mandiri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri seperti mampu merawat dan menjaga kondisi fisiknya, mampu mengendalikan emosinya dan mampu membangun hubungan dengan orang lain. Kedua, meletakkan dasar-dasar tentang bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn). Hal ini sesuai dengan perkembangan paradigma baru dunia pendidikan melalui empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together yang dalam implementasinya di lembaga PAUD dilakukan melalui pendekatan bermain sambil belajar (learning by playing) , belajar yang menyenangkan (joyful learning) serta menumbuh-kembangkan keterampilan hidup (life skills) sederhana sedini mungkin.<br />
Apabila semua pihak terutama orang tua mengetahui dan sadar akan pentingnya PAUD serta didukung oleh tenaga pendidik yang dapat melaksanakan pendekatan pembelajaran sesuai dengan prinsip dan tujuan belajar anak usia dini maka akan terciptalah anak Indonesia yang cerdas, terampil dan bertanggung jawab yang tentunya didukung oleh kesehatan yang baik serta akhlak mulia karena pendidikan anak usia dini harus dilakukan secara holistik atau menyeluruh baik ilmu, watak dan kepribadian, iman yang baik serta kesehatan yang prima. Dengan jalan ini PAUD mampu menyiapkan masa depan anak yang diharapkan pada waktunya mampu membawa bangsa ini menuju kejayaan dan mampu bersaing dengan dunia global.al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-65876810659293255802010-11-29T18:28:00.000-08:002010-11-29T18:28:03.716-08:00REMAJAKU YANG FRUSTASI(Sisi Lain Dari Dunia Anak Usia Sekolah)<br />
<br />
MASA REMAJA<br />
<br />
Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial (TP-KJM, 2002). <br />
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. <br />
Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. Untuk dapat memahami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut dibawah ini:<br />
<br />
1. Dimensi Kognitif<br />
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations).<br />
Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.<br />
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orang tua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik. <br />
2. Dimensi Moral<br />
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak. <br />
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Bagaimana contoh dari pemerintah tentang KASUS BANK CENTURY. Begitu nyata pembelajarannya yang tidak memberikan titik temu. Ini ditakutkan kalau menjadi pelajaran bagi anak seusia sekolah, :”bahwa korupsi itu jangan sedikit, tapi sekalian besar, kan dak masalah. Toh akhirnya hilang begitu saja”. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut. Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orang tua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam. Akibatnya FATAL ; FRUSTASI, minum-minuman. Atau jalan pintas (IS DEAT), dll.<br />
3. Dimensi Psikologis<br />
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”. Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu, Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan. Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jatidiri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru”; berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para “idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja Dari beberapa dimensi perubahan yang terjadi pada remaja seperti yang telah dijelaskan diatas maka terdapat kemungkinan-kemungkinan perilaku yang bisa terjadi pada masa ini. Diantaranya adalah perilaku yang mengundang resiko dan berdampak negative pada remaja. Perilaku yang mengundang resiko pada masa remaja misalnya seperti penggunaan alcohol, tembakau dan zat lainnya; aktivitas social yang berganti – ganti pasangan dan perilaku menentang bahaya seperti balapan, selancar udara, dan layang gantung (Kaplan dan Sadock, 1997). Alasan perilaku yang mengundang resiko adalah bermacam – macam dan berhubungan dengan dinamika fobia balik ( conterphobic dynamic ), rasa takut dianggap tidak cakap, perlu untuk menegaskan identitas maskulin dan dinamika kelompok seperti tekanan teman sebaya. <br />
4. Remaja dan Rokok<br />
Di masa modern ini, merokok merupakan suatu pemandangan yang sangat tidak asing. Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun dilain pihak dapat menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang – orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan dampak negatif bagi tubuh penghisapnya. Beberapa motivasi yang melatarbelakangi seseorang merokok adalah untuk mendapat pengakuan (anticipatory beliefs), untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs), dan menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar norma ( permissive beliefs/ fasilitative) (Joewana, 2004). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokok yang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan didepan orang lain, terutama dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat tertarik kepada kelompok sebayanyaatau dengan kata lain terikat dengan kelompoknya. <br />
Penyebab Remaja Merokok<br />
Pertama, Pengaruh 0rangtua<br />
Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia (Baer & Corado dalam Atkinson, Pengantar psikologi, 1999:294). <br />
Kedua, Pengaruh teman.<br />
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan temanteman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi perokok. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok (Al Bachri, 1991) <br />
Ketiga, Faktor Kepribadian.<br />
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan. Namun satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Orang yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes konformitas sosial lebih mudah menjadi pengguna dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor yang rendah (Atkinson, 1999).<br />
Keempat, Pengaruh Iklan.<br />
Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut. Itulah anak muda yang lagi trend.<br />
<br />
5. Pergaulan Bebas<br />
Kita telah ketahui bahwa kebebasan bergaul remaja sangatlah diperlukan agar mereka tidak "kuper" dan "jomblo" yang biasanya jadi anak mama. "Banyak teman maka banyak pengetahuan". Namun tidak semua teman kita sejalan dengan apa yang kita inginkan. Mungkin mereka suka hura-hura, suka dengan yang berbau pornografi, dan tentu saja ada yang bersikap terpuji. benar agar kita tidak terjerumus ke pergaulan bebas yang menyesatkan. Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi bagian dari kehidupan manusia yang di dalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan diri remaja itu sendiri. Masa remaja dapat dicirikan dengan banyaknya rasa ingin tahu pada diri seseorang dalam berbagai hal, tidak terkecuali bidang seks. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, organ reproduksipun mengalami perkembangan dan pada akhirnya akan mengalami kematangan. Kematangan organ reproduksi dan perkembangan psikologis remaja yang mulai menyukai lawan jenisnya serta arus media informasi baik elektronik maupun non elektronik akan sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual individu remaja tersebut. <br />
Salah satu masalah yang sering timbul pada remaja terkait dengan masa awal kematangan organ reproduksi pada remaja adalah masalah kehamilan yang terjadi pada remaja diluar pernikahan. Apalagi apabila Kehamilan tersebut terjadi pada usia sekolah. Siswi yang mengalami kehamilan biasanya mendapatkan respon dari dua pihak. <br />
Pertama yaitu dari pihak sekolah, biasanya jika terjadi kehamilan pada siswi, maka yang sampai saat ini terjadi adalah sekolah meresponya dengan sangat buruk dan berujung dengan dikeluarkannya siswi tersebut dari sekolah. <br />
Kedua yaitu dari lingkungan di mana siswi tersebut tinggal, lingkungan akan cenderung mencemooh dan mengucilkan siswi tersebut. Hal tersebut terjadi jika karena masih kuatnya nilai norma kehidupan masyarakat kita. Kehamilan remaja adalah isu yang saat ini mendapat perhatian pemerintah. Karena masalah kehamilan remaja tidak hanya membebani remaja sebagai individu dan bayi mereka namun juga mempengaruhi secara luas pada seluruh strata di masyarakat dan juga membebani sumber-sumber kesejahteraan. Namun, alasan-alasannya tidak sepenuhnya dimengerti. Beberapa sebab kehamilan karena perlakukan orang tak bertanggungjawab sebagaimana terjadi di negeri kita baru-baru ini, juga termasuk film COWBOYS IN PARADIES termasuk rendahnya pengetahuan tentang norma-norma (agama), perbedaan budaya yang menempatkan harga diri remaja di lingkungannya, perasaan remaja akan ketidakamanan atau impulsifisitas, ketergantungan kebutuhan, dan keinginan yang sangat untuk mendapatkan kebebasan. Selain masalah kehamilan pada remaja masalah yang juga sangat menggelisahkan berbagai kalangan dan juga banyak terjadi pada masa remaja adalah banyaknya remaja yang mengidap HIV/AIDS. Kita hanya bisa berharap, semoga hal ini hanya isapan jempol semata. Kalau nyata ya bagaimana lagi. Hanya dengan menanamkan nilai-nilai (agama) hal demikian dapat kita hindarkan. Wallahualam bi shoaf.al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-15829691764094614572010-11-29T18:26:00.000-08:002010-11-29T18:26:05.680-08:00AKANKAH NASIB PENDIDIKAN KITA AKAN SELALU TERPURUKOleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd.<br />
Guru SMP N 1 Pagaralam <br />
Dosen STKIP Muhammadiyah Pagaralam<br />
Berbagai masalah masih menghantui dunia pendidikan kita, mulai dari lembaga persekolahan yang menjadi tumpuan untuk mendidik individu-individu berkualitas dinilai masih tertinggal dalam menjawab tantangan zaman. Kontroversi pemberlakuan ujian nasional yang tiada henti, berbagai tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Sampai sinetron sinetron televisi Indonesia yang dengan baik mendidik para siswa SMA sampai SD tentang hasrat cinta lawan jenis dan menjadikan pelajaran sekolah menjadi pekerjaaan sampingan, selain itulah lahirlah komunitas kosmopolitan dan hedonis macam dance street clubs, dugem club, hippies, anak nongkrong, yang padat oleh aktivitas seni namun jauh dari usaha memperbaiki bangsa. Komunitas yang lahir dengan parameter moralnya sendiri. Generasi yang kebudayaannya dijajah kebudayaan bangsa lain. Generasi yang tercerabut dari akar budayanya. Memposisikan agama dan moral sebagai sesuatu yang teralienasi. Pertarungan kebudayaan yang bukan kitalah pemenangnya. Pendidikan kita pun ternyata bukan lagi menjadi tameng pelindung. Padahal, perubahan global yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan sekitarnya.<br />
Pendidikan yang sejatinya diyakini sebagai salah satu jalan dan prioritas terpenting untuk memajukan warga negara Indonesia. Akan tetapi, realitas yang ada, tiap kali membicarakan pendidikan di negara yang sudah 63 tahun merdeka ini, ada rasa gamang yang mengganggu optimisme untuk keluar dari belitan masalah sumber daya manusia yang bermutu.<br />
Desakan supaya bangsa ini kembali kepada ”roh” pendidikan seperti yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara dalam tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat, paradigma yang sesuai dengan kepribadian bangsa kita, menempatkan siswa sebagai subjek pendidikan dan telah di copy paste oleh Malaysia dan Singapura. Namun realitanya, pendidikan kita dirasakan belum keluar dari paradigma lama yang menempatkan siswa sebagai obyek pendidikan.<br />
Praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah malah menimbulkan banyak ironi. Penekanan pendidikan belumlah membekali siswa menjadi manusia yang berkembang dalam multi-intelegensia. Anak-anak dihargai dari nilai-nilai akademis semata. Sekolah pun akhirnya masih dipandang sebagai lembaga yang membelenggu kebebasan siswa untuk bisa memaksimalkan potensi dan kreativitasnya. Bolehlah pemerintah mengklaim dalam lima tahun terakhir ini, sejak diberlakukannya ujian nasional tahun 2004, terjadi peningkatan mutu yang signifikan. Data statistik yang disodorkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memperlihatkan bahwa nilai rata-rata ujian nasional mengalami kenaikan dari rata-rata 5,5 menjadi 7,3.<br />
Persoalan bahwa angka-angka tersebut dicapai dengan cara belajar drilling atau penyiapan siswa secara ”mati-matian” di tingkat akhir setiap jenjang pendidikan tak membuat pusing petinggi negara ini. Pokoknya anak-anak sekolah Indonesia bisa lulus mendekati 100 persen. Tak peduli apakah konsep-konsep dasar dari setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa itu sungguh-sungguh dipahami dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan. Atau hanya kemurahan dari oknum yang tidak bertanggung jawab.<br />
Polemik bagaimana menjalankan pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan tiap warga memang tidak akan berhenti, bahkan di negara maju sekalipun. Namun, pendidikan di Indonesia secara umum dinilai masih belum memberikan optimisme yang cukup kuat untuk penyiapan sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, kritis, berkarakter kuat, dan memiliki pengabdian bagi bangsanya.<br />
Bisa dikatakan sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan rohnya. Demikian banyak wacana, kritik, dan koreksi dari berbagai kalangan, tetapi belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. Kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan substansi.<br />
Kita tidak perlu meratapi kebodohan dan ketertinggalan sumber daya kita ketika dibandingkan dan disandingkan dengan negara lain. Apalagi kemudian dengan emosional kita mencoba mengejar ketertinggalan tersebut dengan semangat bersaing. Kegiatan gugat-menggugat siapa yang paling bersalah dalam membuat kebijakan pendidikan juga sebaiknya segera dihentikan karena tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Jauh lebih bermanfaat adalah melakukan sesuatu daripada sekadar berpangku tangan membiarkan keterpurukan pendidikan yang akhirnya juga menjadi keterpurukan generasi Indonesia secara berkesinambungan.<br />
Pendidikan yang seharusnya tidak hanya dimaknai dari nilai-nilai semata, apalagi selembar ijazah. Nyatanya, dengan memaknai pendidikan melampaui dari batas dinding-dinding sekolah, anak-anak jenius seperti (Albert Einstein dan Thomas Alfa Edison) Ibnu Rusd, al-Farabi dll, bisa berhasil mewujudkan apa yang mereka inginkan.<br />
Selama ini dari sekian banyak Peraturan Pemerintah dan perangkat hukum tentang pendidikan nasional, kita masih belum menemukan blue print yang bisa menunjukkan ke mana arah dunia pendidikan kita akan dibawa. Pasalnya, setiap pemerintahan berganti maka kebijakan terhadap pendidikan pun turut berganti. Lihat saja, bagaimana kurikulum yang dulunya dianggap sangat sesuai dengan semangat otonomi yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), begitu mudahnya ditarik kembali ke SARANGNYA oleh pemerintah dengan alasan tidak dapat diterapkan. Padahal, tidak sedikit dana yang dikeluarkan untuk melaksanakan ujicoba kurikulum tersebut. Kini, kurikulum baru bernama KTSP yang di terapkan. Pun, masih banyak yang tidak memahami, meskipun sudah mengikuti berbagai pelatihan antar propvinsi. Sungguh pertanyaan besar kiranya yang perlu disodorkan.<br />
Ketidakpuasan pada apa yang ditawarkan sistem pendidikan yang didesain pemerintah hingga saat ini memang relatif. Akan tetapi, dari realitas inilah harusnya lahir upaya-upaya dan kreativitas menciptakan pola-pola pendidikan masa depan yang tidak membuat anak terbebani saat menemukan kata belajar Mesti diakui secara obyektif tidak semua langkah dan kebijakan pemerintah itu buruk sama sekali. Namun, apa yang diputuskan pemerintah terkait pendidikan diyakini belumlah menyentuh pada hal mendasar yang seharusnya diperbaiki dalam sistem pendidikan nasional. Dan menurut saya, ada beberapa kebijakan yang harus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah tapi juga oleh semua elemen masyarakat<br />
Pertama, susunlah Sistem Pendidikan Nasioanl yang komprehensif dan aplikatif. Dengan sistem yang komprehensif, diharapkan proses dan praktik pendidikan mengalami perbaikan berkelanjutan pada semua aspek dan perangkatnya. Sistem yang aplikatif mampu mendorong proses pendidikan bermutu demi peningkatan daya saing bangsa serta pada saat yang sama bisa mendorong terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya. Tidak terjebak pada persoalan-persoalan cabang semata, semisal polemik UN yang berkepanjangan. Sebagai acuan kurikulum bernama KTSP yang menyatakan konsep penilaian seorang siswa berdasarkan pada tiga aspek: Kognitif , afektif, dan psikomotorik. Nah tenyata aplikasinya? Mereka hanya mementingkan aspek kognitif (lewat soal-soal UN) sebagai "penilaian akhir" siswa. Ibarat peribahasa: bak menelan ludah sendiri. Berarti juga sebenarnya mereka melakukan pembodohan dengan memaksa membebani siswa dengan aspek selain aspek kognitif, yang sebenarnya itu tidak akandipertanyakan/diujikan. Dan mau tidak mau seluruh guru akan menjadi tersangka lagi. (kata tersangka ini saya kutib dari Kadisprov. Dalam pembukaan work shop KTSP Di Palembang)<br />
Kedua, segera selesaikan program Wajib Belajar 9 Tahun dan meningkatkannya menjadi Wajib Belajar 12 tahun. Implikasi dari kebijakan ini adalah pemerintah wajib menyediakan segala fasilitas demi terpenuhinya kesempatan belajar bagi seluruh rakyat Indonesia. Juga diselenggarakan sistem pendidikan murah, tapi berkualitas semisal sekolah terbuka atau sekolah rakyat, termasuk pendidikan darurat di daerah rawan konflik plus rawan bencana alam. Jangan asal murah saja, tetapi siswa sampai kelas III SD belum bisa membaca dan menulis.<br />
Ketiga, meningkatkan kesejahteraan dan penghargaan terhadap peran guru sebagai pilar utama pendidikan dan pembangunan bangsa. Hingga tidak ada lagi guru yang mempunyai pekerjaan sampingan di sekolah maupun di luar sekolah. Namun, peningkatan kesejahteraan guru ini tidak hanya meningkatkan besaran gaji saja, melainkan pada saat yang sama meningkatkan mutu pendidikan. Karena itu, sistem penggajian harus dikaitkan dengan peningkatan kinerjanya.<br />
Keempat, melaksanakan amanat pasal 31 ayat (4) Perubbahan UUD 1945 tentang alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD secara efektif dan efisien yang disertai peningkatan pengawasan penggunaan anggaran pendidikan, agar tidak mengalami penyelewengan anggaran. Isu yang terakhir didapat adalah rencana pemerintah untuk menurunkan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2010. Anggaran pendidikan yang justru seharusnya dinaikkan karena banyak persoalan pendidikan yang mesti dibenahi. Anggaran pendidikan tahun 2010 ditargetkan senilai Rp 195,63 triliun atau berkurang Rp 11,7 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp 207,41 triliun. Dengan anggaran Rp 195,63 triliun, anggaran pendidikan 2010 setara dengan 20,6 persen dari total RAPBN 2010. Anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 21 persen dari APBN. Penurunan ini karena anggaran 2010 difokuskan untuk pemulihan perekonomian nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat. Nah, kalau sudah begini kita perlu tanyakan kem bali komitmen pemerintah untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia. ( Kompas Oktober 2009)<br />
Kelima, mengefektifkan proses pendidikan yang menanamkan jiwa kebebasan dan kemandirian melalui peningkatan keterampilan hidup (life skills). Kurikulum diarahkan kepada pengembangan pengalaman belajar yang seimbang dari aspek intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ), sehingga peserta didik memiliki kecakapan hidup yang relevan dengan kebutuhan mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Kerinduan untuk bisa menghadirkan belajar yang menyenangkan buat anak dan mengembangkan potensi unik setiap anak mendorong semakin tumbuhnya sekolah rumah atau homeschooling serta pendidikan alternatif lainnya. Belajar dipahami tidak mesti di sekolah, tetapi di mana saja, kapan saja, dan bersama siapa saja, dengan meletakkan tanggung jawab utama pelaksanaannya oleh keluarga. Kegelisahan dan keresahan pada sistem pendidikan nasional yang andal untuk melahirkan sumber daya manusia berbobot bagi mereka yang peduli pada masa depan bangsa ini memang bisa membuat frustrasi. Namun, di tengah situasi tersebut, bertindak nyata yang bisa menginspirasi perbaikan pendidikan saat ini sangat dibutuhkan anak-anak kita.<br />
Keenam, melakukan perbaikan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan menuju menajemen pendidikan yang lebih adil antara desa dan kota untuk mengembangkan kemampuan dan potensi daerah. Dengan ini diharapkan terjadi peningkatan partsisipasi masyarakat luas yang pada gilirannya akan memunculkan tanggung jawab terhadap hasil dan dampak pendidikan di Indonesia yang lebih bermakna secara merata dari pusat hingga pelosok daerah. <br />
Kalau kita mau melihat kembali ke belakang, saking besarnya komitmen pemerintah Jepang terhadap dunia pendidikan di negaranya, setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II, yang pertama kali dibangkitkan pemerintahan Jepang adalah sektor pendidikan. Bahkan, hal yang ditanyakan kaisar Jepang pasca-PD II itu adalah berapa banyak jumlah guru yang tersisa. Bukan, berapa banyak tank atau persenjataan lainnya yang tersisa.<br />
Bisakah kita memiliki komitmen dan tekad yang bulat untuk membawa dunia pendidikan kita lebih maju? Setidaknya, untuk memperoleh komitmen dan tekad guna memajukan dunia pendidikan bangsa ini, kita harus mau dan berani untuk belajar dari negara mana pun yang lebih maju.<br />
Kurangnya komitmen kita dalam mengelola pendidikan 15 - 20 tahun silam, berdampak buruk pada kinerja pendidikan kita saat ini. Jika saat ini kita masih tidak sungguh-sungguh mengelola pendidikan, bangsa ini akan merasakan akibatnya pada 15 - 20 tahun ke depan. Itu sebabnya, kita harus berani membenahi pendidikan nasional kita sekarang juga. Untuk bisa melakukan perubahan, pemerintah bersama-sama seluruh elemen masyarakat harus mampu berkomitmen dengan serius dan benar-benar untuk bisa membawa pendidikan kita bisa lebih maju, serta membuang rasa komitmen setengah hati seperti yang terjadi saat ini. Semoga peringatan Hardiknas bukan hanya ritual tahunan semata tetapi jadikanlah Hardiknas momentum untuk memperbaharui potret buram pendidikan kita. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan.al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-59982679655449678942010-11-29T18:24:00.001-08:002010-11-29T18:24:57.888-08:00KONSEPSI DAN KARAKTERISTIK SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONALOleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd.<br />
Guru SMP N 1 Pagaralam<br />
Dosen STKIP Muhammadiyah Pagaralam<br />
<br />
KONSEPSI<br />
Salah satu upaya untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 50 Ayat (3), yakni “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang bertaraf internasional”. Pengembangan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing bangsa Indonesia di forum internasional. Agar penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional sesuai dengan yang diharapkan, Departemen Pendidikan Nasional perlu membuat ”Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. <br />
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional merupakan “Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional”. Pada prinsipnya, Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional harus bisa memberikan jaminan mutu pendidikan dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Nasional Pendidikan. <br />
Esensi dari rumusan konsepsi Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional tersebut dijabarkan sebagai berikut: <br />
Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan yaitu Sekolah/Madrasah yang sudah melaksanakan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. <br />
Diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan dapat dilaksanakan melalui dua cara sebagai berikut: <br />
a. Adaptasi yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam Standar Nasional Pendidikan dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; dan <br />
b. Adopsi yaitu penambahan unsur-unsur tertentu yang belum ada dalam Standar Nasional Pendidikan dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. <br />
c. OECD yang berlokasi di Paris Perancis merupakan organisasi internasional untuk membantu pemerintahan negara-negara anggotanya menghadapi tantangan globalisasi ekonomi. Secara historis, Konvensi OECD pada awalnya ditandatangai hanya oleh beberapa negara pada tanggal 14 Desember 1960. Sejak saat itu sampai sekarang ini sebanyak 30 negara telah menjadi anggota dan telah menyerahkan instrumen ratifikasi ke OECD, yaitu: Australia: 7 June 1971; Austria: 29 September 1961; Belgium: 13 September 1961; Canada: 10 April 1961; Czech Republic: 21 December 1995; Denmark: 30 May 1961; Finland: 28 January 1969; France: 7 August 1961; Germany: 27 September 1961; Greece: 27 September 1961; Hungary: 7 May 1996; Iceland: 5 June 1961; Ireland: 17 August 1961; Italy: 29 March 1962; Japan: 28 April 1964; Korea: 12 December 1996; Luxembourg: 7 December 1961; Mexico: 18 May 1994; Netherlands: 13 November 1961; New Zealand: 29 May 1973; Norway: 4 July 1961; Poland: 22 November 1996; Portugal: 4 August 1961; Slovak Republic: 14 December 2000; Spain: 3 August 1961; Sweden: 28 September 1961; Switzerland: 28 September 1961; Turkey: 2 August 1961; United Kingdom: 2 May 1961; United States: 12 April 1961. Dalam bulan Mei 2007, negara-negara anggota OECD menyetujui untuk mengundang Chile, Estonia, Israel, Russia dan Slovenia guna mendiskusikan kemungkinan menjadi negara anggota. Hal yang sama juga ditawarkan untuk memperluas kemungkinan keanggotaan kepada Brazil, China, India, Indonesia, dan South Africa. <br />
d. Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan adalah negara-negara maju yang tidak termasuk dalam keanggotaan OECD, tetapi keunggulan pendidikannya bisa diadaptasi dan/atau diadopsi. <br />
Daya saing di forum internasional memiliki makna bahwa siswa dan lulusan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional antara lain dapat: (a) melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri; (b) mengikuti sertifikasi bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; (c) meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga; dan (d) bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain. <br />
<br />
KARAKTERISTIK<br />
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional memiliki karakteristik keunggulan yang ditunjukkan dengan pengakuan internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran pendidikan yang berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek. Pengakuan internasional ditandai dengan penggunaan standar pendidikan internasional dan dibuktikan dengan hasil sertifikasi berpredikat baik dari salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. <br />
<br />
Penjaminan Mutu SBI<br />
Akreditasi, mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan keberhasilan memperoleh akreditasi yang sangat baik. Akreditasi menentukan kelayakan program pendidikan dan/atau satuan pendidikan itu sendiri. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu perolehan sertifikat akreditasi minimal ”predikat A” dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M). Dengan memperoleh ”predikat A” pada setiap periode akreditasi berarti bahwa Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional setiap saat selalu menunjukkan keunggulan kinerja yang sangat baik dan sekaligus merupakan pengakuan terhadap kemampuan Sekolah/Madrasah untuk menjamin mutu pendidikan secara optimal. <br />
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan, yaitu hasil akreditasi yang baik dari badan akreditasi sekolah pada salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. <br />
Kurikulum, mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan keberhasilan melaksanakan kurikulum secara tuntas. Kurikulum merupakan acuan dalam penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal sebagai berikut: 1) menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); 2) menerapkan sistem satuan kredit semester di SMA/SMK/MA/MAK; 3) memenuhi Standar Isi; dan 4) memenuhi Standar Kompetensi Lulusan. <br />
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut: 1) sistem administrasi akademik berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di mana setiap saat siswa bisa mengakses transkripnya masing-masing; 2) muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; dan 3) menerapkan standar kelulusan sekolah/madrasah yang lebih tinggi dari Standar Kompetensi Lulusan. <br />
Proses Pembelajaran, mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan keberhasilan melaksanakan proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Proses pembelajaran disesuaikan dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Proses. <br />
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut: 1) proses pembelajaran pada semua mata pelajaran menjadi teladan bagi sekolah/madrasah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa entrepreneural, jiwa patriot, dan jiwa inovator; 2) diperkaya dengan model proses pembelajaran sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; 3) menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; 4) pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan menggunakan bahasa Inggris, sementara pembelajaran mata pelajaran lainnya, kecuali pelajaran bahasa asing, harus menggunakan bahasa Indonesia; dan 5) pembelajaran dengan bahasa Inggris untuk mata pelajaran kelompok sains dan matematika untuk SD/MI baru dapat dimulai pada Kelas IV. <br />
Dalam proses pembelajaran selain menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, juga bisa menggunakan bahasa lainnya yang sering digunakan dalam forum internasional, seperti bahasa Perancis, Spanyol, Jepang, Arab, dan China. <br />
Penilaian, mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan keberhasilan menunjukkan kinerja pendidikan yang optimal melalui penilaian. Penilaian dilakukan untuk mengendalikan mutu pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas kinerja pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penilaian terhadap peserta didik dilakukan oleh para guru untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Penilaian. <br />
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan, yaitu memperkaya penilaian kinerja pendidikan dengan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. <br />
Pendidik, mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan guru yang menunjukkan kinerja yang optimal sesuai dengan tugas profesionalnya. Pendidik memiliki peranan yang strategis karena mempunyai tugas profesional untuk merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Pendidik. <br />
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut: 1) Semua guru mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK; 2) Guru mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan mampu mengampu pembelajaran berbahasa Inggris; 3) Minimal 10% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SD/MI; 4) Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SMP/MTs; dan 5) Minimal 30% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SMA/SMK/MA/MAK. <br />
Guru dalam proses pembelajaran sepanjang diperlukan dan sesuai dengan kebutuhannya, selain menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris juga bisa menggunakan bahasa lainnya yang sering digunakan dalam forum internasional, seperti bahasa Perancis, Jerman, Spanyol, Jepang, Arab, dan China. <br />
Tenaga Kependidikan, mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan kepala sekolah/madrasah yang menunjukkan kinerja yang optimal sesuai dengan tugas profesionalnya, yaitu sebagai pemimpin manajerial-administratif dan pemimpin manajerial-edukatif. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Kepala Sekolah/Madrasah. <br />
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut: 1) Kepala Sekolah/Madrasah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A dan telah menempuh pelatihan kepala sekolah dari lembaga pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh Pemerintah; 2)Kepala Sekolah/Madrasah mampu berbahasa Inggris secara aktif; dan 3) Kepala Sekolah/Madrasah bervisi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan entrepreneural yang kuat. <br />
Sarana dan Prasarana, mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan kewajiban sekolah/madrasah memiliki dan memelihara sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkesinambungan. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Sarana dan Prasarana. <br />
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut: 1) Setiap ruang kelas dilengkapi dengan sarana pembelajaran berbasis TIK; 2) Perpustakaan dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia; dan 3) Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik, dan lain sebagainya. <br />
Pengelolaan, mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan pengelolaan yang menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Pengelolaan. <br />
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut: 1) Meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya ISO 14000; 3) Merupakan sekolah/madrasah multi-kultural; 4) Menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri; 5) Bebas narkoba dan rokok; 6) Bebas kekerasan (bullying); 7) Menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam segala aspek pengelolaan sekolah; dan 8) Meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga. <br />
Pembiayaan, mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan pembiayaan yang sekurang-kurangnya terdiri atas biaya investasi, biaya operasional, dan biaya personal. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Pembiayaan. <br />
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan, yaitu menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target Indikator Kunci Tambahan. Peran serta dari orang tua dalam pembiayaan sangatlah dipentingkan. Sekolah Bertaraf Internasional sangat jauh berbeda dengan Reguler (yang mengandalkan dari dana BOS). Kesiapan orang tua dalam hal ini sangat dibutuhkan. Disamping hal lain yang lebih penting. Kerjasama yang baik dari semua pihak sangatlah dikedepankan sehingga semua yang diharafkan dapat terealisasi sesuai dengan yang kita inginkan. Amin....al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-36254375501436570912010-11-29T10:13:00.000-08:002010-11-29T10:13:26.587-08:00PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKANOleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd<br />
<br />
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam tugas makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.<br />
<br />
Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?<br />
<br />
<br />
A. Pengertian Ilmu, Filsafat, dan Filsafat Ilmu<br />
<br />
<br />
I. Ilmu adalah suatu pengetahuan ilmiah yang memiliki syarat-syarat :<br />
<br />
1. Dasar Pembenaran yang dapat dibuktikan dengan metode ilmiah dan teruji dengan cara kerja ilmiah :<br />
2. Sistematik, yaitu terdapatnya sistem yang tersusun dari mulai proses, metode, dan produk yang saling terkait.<br />
3. Intersubyektif, yaitu terjamin keabsahan atau kebenarannya<br />
<br />
Sifat ilmu yang penting:<br />
<br />
1. Universal : berlaku umum, lintas ruang dan waktu yang berada di bumi ini<br />
2. Communicable : dapat dikomunikasikan dan memberikan pengetahuan baru kepada orang lain<br />
3. Progresif : adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan yang merupakan tuntutan modern<br />
<br />
Ilmu dari sisi Keyakinan atau Agama Islam : <br />
<br />
Ilmu Allah meliputi segala sesuatu.Perumpamaan tidak terbatasnya ilmu Allah adalah, jika kita hendak menulisnya dengan pena dan tinta. Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi. Di sisi Allah kunci-kunci yang ghaib dia mengetahui segala yang tampak, segala sesuatu yang ghaib, dan yang nyata (jelas), segala yang tersembunyi dan yang nyata, segala yang dirahasiakan, dan yang dilahirkan oleh manusia, yang dahulu dan yang kemudian, yang masuk ke dalam bumi dan yang keluar dari dalam bumi, yang turun dari langit dan yang naik padanya.<br />
Ilmu manusia berasal dari Allah dan sangat terbatas. Allah memberi ilmu kepada nabi Adam a.s. dan mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya dengan kalam. Ilmu manusia sangat sedikit dan terbatas. Yang diketahui oleh manusia karena kehendak Allah jua. Manusia dilahirkan tanpa ilmu/tidak mengetahui sesuatu pun, diberi-Nya pendengaran agar memperoleh ilmu dengan pengabaran, diberi-Nya penglihatan agar memperoleh ilmu dengan melihat kenyataan, dan diberinya hati/akal agar memperoleh ilmu dengan penalaran atau proses memahami.<br />
<br />
Al-Qur’an Sumber ilmu pengetahuan. Al Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang mengeluarkan manusia dari kegelapan. Pelajarilah alam semesta ini, semua digelar dan dicipta agar dipelajari oleh manusia yang dianugrahi akal budi, namun hanya yang berakal atau yang menggunakan akalnyalah yang dapat menerima pelajaran dan ilmu tersebut.<br />
Derajat dan keadaan orang yang tidak berilmu.Tanpa ilmu manusia sering dan suka berdusta terhadap yang lainnya, dengan maksud menyesatkan manusia. Dia akan mengikuti dan menuruti hawa nafsunya sendiri tanpa kendali. Wajib kita berpaling dari orang bodoh. Dosa akibat perbuatan yang tidak diketahui (karena kebodohan) akan diampuni asalkan mau bertobat dan memperbaiki dirinya.Keutamaan dan derajat orang yang berilmu. Orang berilmu akan takut kepada Allah, mengakui keesaan Allah, dan membenarkan sesuatu yang datang dari-Nya. Pahala yang besar bagi yang berilmu, dan Allah meninggikan derajatnya, (baik di sisi Allah maupun di hadapan manusia) di antaranya, sebagai tempat bertanya.<br />
Kewajiban menuntut ilmu dan mengajarkannya.Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban, mengajarkannya kepada orang lain hendaklah dengan jelas, dengan terang, dan janganlah menyembunyikan yang benar. Hendaklah mengajarkan sesuatu dengan penuh kebijaksanaan (penuh hikmah). Di sinilah mulianya tugas pendidik, karena ia mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmunya kepada anak didiknya dengan penuh hikmah dan keteladanan. Guru harus dapat membedakan ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah.<br />
<br />
II. Filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan. <br />
<br />
Filsafat berasal dari kata bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari dua suku kata yaitu philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti kebijaksanaan.<br />
<br />
Pengertian filsafat secara luas adalah :<br />
1. Usaha spekulatif manusia yang sangat rasional, sistematik, konseptual untuk memperoleh pengetahuan selengkap mungkin berdasarkan kaidah ilmiah<br />
2. Ikhtiar atau usaha untuk menentukan batas-batas pengetahuan secara koheren dan menyeluruh (”holistic dan comprehensive”)<br />
3. Wacana tempat berlangsungnya penelusuran kristis terhadap berbagai pernyataan dan asumsi yang umumnya merupakan dasar suatu pengetahuan.<br />
4. Dapat dipandang sebagai suatu tubuh pengetahuan yang memperlihatkan apa yang kita lihat dan katakan. Dia harus seiring dan sejalan dalam aplikasi dan penerapannya di lapangan.<br />
<br />
Filsafat menjembati cara berfikir secara ontologis, epistemologi dan aksiologi<br />
<br />
Ontologi : hakikat apa yang dikaji<br />
Epistemologi : cara mendapatkan pengetahuan yang benar<br />
Aksiologi : nilai kegunaan ilmu<br />
<br />
Filsafat adalah pengetahuan yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan manusia secara kritis. Filsafat disebut juga ilmu pengetahuan yg mencari hakekat dari berbagai fenomena kehidupan manusia. Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).<br />
<br />
Dalam sejarah filsafat Yunani, filsafat mencakup seluruh bidang ilmu pengetahuan. Lambat laun banyak ilmu-ilmu khusus yang melepaskan diri dari filsafat. Meskipun demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis, sistematis, koheren dan mempunyai obyek material dan formal. Namun yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu.<br />
Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dia memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan berkembang. Filsafat membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam mempertanggungjawabkan ilmunya. Pertanggungjawaban secara rasional di sini berarti bahwa setiap langkah langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan secara argumentatif, yaitu dengan argumen-argumen yang obyektif (dapat dimengerti secara intersuyektif).<br />
<br />
III. Filsafat Ilmu<br />
<br />
Hampir semua penyakit dan ilmu dapat dipelajari oleh kita. Semua itu berangkat dari filsafat. Filsafat itu ibarat pondasi dalam sebuah bangunan. Filsafat (mencari kebenaran versi manusia) mulanya berasal dari data empiris. Filsafat ilmu adalah ikhtiar manusia untuk memahami pengetahuan agar menjadi bijaksana. Dengan filsafat ilmu keabsahan atau cara pandang harus bersifat ilmiah. Filsafat ilmu memperkenalkan knowledge dan science yang dapat ditransfer melalui proses pembelajaran atau pendidikan.<br />
<br />
Filsafat ilmu adalah filsafat yang menelusuri dan menelidiki sedalam dan seluas mungkin segala sesuatu mengenai semua ilmu, terutama hakekatnya, tanpa melupakan metodenya. Kerapkali kita lihat ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit, karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.<br />
<br />
Filsafat , philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Dari pengertian tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk mengerti apa filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk merenungkan realitas hidupnya, “apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Akan kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya muncul alamiah bila akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang realitas? Aristoteles menyebut manusia sebagai “binatang berpikir”. Tapi kita para guru menganggapnya sebagai ”Makhluk Allah” yang berakal dan berbudi serta memiliki akhlak mulia. Untuk mencapai hal itu diperlukan ilmu yang bernama Ilmu Pendidikan.<br />
<br />
<br />
B. Filsafat Ilmu dan Aplikasinya dalam Pendidikan<br />
<br />
Aspek filsafat sesungguhnya merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja dan mutu pendidikan di suatu negara, meskipun bukan satu-satunya determinan. Di samping kajian filsafat mengenai eksistensi ilmu pendidikan, perumusan dan kejelasan filsafat pendidikan itu sendiri akan menentukan kebijakan dasar pendidikan, dan selanjutnya menentukan tingkat kemajuan dan perkembangan pendidikan nasional.<br />
Atas dasar itu ilmu dan aplikasi pendidikan secara komprehensif membahas berbagai aspek dan persoalan pendidikan teoritis/filosofis, pendidikan praktis, pendidikan disiplin ilmu, dan pendidikan lintas bidang, sangatlah tepat dan strategis. Sejumlah ahli mengungkapkan bahwa di tengah kecendrungan pragmatisme dalam dunia pendidikan, ilmu pendidikan merupakan ilmu yang cenderung kurang berkembang. Ilmu pendidikan bukan saja tidak memiliki daya pikat dan daya tarik yang kuat, tapi juga bersifat konservatif, statis, kurang menghiraukan aspirasi kemajuan, dan semakin terlepas dari konteks budaya masyarakat.<br />
Ilmu pendidikan, dengan demikian dianggap mengalami reduksi dan involusi. Salah satu akar persoalannya, ilmu pendidikan dianggap tidak didukung oleh body of knowledge yang relevan dengan masyarakat Indonesia, serta tidak dibangun atas dasar pengetahuan yang relevan dengan perkembangan jiwa dan fisik anak-anak Indonesia.<br />
<br />
Pada sisi lain, falsafah yang mendasari ilmu pendidikan serta kebijakan dasar pendidikan secara umum, pada saat ini dihadapkan pada konteks masyarakat Indonesia yang sedang berubah, suatu masyaerakat reformasi transisional yang diharapkan menuju masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, demokrasi, egaliter, menghargai kenyataan pluralitas masyarakat dan sumber daya, otonomi, dsbnya. Kenyataan ini merupakan tantangan baru di tengah “keringnya” ilmu pendidikan.<br />
Tantangan semacam itu, tentu perlu disikapi oleh para pakar pendidikan dengan upaya menemukan dan merumuskan parameter yang bersifat menyeluruh, untuk membangun ilmu pendidikan sebagai ilmu yang multidimensi baik dari segi filsafat (epistemologis, aksiologis, dan ontologis), maupun secara ilmiah. Dari segi ini, yang diinginkan adalah ilmu pendidikan yang berakar dari konteks budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia, dan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia yang terus berubah. Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.<br />
Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).<br />
<br />
“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.<br />
<br />
Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.<br />
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan kultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap.<br />
Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I & me). <br />
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.<br />
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).<br />
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal). Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita?<br />
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar. <br />
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.<br />
Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yang kurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10).<br />
Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu : “Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”.(Lihat pula UU Sisdiknas 2003).<br />
Kiranya konsep pendidikan yang demikian kurang mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi.<br />
Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut “Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri ialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas.<br />
Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu faktor manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan siswanya. <br />
<br />
C. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan<br />
<br />
Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik. <br />
Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulah segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nilai dan norma dibawah 100%. Dalam bahasa Agama disebut ”Hablumminnnaas”<br />
Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan. Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogik (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogik dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu. Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik (teoritis) adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil.<br />
Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogik (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.<br />
Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup :<br />
1. Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relation-ship)<br />
2. Pentingnya ilmu pendidikan mempergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.<br />
3. Orang dewasa yang berperan sebagai pendidik (educator)<br />
4. Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)<br />
5. Memikiki Tujuan pendidikan yang jelas (educational aims and objectives)<br />
6. Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan<br />
Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)<br />
7. Mengacu kepada Tujuan pendidikan nasional yaitu menjadikan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.<br />
<br />
Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogik (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogik praktis yang menelaah ragam pendidikan di berbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukn lingkupannya sehingga meliputi:<br />
1. Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)<br />
2. Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif)<br />
3. Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.<br />
4. Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan<br />
5. Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.<br />
<br />
Sedangkan telaah lingkup yang makro dan mikro dari pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek formal dari pedagogik dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogik tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya, dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakat dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan.<br />
<br />
Itu sebabnya dalam pedagogik terdapat pembicaraan tentang faktor pendidikan yang meliputi : <br />
(a) tujuan hidup, <br />
(b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, <br />
(c) pengelolaan pendidikan, <br />
(d) teori dan pengembangan kurikulum, <br />
(e) pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait.<br />
<br />
Bidang masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu ialah sekitar manusia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematik dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa dan lanjut usia. Karena itu selain cabang pedagogik teoritis sistematis juga terdapat cabang-cabang pedagogik praktis, diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia), serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan pendidikan orang dewasa.Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupakan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. <br />
Ilmu-ilmu yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : <br />
biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).<br />
<br />
a. Pendekatan fenomenologi dalam menelaah gejala pendidikan<br />
Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasarkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogik yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis atas fenomena yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya :<br />
<br />
Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekunsi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang faktual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan. Itulah fenomena atau gejala pendidikan secara mikro yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yng menjadi inti dari batang tubuh pedagogik.<br />
<br />
b. Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogik<br />
<br />
Ilmu pendidikan khususnya pedagogik dan androgogi tidak menggunakan metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbatas pada pemahaman atas perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang eksperimental diterapkan dan itupun manfaatnya terbatas sekali.<br />
Jadi kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan mempergunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan didalam pendidikan secara kuantitatif. Sebaliknya pedagogik dan androgogi harus menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu bantu dan atau filsafat umum.<br />
<br />
<br />
*********al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-20377347121457353992010-11-29T10:06:00.001-08:002010-11-29T10:06:51.447-08:00Teori Belajar, Program Dan Prinsip Pembelajaranoleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd.<br />
1. 2. Teori Behaviorisme. Rumpun teori ini disebut behaviorisme karena sangat Teori Disiplin Mental. Sebelum abad ke-20, telah berkembang beberapa teori belajar, salah satunya adalah teori disiplin mental. Teori belajar ini dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen, dan ini berarti dasar orientasinya adalah “filosofis atau spekulatif”. Tokoh teori disiplin mental adalah Plato dan Aristoteles. Teori disiplin mental ini menganggap bahwa dalam belajar, mental siswa harus didisiplinkan atau dilatihmenekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul. Beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu: a. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil. b. Bersifat mekanistis. c. Menekankan peranan lingkungan. d. mentingkan pembentukan reaksi atau respons. e. Menekankan pentingnya latihan ,. Ada beberapa teori belajar yang termasuk pada rumpun behaviorisme ini, antara lain: <br />
A. Teori Koneksionisme. Menurut teori belajar ini, belajar pada hewan dan pada manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama. Selanjutnya, dalam teori koneksionisme dikemukakan hukum-hukum belajar sebagai berikut: 1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness). Dimana hubungan antara stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu. Implikasi praktis dari hukum ini adalah, bahwa keberhasilan belajar seseorang sangat tergantung dari ada atau tidak adanya kesiapan. 2) Hukum Latihan (Law of Exercise). Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons. Implikasi dari hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasainya pelajaran itu. 3) Hukum Akibat (Law of Effect). Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Implikasi dari hukum ini adalah apabila mengharapkan agar seseorang dapat mengulangi respons yang sama, maka harus diupayakan agar menyenangkan dirinya, b. Teori Pengkondisian (Conditioning). Teori pengkondisian (conditioning) merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme. Tokoh teori ini adalah Ivan Pavlov (1849-1936). Ia adalah ahli psikologi-refleksologi dari Rusia. c. Teori Penguatan (Reinforcement). Kalau pada teori pengkondisian (conditioning) yang diberi kondisi adalah perangsangnya (stimulus), maka pada teori penguatan yang dikondisi atau diperkuat adalah responsnya. Seorang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka guru memberikan penghargaan pada anak itu dengan nilai yang tinggi, pujian, atau hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka anak tersebut akan belajar lebih rajin dan lebih bersemangat lagi. Hadiah itu me-reinforce hubungan antara stimulus dan respons. d. Teori Operant Conditioning. Psikologi penguatan atau “operant conditioning” merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme dan “conditioning”. Tokoh utamanya adalah Skinner. Skinner adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses “conditioning” yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku adalah karena adanya hubungan antara stimulus dengan respons. E. Teori Cognitive Gestalt-Filed. Teori kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif. Menurut teori ini, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui (knowing) dan bukan respons. Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insight”, yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental. Rumpun psikologi Gestalt bersifat molar, yaitu menekankan keseluruhan yang terpadu, alam kehidupan manusia dan perilaku manusia selalu merupakan suatu keseluruhan, suatu keterpaduan.<br />
Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini adalah: <br />
a. Belajar itu berdasarkan keseluruhan . Teori Gestalt menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah itu siswa dapat mempelajari fakta. <br />
b. Anak yang belajar merupakan keseluruhan . Prinsip ini mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak itu bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri anak. <br />
c. Belajar berkat insight. Telah dijelaskan bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta. d. Belajar berdasarkan pengalaman . Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu. <br />
C. Prinsip-Prinsip Pengajaran Tugas guru mengelola pengajaran dengan lebih baik, efektif, dinamis, efisien, ditandai dengan keterlibatan peserta didik secara aktif, mengalami, serta memperoleh perubahan diri dalam pengajaran. Ada beberapa prinsip pengajaran diantaranya adalah: Prinsip Aktivitas Pengalaman belajar yang baik hanya bisa didapat bila peserta didik mau mengaktifkan dirinya sendiri dengan bereaksi terhadap lingkungan. Belajar yang berhasil mesti melalui berbagai macam aktivitas, baik aktivitas fisik maupun aktivitas psikis. Aktifitas fisik adalah peserta didik giat dan aktif dengan anggota badan. Dalam prinsip ini, maka tugas guru dalam mengajar antara lain: Prinsip Motivasi . Motivasi berasal kata motive–motivation yang berarti dorongan atau keinginan, baik datang dari dalam diri (instrinsik) maupun dorongan dari luar diri seseorang (ekstrinsik). Motif atau biasa juga disebut dorongan atau kebutuhan, merupakan suatu tenaga yang berada pada diri individu atau siswa, yang mendorongnya untuk berbuat dalam mencapai suatu tujuan. Beberapa cara untuk menumbuhkankembangkan motivasi pada siswa adalah: Prinsip Individualitas (Perbedaan Individu) . Setiap manusia adalah individu yang mempunyai kepribadian dan kejiwaan yang khas. Secara psikologis, prinsip perbedaan individualitas sangat penting diperhatikan karena: a. Setiap anak mempunyai sifat, bakat, dan kemampuan yang berbeda b. Setiap individu berbeda cara belajarnya c. Setiap individu mempunyai minat khusus yang berbeda d. Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda e. Setiap individu membutuhkan bimbingan khusus dalam menerima pelajaran yang diajarkan guru sesuai dengan perbedaan individual f. Setiap individu mempunyai irama pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda. Maksud dari irama pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda adalah bahwa siswa belajar dalam kelas dalam usia perkembangan. Masing-masing siswa tidak sama perkembangannya, ada yang cepat ada yang lambat maka guru harus bersabar dalam tugas pelayanan belajar pada anak didiknya. Prinsip Lingkungan Lingkungan adalah sesuatu hal yang berada di luar diri individu. Lingkungan pengajaran adalah segala hal yang mendukung pengajaran itu sendiri yang dapat difungsikan sebagai sumber pengajaran atau sumber belajar. Diantaranya; guru, buku, dan bahan pelajaran yang menjadi sumber belajar. Prinsip Konsentrasi Konsentrasi adalah pemusatan secara penuh terhadap sesuatu yang sedang dikerjakan atau berlangsungnya suatu peristiwa. Konsentrasi sangat penting dalam segala aktivitas, terutama aktivitas belajar mengajar. Prinsip Kebebasan Prinsip kebebasan dalam pengajaran yang dimaksud adalah kebebasan yang demokratis, yaitu kebebasan yang diberikan kepada peserta didik dalam aturan dan disiplin tertentu. Dan disiplin merupakan suatu dimensi kebebasan dalam proses penciptaan situasi pengajaran. Seorang guru dituntut berusaha bagaimana menerapkan suatu metode mengajar yang dapat mengembangkan dimensi-dimensi kebebasan self direction, self discipline,dan self control. Prinsip Peragaan Alat indera merupakan pintu gerbang pengetahuan. Peragaan adalah menggunakan alat indera untuk mengamati, meneliti, dan memahami sesuatu. Pemahaman yang mendalam akan lahir dari analisa yang komprehensif sehingga menghasilkan gambaran yang lengkap tentang sesuatu. Agar siswa dapat mengingat, menceritakan, dan melaksanakan suatu pelajaran yang pernah diamati, diterima, atau dialami di kelas, maka perlu didukung dengan peragaan-peragaan (media pengajaran) yang bisa mengkonkritkan yang abstrak. Prinsip Kerjasama Dan Persaingan Kerjasama dan persaingan adalah dua hal berbeda. Namun dalam dunia pendidikan (prinsip pengajaran) keduanya bisa bernilai positif selama dikelola dengan baik. Persaingan yang dimaksud bukan persaingan untuk saling menjatuhkan dan yang lain direndahkan, tetapi persaingan yang dimaksud adalah persaingan dalam kelompok belajar agar mencapai hasil yang lebih tinggi tanpa menjatuhkan orang atau siswa lain. Prinsip Apersepsi Apersepsi berasal dari kata ”Apperception” berarti menyatupadukan dan mengasimilasikan suatu pengamatan dengan pengalaman yang telah dimiliki. Atau kesadaran seseorang untuk berasosiasi dengan kesan-kesan lama yang sudah dimiliki dibarengi dengan pengolahan sehingga menjadi kesan yang luas. Kesan yang lama itu disebut bahan apersepsi. Apersepsi dalam pengajaran adalah menghubungan pelajaran lama dengan pelajaran baru, sebagai batu loncatan sejauh mana anak didik mengusai pelajaran lama sehingga dengan mudah menyerap pelajaran baru. Prinsip Korelasi Korelasi yaitu menghubungkan pelajaran dengan kehidupan anak atau dengan pelajaran lain sehingga pelajaran itu bermakna baginya. Korelasi akan melahirkan asosiasi dan apersepsi sehingga dapat membangkitkan minat siswa pada pelajaran yang disampaikan. Prinsip Efisiensi dan Efektifitas Prinsip efisiensi dan efektifitas maksudnya adalah bagaimana guru menyajikan pelajaran tepat waktu, cermat, dan optimal. Alokasi waktu yang telah dirancang tidak sia-sia begitu saja, seperti terlalu banyak bergurau, memberi nasehat, dan sebagainya. Jadi semua aspek pengajaran (guru dan peserta didik) menyadari bahwa pengajaran yang ada dalam kurikulum mempunyai manfaat bagi siswa pada masa mendatang. Prinsip Globalitas Prinsip global atau integritas adalah keseluruhan yang menjadi titik awal pengajaran. Memulai materi pelajaran dari umum ke yang khusus. Dari pengenalan sistem kepada elemen-elemen sistem. Pendapat ini terkenal dengan Psikologi Gestalt bahwa totalitas lebih memberikan sumbangan berharga dalam pengajaran. Prinsip Permainan dan Hiburan . Setiap individu atau peserta didik sangat membutuhkan permainan dan hiburan apalagi setelah terjadi proses belajar mengajar. Bila selama dalam kelas siswa diliputi suasana hening, sepi, dan serius, akan membuat peserta didik cepat lelah, bosan, butuh istirahat, rekreasi, dan semacamnya. Maka guru disarankan agar memberikan kesempatan kepada anak didik bermain, menghibur diri, bergerak, berlari-lari, dan sejenisnya untuk mengendorkan otaknya.<br />
Beberapa Hal Pokok Dalam Proses Belajar Mengajar<br />
Pembelajaran merupakan komunikasi dua arah. Mengajar dilakukan oleh guru, sedangkan siswa belajar. Menurut Saiful sagala pembelajaran ialah membelajarkan siswa dengan menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar, yang kesemua menjadi penentu dalam keberhasilan pendidikan. Menurut Corey pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia ikut serta dalam tingkah laku dalam kondisi khusus atau menghasilakn respon terhadap situasi tertentu. Menurut Omar Hamalik pembelajaran adalah upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik. pembelajaran adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga negara yang baik. pembelajaran adalah suatu proses membantu siswa menghadapi masyarakat sehari-hari. Proses pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Bagaimana proses pendidikan itu dilaksanakan sangat menentukan kualitas hasil pencapaian tujuan pendidikan. Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya. Kedua segi tersebut satu sama lain saling tergantung. Walaupun komponen-komponennya cukup baik, seperti tersedianya prasarana dan sarana serta biaya yang cukup, juga ditunjang dengan pengelolaan yang andal maka pencapaian tujuan tidak akan tercapai secara optimal. Demikian pula bila pengelolaan baik tetapi di dalam kondisi serba kekurangan, akan mengakibatkan hasil yang tidak optimal.<br />
Unsur-Unsur Pendidikan Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu : 1) Subjek yang dibimbing (peserta didik). Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya 2) Orang yang membimbing (pendidik). Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan yaitu orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, pelatihan, dan masyarakat/organisasi. 3) Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif). Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan memanifulasikan isi, metode serta alat-alat pendidikan. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan). 4) Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek. Sedangkan pendidikan harus berupa tindakan yang ditujukan kepada peserta didik dalam kondisi tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan alat tertentu. 5) Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan). Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi inti bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal misinya mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan. 6) Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode). Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. 7) Tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan). Lingkungan pendidikan biasa disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.<br />
Tugas dan Peran Guru dalam Proses Belajar-Mengajar Kegiatan Proses belajar-mengajar meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adams & Decey dalam Basic Principles Of Student Teaching, antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partissipan, ekspeditor, perencana, suvervisor, motivator, penanya, evaluator dan konselor. Tugas Guru Tugas guru dalam bidang kemanusiaan adalah memposisikan dirinya sebagai orang tua ke dua. Dimana ia harus menarik simpati dan menjadi idola para siswanya. Adapun yang diberikan atau disampaikan guru hendaklah dapat memotivasi hidupnya terutama dalam belajar. Bila seorang guru berlaku kurang menarik, maka kegagalan awal akan tertanam dalam diri siswa. Guru adalah posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu bangsa yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun dalam kehidupan sebuah bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan tugasnya semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang. Dengan kata lain potret manusia yang akan datang tercermin dari potret guru di masa sekarang dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari “citra” guru di tengah-tengah masyarakat. Peran Seorang Guru a. Dalam Proses Belajar Mengajar Sebagaimana telah di ungkapkan diatas, bahwa peran seorang guru sangar signifikan dalam proses belajar mengajar. Peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai pengajar, manajer kelas, supervisor, motivator, konsuler, eksplorator, dsb. Yang akan dikemukakan disini adalah peran yang dianggap paling dominan dan klasifikasi guru sebagai: 1) Demonstrator 2) Manajer/pengelola kelas 3) Mediator/fasilitator 4) Evaluator b. Dalam Pengadministrasian. Dalam hubungannya dengan kegiatan pengadministrasian, seorang guru dapat berperan sebagai: 1) Pengambil insiatif, pengarah dan penilai kegiatan 2) Wakil masyarakat 3) Ahli dalam bidang mata pelajaran 4) Penegak disiplin 5) Pelaksana administrasi pendidikan<br />
c. Sebagai Pribadi. Sebagai dirinya sendiri guru harus berperan sebagai: 1) Petugas sosial 2) Pelajar dan ilmuwan3) Orang tua4) Teladan5) Pengaman<br />
d. Secara Psikologis. Peran guru secara psikologis adalah: 1) Ahli psikologi pendidikan2) Relationship3) Catalytic/pembaharu4) Ahli psikologi perkembangan .Peran Pendidik dalam Proses Belajar-Mengajar Peran guru dalam proses belajar-mengajar , guru tidak hanya tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor) dan manager belajar (learning manager). Hal ini sudah sesuai dengan fungsi dari peran guru masa depan. Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar atau pengajaran, masih tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses pengajaran belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder ataupun oleh komputer yang paling modern sekalipun. Masih terlalu banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, sistem, nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan Iain-lain yang diharapkan merupakan hasil dari proses pengajaran, tidak dapat dicapai melalui alat-alat tersebut. Di sinilah kelebihan manusia dalam hal ini guru dari alat-alat atau teknologi yang diciptakan manusia untuk membantu dan mempermudah kehidupannya.Peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai pengajar, manajer kelas, supervisor, motivator, konsuler, eksplorator, dsb. Yang akan dikemukakan disini adalah peran yang dianggap paling dominan dan klasifikasi guru sebagai:<br />
1) Demonstrator2) Manajer/pengelola kelas3) Mediator/fasilitator4) Evaluator - Guru sebagai demonstrator. Melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menetukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. <br />
Guru Sebagai Pengelola Kelas Mengajar dengan sukses berarti harus ada keterlibatan siswa secara aktif untuk belajar. Keduanya berjalan seiring, tidak ada yang mendahului antara mengajar dan belajar karena masing-masing memiliki peran yang memberikan pengaruh satu dengan yang lainnya. Keberhasilan/kesuksesan guru mengajar ditentukan oleh aktivitas siswa dalam belajar, demikian juga keberhasilan siswa dalam belajar ditentukan pula oleh peran guru dalam mengajar.Guru sebagai mediator dan fasilitator .Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar. Guru sebagai evaluator. Dalam dunia pendidikan, setiap jenis pendidikan atau bentuk pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan akan diadakan evaluasi, artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan tadi orang selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik.<br />
Rencana Program Pembelajaran Penyusunan program memberikan arah pada suatu program itu sendiri. Penyusunan program pembelajaran akan berujung pada persiapan mengajar sebagai produk program pembelajaran jangka pendek, yang mencakup komponen program kegiatan belajar dan proses pelaksanaan program. Komponen program mencakup kompetensi dasar, materi standar, metode, teknik, media dan sumber belajar, waktu belajar, dan daya dukung lainnya.Dalam mengembangkan persiapan mengajar terlebih dahulu harus diketahui arti dan tujuannya, serta menguasai secara teoritis dan praktis unsur-unsur yang terdapat dalam persiapan mengajar. Dalam persiapan mengajar harus jelas kompetensi dasar yang harsu dimiliki oleh peserta didik, apa yang harsu dilakukan, apa yang dipelajari,bagaimana mempelajari, serta bagaimana guru mengetahui bahwa peserta didik telah menguasai kompetensi tertentu. Fungsi persiapan pembelajaran adalag sebagai fungsi perencanaan, dan fungsi pelaksanaan.<br />
Prinsip-prinsip pengembangan persiapan mengajar: kompetensi yang dirumuskan dalam persiapan mengajar harus jelas. persiapan mengajar harus sederhana dan fleksibel, serta dapat dilaknasanakan dalam kegiatan pembelajaran. kegiatan-kegiatan yang disusun harus menunjang dan sesuai dengan kompetensi dasar. persiapan mengajar harsu utuh dan menyeluruh. harus ada koordinasi antar komponen pelaksana program di sekolah.<br />
Rumusan Tujuan Pembelajaran . A. Konsep, Fungsi dan Sumber Tujuan Pendidikan <br />
1. Konsep Tujuan Pendidikan . Tujuan adalah merupakan komponen utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum. Zais (1976:297) menegaskan bahwa sebagai komponen dalam kurikulum, tujuan merupakan bagian yang paling sensitif, sebab tujuan bukan hanya akan mempengaruhi bentuk kurikulum tetapi juga secara langsung merupakan fokus dari suatu program pendidikan.Tujuan pendidikan ini sangat luas. Biasanya merupakan pernyataan tujuan pendidikan umum, yang dapat dipakai sebagai petunjuk pendidikan seluruh negara tersebut. Beberapa istilah tujuan yang menggambarkan pada tingkat yang berbeda-beda, seperti: Aims yang menunjukkan arah umum pendidikan. Secara ideal, aims merefleksikan suatu tingkat tujuan pendidikan berdasarkan pemikiran filosofis dan psikologis masyarakat. Menurut Zais, (1976:298) aims untuk tujuan pendidikan jangka panjang yang digali dari nilai-nilai filsafat suatu Bangsa. Di Indonesia kita kenal tingkatan/hirarkis tujuan itu dalam beberapa istilah seperti Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Institusional, Tujuan Kurikuler, dan Tujuan Instruksional Umum dan Khusus. (Depdikbud, 1984/1985:5) . 2. Tujuan Pembelajaran . Tujuan institusional/goal dan tujuan kurikuler dijabarkan lagi dalam tujuan pembelajaran, tujuan ini lebih konkret dan lebih operasional yang pencapaiannya dibebankan kepada tiap pokok bahasan yang terdapat dalam tiap bidang studi. Pada saat ini tujuan pembelajaran umum dikenal dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. 3. Fungsi Tujuan . Rumusan tujuan pendidikan yang tepat dapat berfungsi dan bermanfaat dalam kegiatan pengembangan kurikulum, minimal sebagai berikut:1) Tujuan akan menjadi pedoman bagi disainer untuk menyusun kurikulum yang efektif, (Davies: 1976: 73, Pratt, 1980: 145) dengan demikian memberikan arah kepada para disainer kurikulum dalam pemilihan bahan pelajaran, yaitu bahan pelajaran yang menopang tercapainya tujuan pendidikan.2) Tujuan merupakan pedoman bagi guru dalam menciptakan pengalaman belajar (Pratt, 1980: 145)3) Tujuan memberikan informasi kepada siswa apa yang harus dipelajari (Pratt: 145, Davies: 73)4) Tujuan merupakan patokan evaluasi mengenai keberhasilan program (proses belajar mengajar) (Pratt: 145, Daveis: 74)5) Tujuan menyatakan kepada masyarakat tentang apa yang dikehendaki sekolah, apa yang hendak dicapai (Pratt: 145 – 146) Dari uraian di atas jelas bahwa tujuan pendidikan merupakan patokan, pedoman orientasi bagi para pelaksana/pendesain pendidikan. 4. Sumber Tujuan . Kriteria yang yang hampir sama diajukan oleh Tyler (1949) yakni studi tentang pelajar, studi tentang kehidupan masyarakat di luar sekolah, dan saran-saran dari ahli mata pelajaran. Lebih jauh Tyler menekankan pendapatnya bahwa filsafat dan psikologi belajar merupakan “saringan” atau kriteria bagi penetapan lebih lanjut tujuan-tujuan pendidikan tersebut. Menurut Zais (1976:301) sumber-sumber tujuan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni sumber empirik, sumber filosofi, dan sumber bidang kajian atau subject matter. Smith, Stanley dan Shores (1957) mengajukan juga kriteria lain bagi penetapan tujuan yaitu keterwakilan, kejelasan, keterpertahankan, konsistensi dan fisibilitas.<br />
Perumusan Tujuan Pendidikan. 1. Klasifikasi Tujuan Pendidikan. Schubert (1986, 202-206) mengajukan empat tujuan pendidikan yaitu; (1)sosialisasi, (2)pencapaian, (3) pertumbuhan, dan (4)perubahan sosial. Sosialisasi merupakan tujuan yang harus dicapai anak didik agar mereka dapat hidup dengan baik dimasyarakat, dan dengan kebudayaannya.<br />
Tujuan pendidikan pertumbuhan personal memerlukan penyesuai kurikulum yang mengakomodir kebutuhan pribadi, bakat, minat, dan kemapuan anak yang berbeda-beda. Perubahan sosial, menurut aliran ini sekolah dapat dan harus mengusahakan perbaikan sosial (Muhammad Ansyar, 1989:102). 2. Klasifikasi Tujuan Pembelajaran . Oleh karena sukar menetapkan tingkat suatu tujuan yaitu, apakah itu pada tingkat tujuan pendidikan nasional (aims), atau pada tingkat sekolah, atau ruang kelas, maka Zais (1976: 308-309) mengajukan tiga kategore (fakta, keterampilan, dan sikap) biasa dipakai sebagai cara utama untuk menyusun tujuan kurikulum (goals) dan tujuan pembelajaran (objectives). Klasifikasi tujuan yang lebih sistematis telah dikemukakan Bloom (1956) dan Krathwohl, Bloom dan Masia (1964) seperti tertera dalam Zais (1976: 304-310) Tanner dan Tanner (1975:121-131). Tujuan pendidikan diklasifikasikan pada tiga ranah besar yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Proses kognitif diklasifikasikan ke dalam suatu urutan hirarkis, dari tingkat berpikir yang sederhana ke tingkat intelektual yang lebih kompleks: 1) Pengetahuan2) Pemahaman3) Aplikasi4) Analisis5) Sintesis 6) Evaluasi. Ranah afektif mencakup tujuan-tujuan yang berkaitan dengan demensi perasaan, tingkah laku, atau nilai, seperti apresiasi terhadap karya seni, berbudi pekerti luhur, dan lain-lain. Ranah afektif dibagi menjadi lima tingkatan yang bergerak dari kesadaran yang sederhana menuju kekondisi di mana perasaan memegang peranan penting dalam mengontrol tingkah laku:1) Menerima2) Responsif3) Menghargai4) Organisasi5) Karakteristik . Ranah psikomotor dibagi empat tingkatan, dari yang paling sederhana kepada tingkat yang paling kompleks, yaitu: 1) Observasi2) Meniru3) Praktek4) Adaptasi.3. Kriteria Perumusan Tujuan Pembelajaran. Dalam pendahuluan telah dikemukakan betapa pentingnya tujuan pendidikan dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum dan pengajaran. Tujuan merupakan dasar orientasi sekaligus sesuatu yang akan dicapai dalam semua program kegiatan pendidikan. Seperti dikatakan Hilda Taba dalam (Davies, 1976: 56) Merumuskan tujuan seperti dijelaskan sebelumnya harus runtun yaitu tujuan umum dijabarkan pada tujuan khusus. Selanjut tujuan khusus diteliti jenis-jenisnya, dinilai kepentingannya dan dicek berdasarkan kriteria, syarat-syarat tujuan lebih formal dan terinci, sehinga setiap komponen yang ada tidak terlampaui. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan yang merupakan kriteria tujuan yang baik seperti berikut ini: 1)Tujuan harus selalu kosisten dengan tujuan tingkat di atasnya (Pratt, 1980:185). Tujuan-tujuan yang bersifat penjabaran dari suatu tujuan yang lebih tinggi jenjangnya harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hal-hal yang diisayaratkan oleh tujuan tersebut. Misalnya tujuan instruksional yang dijabarkan langsung dari tujuan kurikuler harus mencerminkan tujuan kurikuler itu. 2)Tujuan harus tepat seksama dan teliti. Tujuan hanya berguna jika ia dirumuskan secara teliti dan tepat sehingga memungkinkan orang mempunyai kesamaan pengertian terhadapnya. Perumusan tujuan yang cermat akan memungkinkan kita untuk melaksanakannya dengan penuh kepastian. 3)Tujuan harus diidentifikasikan secara spesifik yang menggambarkan keluaran belajar yang dimaksudkan. Tujuan yang dirumuskan harus menunjuk pada pengertian keluaran dari pada kegiatan. Tujuan yang menunjukkan tingkat kemampuan atau pengetahuan siswa merupakan maksud utama kurikulum. Akan tetapi jika ia tidak pernah mengidentifikasi keluarannya, ia bukanlah tujuan kurikulum yang kualifait (Pratt, 1980:184). 4)Tujuan bersifat relevan (Davies, 1976:17) dan berfungsi (Pratt,1980:186). Masalah kerelevansian berhubungan dengan persoalan personal dan sosial, atau masalah praktis yang dihadapi individu dan masyarakat. Memang harus diakui bahwa terdapat perbedaan pengertian tentang kerelevansian itu karena adanya perbedaan masalah dan kepentingan antara tiap individu dan masyarakat. Jadi kerelevansian itu berkaitan dengan pengertian untuk siapa dan kapan. Di samping relevan, tujuan pun harus berfungsi personal maupun sosial. Suatu tujuan dikatakan berfungsi personal jika ia memberi manfaat bagi individu yang belajar untuk masa kini dan masa akan datang, dan berfungsi sosial jika ia memberi mafaat bagi masyarakat di samping pelajar. 5)Tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dicapai. Tujuan yang dirumuskan harus memungkinkan orang, pelaksana kurikulum untuk mencapainya sesuai kemampuan yang ada. Masalah kemampuan itu berkaitan dengan masalah tenaga, tingkat sekolah, waktu, dana, skope materi, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya. Perumusan tujuan yang terlalu muluk (karena terasa lebih ideal) dan melupakan faktor kemampuan atau realitas hanya akan berakibat tujuan itu tak tercapai. Suatu program kegiatan dikatakan efektif jika hasil yang dicapai dapat sesuai atau paling tidak, tidak terlalu jauh berbeda dengan perencanaan. 6)Tujuan harus memenuhi kriteria kepantasan worthwhilness (Davies, 1976:18). Pengertian “pantas” mengarah pada kegiatan memilih tujuan yang dianggap lebih memiliki potensi, bersifat mendidik, dan lebih bernilai. Memang agak sulit menentukan tujuan yang lebih pantas karena dalam hal ini orang bisa mengalami perbedaan kesepakatan pengertian. Secara umum kita boleh mengatakan bahwa kriteria kepantasan harus didasarkan pada pertimbangan objektif, dengan argumentasi yang objektif. Dalam hal ini Profesor Peter dalam (Davies, 1976:18) menyarankan tiga kriteria (a) aktivitas harus berfungsi dari waktu ke waktu, (b) aktivitas harus bersifat selaras dan seimbang dari pada bersaing, mengarah ke keharomonisan secara keseluruhan, dan (c) aktivitas harus bernilai dan sungguh-sungguh khususnya yang menunjang dan memajukan keseluruhan kualitas hidup.<br />
*****al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-4022001665683466372010-11-29T09:57:00.001-08:002010-11-29T09:57:59.880-08:00KRITIKAN KEBIJAKAN PENDIDIKANOleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I.,M.Pd.<br />
Dalam sebuah masyarakat yang telah bersepakat untuk menjadi warga negara dalam konsep bernegara, termasuk Indonesia, terjadilah tranksaksi sosio-politik antara warga negara dan negara. Dalam kontrak sosial tersebut, warga negara menyerahkan peran kepemimpinan atas mereka pada beberapa orang yang dianggap cukup mampu untuk mengurus dan mengatur mereka. <br />
Mereka yang mengatur dan mengurus warga negara inilah yang kemudian disebut sebagai pemerintah (government), rezim berkuasa, dalam kerangka bernegara. Mereka inilah yang diserahi mandat oleh warga negara untuk mengatur negara dengan fungsi memberikan jaminan keamanan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Negara mengatur urusan-urusan publik warganya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik dalam keamanan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lainnya.<br />
Dengan demikian sebenarnya ranah pendidikan menjadi tanggung jawab negara dalam pengurusannya. Pengurusan atas pendidikan dapat diartikan sebagai membiayai pendidikan, membuat desain dan arah-tujuan pendidikan, dan menjamin berjalannya pendidikan sebagai fondasi dalam membangun negara. Dalam konstitusi negara Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 amandemen keempat Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31 ayat (1) berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan,” pasal (3) berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang,” dan ayat (4) menyatakan bahwa, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Pasal dan ayat-ayat ini merupakan amanat dari cita-cita bangsa Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.<br />
Dari landasan yuridis konstitusional kenegaraan tersebut, maka kemudian dijabarkan dalam bentuk kebijakan pendidikan setingkat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, surat keputusan, dan lainnya. Dalam tata kebijakan pendidikan di Indonesia setelah ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, terdapat Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2008 tentang Guru, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan berbagai kebijakan pendidikan lainnya. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam memahami kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut adalah, bukan tidak mungkin kebijakan-kebijakan tersebut justru tidak sesuai dengan hakikat pendidikan sebenarnya, keluar dari tujuan dasar “mencerdaskan kehidupan bangsa”, tidak sepenuhnya berorientasi pada kebutuhan dan hak rakyat dalam mendapatkan pendidikan memadai. Disorientasi atau penyelewengan yang dikandung oleh beberapa kebijakan pendidikan tersebut dimungkinkan terjadi karena beberapa hal. <br />
Pertama, secara tidak sengaja karena kesalahan dalam menafsirkan dari teks-teks konstitusi awal kita. Kegagalan dalam membuat kebijakan perundang-undangan dalam ranah pendidikan relatif terjadi karena ketidakmampuan dalam melihat jalinan komprehensifitas teks yuridis konstitusional. Yakni kaitan antara bab satu dengan bab lain, pasal satu dengan lainnya, antara pembukaan dengan batang tubuh UUD 1945, antara teks dengan konteks sosio-historis dulu dan sekarang. Kegagalan dalam membaca teks rujukan konstitusi tersebut akibat paling fatalnya adalah ketidakmampuan dalam menangkap dan menggali visi ideologis kerakyatan, kebangsaan, dan keindonesiaan yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945. Faktor yang menyebabkan kegagalan pembacaan ini terjadi salah satunya adalah kualitas dari para pembuat naskah akademik, perumus kebijakan perundang-undangan, termasuk yang mengesahkannya tidak memiliki kapasitas intelektual yang memadai. Dalam kasus kebijakan pendidikan adalah, bukan ahli pendidikan dan orang yang terlibat di dalamnya, namun mencoba dan diberi amanat untuk merumuskan kebijakan pendidikan. Di samping itu adalah ketika seseorang tersebut memiliki paradigma berpikir yang justru bertentangan dengan hakikat pendidikan, misalnya seorang yang sudah tertanam dalam paradigmanya doktrin neoliberalisme dan kapitalisme. Hal itu akan berakibat pada tafsiran dan produk kebijakan yang bernuansa, memiliki ruh, dan berorientasi pada neoliberalisme dan kapitalisme.<br />
Kedua, karena kesengajaan dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan ideologis dan politis. Dalam relasi negara dan warga negara pihak utama yang memiliki kepentingan ideologis dan politis tersebut tentu adalah negara itu sendiri, termasuk pemerintah atau rezim berkuasa. Inilah yang disebut oleh Louis Althusser dengan gagasannya mengenai aparatus ideologis negara (ideological state apparatuses) dan aparatus represif negara (repressive state apparatuses). Althusser menyatakan bahwa tugas dari sistem ekonomi apapun adalah mereproduksi kondisi produksi. Termasuk di dalamnya adalah memproduksi orang-orang yang akan dapat berpartisipasi dalam proses produksi. Di sinilah, dalam konteks negara kapitalis modern, untuk melanggengkan kondisi produksi kapitalis tersebut digunakanlah aparatus ideologis negara dan aparatus represif negara. Aparatus ideologis negara antara lain adalah ikatan keluarga, partai politik, dan yang terpenting adalah pendidikan, sedangkan aparatus represif negara antara lain adalah Polisi, tentara, pengadilan, dan hukum. Perbedaan antara aparatus ideologis negara adalah ia dilakukan dengan “ideologis”, sedangkan aparatus represif negara dilakukan dengan “kekerasan”.<br />
Di sinilah kebijakan negara merupakan bagian dari aparatus represif negara dan pendidikan bagian dari aparatus ideologis negara. Keduanya, dalam negara kapitalis modern atau -secara halus dapat dikatakan- dalam perselingkuhan antara kaum kapitalis dengan negara, merupakan alat atau apparatus negara dalam melanggengkan hegemoni politik, ideologi dan ekonomi. Dalam hal ini terjadilah relasi saling menguntungkan antara negara dan kaum borjuis kapitalis. Negara diuntungkan dengan dukungan modal dari kaum kapitalis agar selalu dapat mempertahankan status quo mereka, sedangkan para kapitalis diuntungkan dengan persetujuan dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang makin memperlebar imperium kapitalis mereka. Namun, terlepas dari analisis Althusser tersebut, dapat dikatakan bahwa negara memang pada dasarnya bersifat hegemonik, dan penguasa negara (baca: pemerintah) selalu berupaya untuk tetap mempertahankan kekuasaannya selama mungkin, karena posisi strategis dalam pemerintahan telah menjadikan oknum-oknum dan golongan berkuasa mendapatkan keuntungan berlebih, terutama kekuasaan dan harta kekayaan. Oleh karena itu, menjadi wajar jika mereka dengan beragam cara berupaya untuk menguatkan rezim, membuat citra bagus rezim, berupaya mengontrol dan mengendalikan warga negara agar tidak merongrong rezim berkuasa, agar turut menguatkan fondasi kekuasaan rezim.<br />
Dalam hal ini, kebijakan-kebijakan pemerintah merupakan aparatus represif negara yang tepat, ditunjang oleh pendidikan sebagai aparatus ideologis negara. Hal inilah yang sebenarnya mesti diwaspadai oleh seluruh warga negara, terutama insan pendidik, para intelektual, bahwa kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak selalu murni untuk kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Bisa saja terdapat kepentingan rezim berkuasa atau kaum borjuis kapitalis yang menyusup lewat kebijakan-kebijakan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan yang secara ideologis, filosofis, dan konseptual dirasa tidak sesuai dengan visi ideologis kerakyatan, kebangsaan, dan keindonesiaan mesti dikaji secara kritis. Apalagi ketika sudah terbukti bahwa kebijakan tersebut, bahkan pada level inisiasinya saja telah menimbulkan pro-kontra di masyarakat dan berbuah pada kerusakan sistematis, juga berakibat kesenjangan yang makin jauh antara cita ideal dan realita.<br />
H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam konteks Indonesia, pencapaian kedua pesan konstitusi untuk pendidikan nasional, yakni pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan pendidikan adalah hak seluruh rakyat, dijabarkan dalam berbagai kebijakan pendidikan. Kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut direncanakan dapat diwujudkan atau dicapai melalui lembaga-lembaga sosial (social institution) atau organisasi sosial dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal. Namun ketika kenyataannya kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut banyak yang menyimpang dari visi ideologis kerakyatan, kebangsaan, dan keindonesiaan yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, maka efeknya juga besar karena turut disebarkan melalui ranah pendidikan yang memang begitu strategis sebagai aparatus ideologis negara. Kebijakan-kebijakan yang kemudian mesti dilaksanakan oleh institusi sosial dan institusi pendidikan tersebut antara lain adalah kebijakan dalam arah dan tujuan pendidikan nasional, yang kemudian berimbas pada kebijakan kurikulum pendidikan nasional, standard penilaian hasil belajar, kebijakan organisasi sekolah, profesionalisme guru, dan lainnya. Sekarang mari kita lihat satu kebijakan yang disinyalir tidak sesuai dengan visi ideologis Pancasila dan UUD 1945, yakni UU BHP.<br />
Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan ketika dianalisis secara kritis akan dapat diketahui visi ideologis yang tersembunyi di baliknya adalah neoliberalisme. Hal ini dapat ditelusuri pertama secara historis dari inisiasi kebijakan ini, yakni pada tahun 1999 ketika sudah mulai inisiasi neoliberalisasi pendidikan ini melalui dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara (PTMBHN). Nuansa nalar kapitalis masuk dalam kebijakan tersebut dalam menetapkan prasyarat perguruan tinggi, yaitu: (1) menyelenggarakan pendidikan tinggi dan efisien dan berkualitas, (2) memenuhi standar minimum kelayakan finansial, (3) melaksanakan pengelolaan perguruan tinggi berdasarkan prinsip ekonomis dan akuntabilitas. Ketentuan ini disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 152, 153, 154, dan 155 tahun 2000 yang menetapkan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi BHMN. Beberapa perguruan tinggi lainnya menyusul kemudian, antara lain adalah Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair).<br />
Perubahan status dari perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara dapat dimaknai sebagai swastanisasi pendidikan, yakni menjadikan lembaga pendidikan negeri yang semula menjadi tanggung jawab negara, kemudian dijadikan seperti swasta yang mesti dapat mengelola dirinya sendiri karena sudah menjadi badan usaha, walaupun milik negara. Secara kultural yang terjadi adalah makin lunturnya kultur intelektual, berganti kultur korporasi di dalam kampus. Kapital menjadi unsur penting bagi kelangsungan perguruan tinggi, termasuk menjadi penentu apakah seseorang dapat diterima atau tidak berkuliah di PTBHMN tersebut. Hal itu karena untuk kelangsungan hidup PTBHMN dengan berbagai tuntutan seperti peningkatan kualitas perkuliahan, menjadi world class university, dan lainnya membutuhkan dana sangat banyak. Oleh karena itu, PTBHMN tidak sekadar berkonsentrasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan intelektualitas saja, konsentrasinya terpecah pada usaha mencari pendanaan agar PTBHMN dapat tetap bertahan dan sukur-sukur dapat berkembang maju, di sinilah kapital menjadi unsur yang begitu penting. Dengan demikian sebenarnya PTBHMN tidak sekadar merupakan swastanisasi pendidikan tinggi negeri, melainkan juga korporatisasi pendidikan tinggi, yakni menjadikan perguruan tinggi layaknya sebuah korporasi (perusahaan). Dari penelusuran dalam konteks sosio-historis ini jelas bahwa ideologi yang berada di balik dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 61/1999 dan Peraturan Pemerintah No. 152, 153, 154, dan 155 tersebut berideologi neoliberal.<br />
Kedua kebijakan tersebut kemudian dikuatkan ketika disahkannya Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 53 terutama ayat (4) yang mengamanatkan dibuatnya undang-undang yang mengatur mengenai badan hukum pendidikan. Setelah melalui proses panjang penuh perdebatan pro dan kontra akhirnya pada akhir 2008 undang-undang badan hukum pendidikan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada awal 2009 undang-undang itu disahkan dengan nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Dalam Undang-Undang No. 9/2009 banyak ditemukan klausul yang justru bervisi neoliberal. Pada Bab VI tentang pendanaan misalnya, pasal 40 ayat (2) dinyatakan bahwa, “Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ketentuan ini mengaburkan tanggung jawab pemerintah dalam mendanai pendidikan, karena menyertakan masyarakat sebagai pihak yang juga bertanggung jawab atas pendidikan. Hal ini masih ditambah dengan ketentuan pada pasal 40 ayat (5) bahwa, “Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan”. Bagaimana bisa pemerintah yang mestinya bertanggung jawab dalam pendanaan pendidikan kemudian memaknai tanggung jawabnya dalam mendanai pendidikan dalam bentuk hibah?<br />
Nalar korporasi juga jelas terlihat dalam memandang guru dan dosen sebagai sekadar tenaga kerja kontrak sebagaimana ketentuan pasal 55 ayat (3) bahwa, “Pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membuat perjanjian kerja dengan pemimpin organ pengelola BHPP, BHPPD, atau BHPM, dan bagi BHP Penyelenggara diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga”. Realitanya sekarang, dalam pengangkatan dosen baru di beberapa perguruan tinggi negeri eks-IKIP dilakukan dengan mengangkat dosen kontrak, bukan dosen tetap. Posisi ini menjadi tiada beda dengan nasib para pekerja outsourcing dan guru kontrak. Dengan nalar korporasi dan komersialisasi pendidikan tersebut, pada akhirnya biaya pendidikan menjadi makin mahal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perguruan tinggi yang sudah berstatus sebagai BHMN sampai sekarang. Biaya pendidikan yang dikenakan kepada mahasiswa baru selalu naik tiap tahun karena korporatisasi yang menjadikan komersialisasi pendidikan ini. Sekolah dan perguruan tinggi diandaikan sebagai lembaga industri yang berupaya untuk menghidupi dirinya sendiri, karena pendanaan dari pemerintah sudah tidak ada lagi, lebih dari itu juga juga mesti terus meningkatkan pendapatan untuk tidak sekadar menutup biaya operasioanl, investasi, dan lainnya, tetapi juga untuk memenuhi tuntutan prestise-obsesional seperti menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), world class university, research university, dan lainnya yang butuh dana tidak sedikit. Ketika kampus tidak dapat memenuhinya dari unit usaha yang ada, maka satu-satunya jalan adalah dengan memperbanyak jalan masuk bagi mahasiswa baru dan meningkatkan biaya kuliah.<br />
Dari satu kebijakan ini kita dapat memperkirakan kira-kira seperti apa pandangan pemerintah terhadap pendidikan bangsa Indonesia ini. Pemerintah agaknya belum dapat memahami hakikat dari pendidikan sesungguhnya, ataupun kalau memahaminya, maka tidak berani untuk tidak berada di bawah hegemoni neoliberalisme. Dengan demikian masalah utama dalam perumusan dan implementasi kebijakan pendidikan adalah pada dinafikannya visi ideologis pendidikan Indonesia dengan lebih berat pada mekanisme pasar bebas-neoliberal. Satu hal yang mesti dilakukan oleh warga negara, para intelektual, termasuk mahasiswa adalah selalu menganalisis kritis kebijakan-kebijakan tersebut. Ketika memang kebijakan yang dihasilkan betul-betul melenceng dari visi ideologis pendidikan Indonesia, maka mesti digugat, dilawan, dan direformulasikan kebijakan yang lebih baik. Dan kalaupun kebijakan tersebut sudah baik, maka yang perlu dilakukan adalah mengawal pelaksanaannya. Dunia pendidikan, di mana mahasiswa berada di dalamnya, salah satu perannya adalah agar dapat melakukan transformasi sosial dan intelektual, dan transformasi ini tidak hanya dapat dilakukan setelah lulus saja, namun ketika masih menjadi mahasiswa pun dapat melakukannya –dalam hal ini- dengan mengkritik dan mengawal kebijakan-kebijakan pendidikan yang ada.<br />
Berbagai kebijakan yang kontroversial tersebut mengindikasikan ada yang salah dalam kebijakan Undang-Undang kita, karena sudah pasti dalam logika hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintah pada level yang lebih rendah mengacu atau sebagai amanat dari kebijakan di atasnya. Dengan begitu, kebijakan seperti UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan adalah amanat dari UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, yang keduanya pun mengacu pada UUD 1945 dalam ketentuan mengenai pendidikan. Dengan demikian, adakah yang salah dengan UUD 1945 (dalam hal ini adalah UUD 1945 amandemen keempat); ataukah terdapat salah tafsir atas UUD 1945. Kalaupun terdapat keterputusan pemahaman atas UUD 1945, maka pertanyaannya kembali adalah bagaimana bisa UUD 1945 hasil amandemen tersebut menjadikan keterputusan pemahaman; kenapa ia tidak dapat mengikat dalam satu pemahaman yang sama atas suatu hal. Dari sisi ini sudah dapat dinyatakan bahwa memang terdapat masalah dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat.<br />
Masalah ini sebenarnya tidak sekadar terdapat dalam ranah pendidikan. Kebijakan dalam bidang ekonomi misalnya, Peraturan Presiden (Perpres) No. 76 dan 77/2007 yang mengatur tentang sektor-sektor yang terbuka dan tertutup bagi penanaman modal asing. Perpres tersebut salah satunya menyatakan ranah pendidikan sebagai sektor yang terbuka bagi investasi asing. Kebijakan tersebut tentu berimbas pada praktik pendidikan yang semakin ditarik oleh pasar bebas. Perpres tersebut pun sebenarnya tidak lepas dari desakan World Trade Organization (WTO) di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Hal ini menunjukkan tentu ada yang salah juga dalam penafsiran para pembuat kebijakan terhadap ketentuan konstitusi UUD 1945 mengenai ideologi ekonomi-politik yang dianut oleh bangsa Indonesia dan bentuk hubungan internasional yang dilaksanakan. Dengan demikian, berbagai kerancuan dalam kebijakan perundang-undangan dalam ekonomi, hubungan internasional, dan lainnya mengindikasikan ada yang salah dalam UUD 1945 yang menjadikan ia tidak dapat dipahami atau diterjemahkan dengan baik oleh perundang-undangan di bawahnya.<br />
Bidang kehidupan bangsa yang relatif dengan dan bahkan menjadi satu bab dengan bidang pendidikan dalam UUD 1945 adalah kebudayaan. Hal yang paling memprihatinkan adalah pemisahan kebudayaan dari pendidikan, bentuk nyatanya adalah Departemen Kebudayaan di pisah dari Departemen Pendidikan, bahkan Departemen Kebudayaan digabung dengan bidang pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hal ini mengindikasikan degradasi pemahaman terhadap kebudayaan dalam hubungannya dengan pendidikan dan dalam konteks keindonesiaan. Dalam praksis kebijakan pemerintah tersebut, kebudayaan dianggap sama dan sekadar sebagai arena wisata saja. Hal ini jelas bertentangan dengan gagasan yang utuh mengenai kebudayaan sebagai bagian tidak terpisahkan dari pendidikan, demikian juga sebaliknya sebagaimana diungkap oleh Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika kebudayaan dipisahkan dari pendidikan, maka pendidikan menjadi kering dan jauh dari proses pembudayaan, visi ideologis pendidikan menjadi kabur, yang kemudian ditangkap dan diintervensi oleh kekuatan neoliberalisme. Kebudayaan pun sama saja, tidak sekadar dimaknai secara dangkal, lebih dari itu bahkan sekadar menjadi komoditas dagang.<br />
Praksis kebijakan mengenai kebudayaan tersebut tentu tidak terlepas dari pamahaman atas UUD 1945 tidak tepat. Kembali yang mesti ditanyakan adalah bagaimana hal itu bisa terjadi? Tiada lain hal itu memperkuat indikasi bahwa ada yang salah dalam penafsiran atas UUD 1945 hasil amandemen, termasuk kemungkinan terdapat hal yang salah juga dalam UUD 1945 hasil amandemen. Oleh karena itu, amandemen kelima atas UUD 1945 mutlak diperlukan agar arah pembangunan bangsa Indonesia tidak larut oleh neoliberalisme, mengembalikan hakikat dan tujuan pendidikan nasional dalam konteks kerakyatan, kebangsaan, dan keindonesiaan, serta tidak mendangkalkan pemahaman atas kebudayaan bangsa.<br />
Alasan utama amandemen kelima UUD 1945 ini adalah agar kondisi pendidikan Indonesia tidak ikut arus neoliberalisme dan kering visi ideologisnya. Hal itu tentu membutuhkan landasan konstitusi yang mudah dipahami, dilaksanakan, dan dijadikan pedoman dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Amandemen kelima UUD 1945 ini mesti menghasilkan UUD 1945 yang jelas, tegas, mampu melihat dan memosisikan diri di tengah konstelasi ekonomi, politik, dan budaya internasional. Walaupun posisi UUD 1945 sebagai sumber rujukan utama ketentuan perundang-undangan Indonesia hingga menjadikannya tidak bersifat praksis-operasional, namun bukan berarti perubahan atau amandemen UUD 1945 ini tidak memiliki arti signifikan. Untuk beberapa ketentuan seperti wacana pengusulan calon presiden perseorangan, pemilihan umum, perjanjian internasional dan lainnya tentu akan langsung berimbas pada ranah praksis-operasional, namun untuk masalah ketentuan sistem pendidikan dan kebudayaan dalam bahasan ini tentu tidak memiliki imbas signifikan dalam ranah pendidikan dan kebudayaan.<br />
Memasukkan dua kata “pelestarian dan perlindungan” bagi budaya nasional dalam UUD 1945 pasal 32 ayat (1) dan (2) misalnya, hal ini tidak akan berarti apa-apa selain ketika dua kata tersebut diterjemahkan dalam kebijakan perundang-undangan pada level praksis-operasional, katakanlah dalam undang-undang tentang kebudayaan. Dengan begitu UUD 1945 sebenarnya adalah sebuah spirit atau ruh dari semua kebijakan kenegaraan Indonesia, di mana semua kebijakan pemerintah pada level di bawah UUD 1945 tersebutlah yang sebenarnya memiliki kaki untuk menjalankannya secara nyata. Di sinilah kegagalan dalam membaca, memahami, dan menafsirkan UUD 1945 menjadi kebijakan perundang-undangan menjadi kunci utama dalam memahami dan mengatasi betapa banyak produk undang-undang yang secara substansial bertentangan dengan visi ideologis UUD 1945. Dengan kata lain, proses pembacaan, pemahaman, dan penerjemahan UUD 1945 ke dalam produk perundang-undangan pada level praksis-operasional begitu penting. Oleh karena, satu hal penting yang mesti turut diusulkan dalam amandemen kelima UUD 1945 ini adalah dibuatnya satu panduan baku dalam membaca dan menafsirkan UUD 1945 ketika akan diterjemahkan dalam kebijakan perundang-undangan.<br />
Memang pada dasarnya orang (pembaca) boleh membaca UUD 1945 dengan pendekatan, paradigma, atau kacamata apa saja, namun dalam rangka “penerjemahan” substansi dan visi ideologis UUD 1945 dalam kebijakan perundang-undangan agar produk kebijakan perundang-undangan tersebut sesuai dengan substansi dan visi ideologis UUD 1945, maka panduan pembacaan ini menjadi perlu. Panduan ini mesti menjadi kunci dan pengikat pemahaman bahwa produk kebijakan perundang-undangan turunan dari UUD 1945 pada hakikatnya bukanlah amanat pasal per pasal atau ayat per ayat, melainkan amanat keseluruhan UUD 1945. Dengan demikian pertimbangan penyusunan kebijakan perundang-undangan tersebut mesti merujuk pada UUD 1945 secara keseluruhan, baik secara tekstual, kontekstual, dan substansi serta visi ideologisnya. Dalam hal ini secara tekstual melihat teks UUD 1945 itu sendiri dan secara kontekstual melihat kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya Indonesia, sedangkan secara substantif dan visi ideologis adalah dengan memahami kandungan ideologis-filosofis UUD 1945 dari pembukaan hingga batang tubuhnya secara mendalam, holistik, dan komprehensif. Tidak boleh dilupakan juga bahwa semua turunan kebijakan perundang-undangan tersebut mesti berlandaskan pada filosofi Pancasila. Keduanya, Pancasila dan UUD 1945 baik secara tekstual maupun substansial, mesti menjadi dasar perumusan kebijakan perundang-undangan Indonesia.<br />
Inti dari apa yang akan dituangkan dalam amandemen UUD 1945 kelima dan kebijakan pendidikan turunan lainnya adalah: menegaskan kembali sistem pendidikan nasional yang mesti dibangun dalam rangka “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan demikian substansi dan tujuan pendidikan nasional mesti dibangun di atas landasan Pancasila dan UUD 1945 yang secara eksplisit dalam undang-undang mengenai sistem pendidikan nasional disebut tatanan masyarakat seperti apakah yang ingin dicapai melalui sistem pendidikan nasional dan manusia Indonesia seperti apakah yang ingin diciptakan melalui sistem pendidikan nasional. Dalam ketentuan UUD 1945 pasal 31 ayat (3) dengan demikian tidak sekadar, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”, lebih dari itu mesti ditambah menjadi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia serta mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.<br />
Secara substansial sistem pendidikan nasional tersebut mesti dijiwai oleh filosofi Pancasila dan ketentuan dasar dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Jadi, tidak sekadar dalam rangka menjalankan amanat “mencerdaskan kehidupan bangsa”, namun substansi (content) mesti holistik.<br />
Secara praktis dalam amandemen kelima UUD 1945, upaya untuk menciptakan sistem pendidikan Indonesia yang betul-betul mengambil landasan filosofi Pancasila dan visi ideologis UUD 1945, dengan pendidikan yang adil, merata, tidak ada diskriminasi, maka perlu juga diamandemen pasal-pasal lain dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat tersebut yang juga “gagal” diterjemahkan dalam bentuk kebijakan perundang-undangan pada level praksis-operasional. Misalnya mengenai hubungan internasional, perlu diperhatikan bahwa yang mesti diutamakan adalah kepentingan bangsa dan negara Indonesia, bukan sekadar karena prestise dan lainnya. Hal ini adalah penjabaran dari amanar pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “…ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dengan demikian semua bentuk komunikasi ekonomi-politik yang tidak “…berdasarkan kemerdekaan…” sudah selayaknya untuk ditinjau kembali. Hal ini untuk mencegah terulangnya tragedi dikeluarkannya Perpres No. 76 dan 77/2007 yang secara sembrono memasukkan pendidikan sebagai bidang usaha terbuka bagi investasi asing sebagai akibat Indonesia telah meratifikasi kesepakatan dengan WTO.<br />
Terakhir, hal yang tidak dapat dilupakan adalah perlunya penggabungan kembali antara pendidikan dan kebudayaan, karena pada hakikatnya keduanya tidak dapat dipisahkan. Salah satu dampak pemisahannya dalam bentuk memisahkan departemen kebudayaan dari departemen pendidikan telah menjadikan pendidikan kering dan jauh dari proses pembudayaan, dan sebaliknya penggabungan penanganan kebudayaan bangsa dengan kepariwisataan telah menjadikan pengertian budaya tereduksi mejadi komoditas dagang belaka. Jika dipertimbangkan lebih jauh bahwa amat krusial untuk mendefinisikan apakah pendidikan nasional itu secara ideologis-filosofis berkaitan dengan kebudayaan, bukan pengertian normatif-yuridis, maka agaknya perlu juga mencantumkan pengertian substansial pendidikan sebagai “proses pembudayaan dan memanusiakan manusia dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan berpedoman pada tata nilai luhur budaya bangsa dan kepentingan bangsa Indonesia”. Dengan ketentuan secara eksplisit ini akan dapat semakin mengikat tafsir dari apa yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional sebenarnya dalam konteks keindonesiaan dan kebangsaan. <br />
<br />
<br />
ooooooooooal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-81789088057961209922010-11-27T10:20:00.000-08:002010-11-27T10:20:03.303-08:00TINJAUAN TEORITIS TENTANG BELAJAROLEH : IMAM MUSTAQIM, S.Pd.I.,M.Pd.<br />
<br />
Secara garis besar teori-teori belajar dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu :<br />
1. Teori belajar menurut Psikologi Behavioristik<br />
2. Teori belajar menurut Psikologi Kognitif<br />
3. Teori belajar menurut Psikologi Humanistik<br />
1. Teori Belajar Menurut Psikologi Behavioristik<br />
Mereka biasa juga disebut “S-R Psychologis”. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya.<br />
Guru yang menganut pandangan teori ini berpendapat, bahwa tingkah laku murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar. Kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut.<br />
Tokoh-tokoh Teori Belajar Psikologi Behavioristik<br />
<br />
a. Thorndike (1874 – 1949)<br />
Teori belajarnya disebut “Connectionism”, yaitu belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus (S) dan respons (R). Dari hasil penelitiannya, Thorndike mendapatkan 3 hukum dalam belajar, yaitu :<br />
1. Law of effect, hubungan S-R bertambah erat kalau disertai oleh perasaan senang atau puas. Dan sebaliknya menjadi kurang kuat atau lenyap kalau disertai rasa tidak senang. Maka memuji dan membesarkan hati anak lebih baik dalam pelajaran daripada menghukum atau mencela. <br />
2. Law of exercise, hubungan S-R bertambah erat kalau sering digunakan, dan akan kurang erat atau lenyap jika jarang digunakan. Karena itu perlu digunakan banyak latihan, ulangan-ulangan dan pembiasaan. <br />
3. Law of readness, kesiapan untuk berbuat akan lebih mempermudah antara hubungan S dan R. Tetapi apabila telah siap kemudian dicegah, maka akan menyebabkan rasa negatif bagi yang bersangkutan. <br />
b. Ivan Pavlov (1849 – 1936)Teori belajarnya disebut “Stimulus Substitution” atau Classical Conditioning”. Dalam percobaan laboratoriumnya Pavlov memberikan stimuli bersyarat terhadap anjing sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Dalam teori ini ditunjukkan bahwa bagaimana tingkah laku dapat dibentuk dengan pengaturan dan manipulasi lingkungan. Dan tingkah laku tertentu dapat dibentuk dengan secara berulang-ulang. Tingkah laku itu tadi dipancing dengan sesuatu yang memang dapat menimbulkan tingkah laku itu.<br />
Dalam laboratoriumnya, diberikan pembiasaan baru pada anjing karena adanya latihan terus menerus. Bunyi bel yang senantiasa diikuti dengan munculnya makanan memberikan pengalaman bagi anjing untuk secara refleks mengeluarkan air liur begitu mendengar bel. Kebiasaan anjing tersebut di atas akan berangsur-angsur hilang apabila diikuti dengan pemberian makanan <br />
c. John B. Watson (1878 – 1958)<br />
Belajar merupakan proses terjadinya respons-respons bersyarat melalui stimulus pengganti. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan S-R, baru kemudian melalui “conditioning”<br />
d. E. R Guthrie (1886 – 1959)<br />
Ia mengemukakan prinsip belajar yang disebut law of association, yang berbunyi: “Suatu kombinasi stimuli yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi stimuli itu muncul kembali.” Dengan kata lain, jika anda mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka nantinya dalam situasi yang sama anda akan mengerjakan hal serupa lagi.<br />
Menurut Ghutrrie, belajar memerlukan reward dan kedekatan antara stimulus dan respons. Bahwa hukuman itu tidak baik dan tidak pula buruk. Efektif tidaknya hukuman tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan murid belajar ataukah tidak.<br />
2. Teori Belajar menurut Psikologi Kognitif<br />
Menurut aliran kognitifis, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi, tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.<br />
Tokoh-tokoh Teori Belajar Psikologi Kognitif<br />
a. Mex Wertheirmer (1880 – 1943)<br />
Ia adalah peletak dasar psikologi Gestalt, yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Suatu konsep terpenting dalam Psikologi Gestalt adalah tentang “insight” yaitu pengamatan/pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam sutu situasi permasalahan. Contoh insight seperti pernyataan spontan “aha” atau “ooh” atau I see now.<br />
Wertherimer menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis. Menurut pendapat Gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan-hubungan antara bagian keseluruhan. Tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.<br />
b. Kurt Lewin (1892 – 1947)<br />
Teori belajarnya disebut “Cognitive Field”. Lewin berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antara kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan; maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan.<br />
Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Peranan motivasi lebih penting daripada reward.<br />
c. Piaget, teorinya disebut “Cognitive Developmental”<br />
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak.<br />
3. Teori Belajar menurut Psikologi Humanistik<br />
Menurut para pendidik aliran Humanistik penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Tujuan utama para pendidik ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Psikologi ini berusaha untuk memahami perilaku seseorang dari sudut Si pelaku (behaver), bukan dari Si pengamat (observer).<br />
<br />
Dalam menyoroti masalah perilaku, ahli psikologi humanistik mempunyai pandangan yang sangat berbeda dengan psikologi behavioral. Perbedaan ini dikenal sebagai “Freedom determination issue”. Para behaviorest memandang bahwa manusia sebagai makhluk reaktif yang memberikan responsnya terhadap lingkungan. Sebaliknya para humanistik mempunyai pendapat bahwa tiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri. Mereka bebas dalam memilih kualitas hidup mereka, tidak terikat oleh lingkungannya.<br />
Tokoh-tokoh teori belajar Psikologi Humanistik<br />
1. Combs, ia menyatakan bila kita ingin memahami perilaku orang kita harus mencoba memahami persepsi orang itu. Apabila ingin mengubah perilaku seseorang, kita harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan orang itu, perilaku dalamlah yang membedakan seseorang dari yang lain.<br />
2. Maslov, bahwa di dalam diri kita ada 2 hal, yaitu : <br />
a. Suatu usaha yang positif untuk berkembang<br />
b. Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.<br />
3. Rogers : Dalam bukunya Freedom to Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistik yang penting, diantaranya ialah : <br />
o Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami. <br />
o Belajar yang signifikan terjadi apabila Subject mater dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri<br />
o Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.<br />
o Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil. <br />
o Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.<br />
o Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya. <br />
o Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.<br />
o Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari. <br />
o Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah dicapai terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang penting. <br />
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu.<br />
<br />
<br />
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR <br />
Berhasil atau tidaknya seseorang dalam pencapaian hasil belajar disebabkan oleh banyak faktor, baik yang berasal dari dalam diri siswa maupun yang berasal dari luar dirinya. Untuk memudahkan pembahasan dapat diklasifikasikan sebagaimana bagan berikut: <br />
<br />
Faktor-faktor di atas saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama yang lain. Bila aspek fisiologis siswa tidak baik maka akan mempengaruhi aspek psikologis. Begitu juga bila lingkungan (baik sosial maupun non sosial) di sekitar siswa tidak baik, maka akan berdampak pada proses dan hasil belajar. Oleh karena itu guru dan orang tua agar menciptakan situasi dan kondisi belajar yang bisa mendukung keberhasilan belajar siswa, baik di sekolah maupun di rumah. Wallahu a'lam.<br />
<br />
<br />
<br />
JENIS-JENIS BELAJAR<br />
• Belajar arti kata-kata<br />
Mengerti kata-kata merupakan dasar terpenting. Orang yang membaca akan mengalami kesukaran untuk memahami isi bacaan jika tidak mengerti arti kata-kata. Karena ide-ide yang ada dalam suatu kata atau kalimat hanya dapat dipahami dengan mengerti arti setiap kata. <br />
• Belajar Kognitif<br />
Dalam belajar, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan belajar kognitif. Belajar kognitif bersentuhan dengan masalah mental. Kegiatan mental berproses ketika memberikan tanggapan terhadap obyek-obyek yang diamati. Obyek-obyek yang diamati dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan, atau lambang yang merupakan sesuatu bersifat mental. Misalnya, seseorang menceritakan hasil perjalanannya berupa “pengalaman” kepada temannya. Ketika dia bercerita, dia tidak dapat menghadirkan obyek-obyek yang pernah dilihatnya kepada temannya itu, dia hanya dapat menggambarkan semua obyek itu dalam bentuk kata-kata.<br />
• Belajar menghafal<br />
Menghafal adalah suatu aktivitas menanamkan suatu materi verbal di dalam ingatan, sehingga nantinya dapat diproduksikan (diingat) kembali secara harfiah, sesuai dengan materi yang asli. Dalam menghafal, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan yaitu mengenai tujuan, pengertian, perhatian dan ingatan. Efektif tidaknya dalam menghafal dipengaruhi oleh syarat-syarat tersebut. Menghafal tanpa tujuan menjadi tidak terarah, menghafal tanpa pengertian menjadi kabur, menghafal tanpa perhatian adalah kacau, dan menghafal tanpa ingatan adalah sia-sia. <br />
• Belajar Konsep<br />
Konsep atau pengertian adalah satuan arti yang mewakili sejumlah obyek yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap obyek-obyek yang dihadapi, sehingga obyek ditempatkan dalam golongan tertentu. Misalnya pada bunga mawar, kenanga, angrek, dan melati ditemukan sejumlah ciri yang terdapat pada semua bunga-bunga konkret itu, yaitu “mekar, bertangkai, berwarna, sedap dipandang mata, berputik, dan berbenang sari”. Sejumlah ciri itu ditangkap dalam pengertian “bunga” yang kemudian dilambangkan dengan kata “bunga”. Jadi, konsep bunga itu dalam pengertian mekar, bertangkai, berwarna, sedap dipandang mata, berputik, dan berbenang sari.<br />
Belajar konsep merupakan salah satu cara belajar dengan pemahaman. Ciri khas dari konsep yang diperoleh sebagai hasil belajar pengertian ini adalah adanya skema konseptual. Skema konseptual adalah suatu keseluruhan kognitif, yang mencakup semua ciri khas yang terkandung dalam suatu pengertian.<br />
• Belajar Kaidah<br />
Kaidah adalah suatu pegangan yang tidak dapat diubah-ubah. Kaidah merupakan suatu representasi (gambaran) mental dari kenyataan hidup dan sangat berguna dalam mengatur kehidupan sehari-hari. Orang yang mempelajari kaidah mampu menghubungkan beberapa konsep. Misalnya, seseorang berkata, “besi dipanaskan memuai”, hal ini karena ia telah menguasai konsep dasar mengenai “besi”, “dipanaskan” dan “memuai”, dan dapat menentukan adanya suatu relasi yang tetap antara ketiga konsep dasar itu, maka dia dengan yakin mengatakan bahwa “besi dipanaskan memuai”. <br />
Selama belajar di sekolah atau diperguruan tinggi seseorang akan menemukan kaidah-kaidah, misalnya : setiap makhluk yang bernyawa pasti mat, belajar adalah berubah, udara yang lembab mengakibatkan besi berkarat, air yang dimasukkan dalam ruang bersuhu nol derajad akan membeku, perkembangan anak dipengaruhi oleh keturunan dan lingkungan.<br />
• Belajar berpikir<br />
Berpikir adalah kemampuan jiwa untuk meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan. Dalam belajar ini, orang dihadapkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan. Masalah harus dipecahkan melalui operasi mental, khususnya menggunakan konsep dan kaidah serta metode-metode bekerja tertentu. Belajar berpikir sangat diperlukan selama belajar di sekolah atau di perguruan tinggi.<br />
Macam taraf berfikir yaitu : taraf berpikir pengetahuan (belajar reseptif/menerima), komprehensif Berpikir dalam konsep belajar pengertian), aplikasi (berpikir menerapkan), analisis dan sistesis (berpikir menguraikan dan menggabungkan), evaluasi (berpikir kreatif atau memecahkan masalah).<br />
• Belajar Keterampilan motorik (motor skill)<br />
Orang yang memiliki suatu keterampilan motorik, mampu melakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasmani dalam urutan tertentu, dengan koordinasi antara gerak-gerik berbagai anggota badan secara terpadu. <br />
• Belajar Estetis<br />
Bentuk belajar ini bertujuan membentuk kemampuan menciptakan dan menghayati keindahan dalam berbagai bidang kesenian. Belajar ini mencakup fakta, seperti ritme, tema dan komposisi, relasi-relasi, seperti hubungan antara bentuk dan isi, struktur-struktur, sistematika warna dan aliran-aliran dalam seni lukis dan karya seni lain.<br />
<br />
<br />
<br />
PRINSIP-PRINSIP BELAJAR <br />
Dalam pelaksanaan mengajar, seorang guru harus memperhatikan beberapa prinsip belajar agar dapat tercapai tujuan dari belajar. Proses belajar sangat kompleks, tetapi dapat dianalisis dan diperinci dalam bentuk prinsip-prinsip atau asas-asas belajar. Hal itu perlu kita ketahui agar kita memiliki pedoman dan teknik belajar yang baik. <br />
Prinsip-prinsip belajar secara umum adalah : <br />
1. Belajar harus bertujuan dan terarah. Tujuan berkenaan dengan pengembangan perilaku. <br />
2. Belajar memerlukan bimbingan. Baik bimbingan langsung dari guru atau buku pelajaran itu sendiri. Belajar tanpa seorang pembimbing bisa berakibat fatal sebagai akibat dari pemahaman yang keliru. <br />
3. Belajar memerlukan pemahaman atas hal-hal yang dipelajari sehingga diperoleh pengertian-pengertian. <br />
4. Belajar memerlukan latihan dan pengulangan, agar apa-apa yang telah dipelajari dapat dikuasai. <br />
5. Belajar adalah suatu proses yang aktif, yaitu terjadi saling pengaruh secara dinamis antara murid dengan lingkungannya. <br />
6. Belajar harus disertai keinginan dan kemauan yang kuat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu belajar harus didasarkan pada kebutuhan dan motivasi tertentu. <br />
7. Belajar dianggap berhasil apabila telah sanggup menerapkan ke dalam bidang praktik sehari-hari. <br />
8. Belajar perlu dihadapkan kepada masalah dan kesulitan yang perlu dipecahkan. <br />
9. Hasil belajar dapat ditransfer ke dalam situasi lain. <br />
Prinsip belajar menurut ilmu jiwa gestalt adalah : <br />
1. Belajar yang baik harus bersifat keseluruhan, bukan bagian-bagian yang terpisah. <br />
2. Belajar adalah suatu proses perkembangan. <br />
3. Belajar yang baik terjadi dengan pemahaman (insight) <br />
4. Belajar akan memberikan hasil yang lebih baik, apabila berhubungan dengan minat. <br />
5. Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus. <br />
Rogers : Dalam bukunya Freedom to Learn , ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistik yang penting, diantaranya ialah : <br />
1. Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami. <br />
2. Belajar yang signifikan terjadi apabila Subject mater dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri. <br />
3. Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya. <br />
4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil. <br />
5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar. <br />
6. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya. <br />
7. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu. <br />
8. Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari. <br />
9. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah dicapai terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang penting. <br />
10. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu. <br />
MOTIVASI BELAJAR<br />
Motivasi adalah gejala psikologis dalam bentuk dorongan yang timbul pada diri seseorang baik sadar atau tidak sadar untuk melalukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktivitas belajar yang efektif. Motivasi mempunyai peranan yang strategis dalam aktivitas belajar seorang siswa. Tidak ada seorangpun yang belajar tanpa motivasi. Tidak ada motivasi berarti tidak ada kegiatan belajar. <br />
A. Pengertian Motivasi<br />
James O. Whittaker memberikan sebuah definisi tentang motivasi sebagai kondisi-kondisi atau keadaan yang mengaktifkan atau memberi dorongan kepada makhluk untuk bertingkah laku mencapai tujuan.<br />
Frederick J. Mc Donald mengatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi (tenaga) di dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan afektif (perasaan) dan reaksi mencapai tujuan. Perubahan energi dalam diri seseorang itu berbentuk suatu aktivitas nyata berupa kegiatan fisik.<br />
Dari definisi di atas dalam motivasi terdapat tiga hal, yaitu :<br />
1. suatu perubahan tenaga dalam diri seseorang. Setiap perubahan motivasi berakibat pada <br />
2. perubahan tenaga di dalam sistem neoro fisiologis dari organisme manusia.<br />
3. ditandai oleh dorongan afektif, seperti lebih bersemangat<br />
4. ditandai oleh reaksi-reaksi mencapai tujuan, yaitu tindakan nyata<br />
B. Jenis-jenis Motivasi<br />
Motivasi dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :<br />
1. Motivasi Intrinsik adalah dorongan untuk melakukan sesuatu yang berasal dari diri individu itu sendiri. Dikatakan motivasi intrinsik apabila seorang siswa termotivasi untuk belajar semata-mata untuk menguasai ilmu pengetahuan bukan karena motif lain seperti pujian, nilai yang tinggi, atau hadiah. Motivasi itu muncul karena ia merasa membutuhkan sesuatu dari apa yang ia pelajari. Kesadaran pentingnya terhadap apa yang dipelajari adalah sangat penting untuk memunculkan motivasi intrinsik. Bila seseorang telah memiliki motivasi intrinsik maka selalu ingin maju dalam belajar sserta haus ilmu pengetahuan.<br />
2. Motivasi Ekstrinsik adalah dorongan untuk melakukan sesuatu karena adanya perangsang dari luar diri individu. Peserta didik belajar karena hendak mencapai tujuan yang terletak di luar hal yang dipelajarinya, seperti nilai yang tinggi, kelulusan, ijazah, gelar, kehormatan dan lain-lain. Motivasi ekstrinsik meskipun kurang baik akan tetapi sangat diperlukan dalam proses pendidikan agar anak didik mau belajar. Motivasi ekstrinsik tidak selalu buruk. Ia sering digunakan karena bahan pelajaran kurang menarik perhatian anak didik. <br />
C. Prinsip-prinsip Motivasi<br />
Ada beberapa prinsip motivasi dalam belajar, yaitu :<br />
1. Motivasi sebagai dasar penggerak yang mendorong aktivitas belajar<br />
2. motivasi intrinsik lebih utama dari pada motivasi ekstrinsik dalam belajar<br />
3. Motivasi berupa pujian lebih baik daripada hukuman<br />
4. Motivasi berhubungan erat dengan kebutuhan dalam belajar<br />
5. Motivasi dapat memupuk optimisme dalam belajar<br />
6. Motivasi melahirkan prestasi dalam belajar<br />
D. Bentuk-bentuk Motivasi dalam Belajar<br />
Ada beberapa bentuk motivasi yang dapat dimanfaatkan dalam rangka mengarahkan belajar anak didik di kelas, yaitu :<br />
1. Memberi angka/nilai<br />
2. hadiah<br />
3. Kompetisi/persaingan<br />
4. Memberi ulangan/evaluasi<br />
5. Mengetahui hasil belajar<br />
6. Pujian<br />
7. Hukuman/sanksi<br />
8. Piagam/sertifikat<br />
9. Hasrat untuk belajar, gejala psikologis yang berhubungan dengan kebutuhan untuk <br />
10. mengetahui sesuatu yang dipelajari.<br />
Minat, suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Seseorang yang memiliki minat terhadap suatu pelajaran atau kegiatan akan memperhatikan secara konsisten dengan rasa senang.<br />
<br />
<br />
MODEL-MODEL MENGAJAR<br />
Mengajar adalah proses menyampaikan pengetahuan dan kecakapan kepada siswa. Rumusan lainnya menyatakan bahwa mengajar adalah aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya sehingga menciptakan kesempatan bagi anak untuk melakukan proses belajar secara efektif. <br />
Pendapat lain mengatakan bahwa proses belajar itu harus tumbuh dan berkembang dari diri anak sendiri. Dengan kata lain, anak-anaklah yang harus aktif belajar, sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing. Pandangan ini pada dasarnya mengemukakan bahwa mengajar adalah membimbing kegiatan belajar anak. <br />
Model-model mengajar (teaching models) adalah blue print mengajar yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pengajaran. Cetak biru (blue print) ini lazimnya dijadikan pedoman perencanaan dan pelaksanaan pengajaran serta evaluasi belajar.<br />
Dalam sebuah model mengajar biasanya terdapat tahapan-tahapan atau langkah-langkah (syntax) yang relatif tetap dan pasti untuk menyajikan materi pelajaran secara berurutan. Oleh karena itu, sebuah model mengajar dapat dianggap sebagai teori yang bersifat mekanis dalam arti berjalan secara tetap seperti mesin.<br />
Kumpulan atau set model mengajar yang dianggap komprehensif, menurut Tardif (1989) adalah set model yang dikembangkan oleh Bruce Joyce dan Marsha Weil dengan kategorisasi sebagai berikut :<br />
<br />
1. Model Information Processing, sebuah model mengajar untuk mengembangkan ranah cipta (kognitif).<br />
Termasuk model information processing adalah Model Peningkatan Kapasitas Berfikir yang diilhami oleh Jean Piaget (1896 – 1980). Penerapan model ini diarahkan pada pengembangan-pengembangan sebagai berikut :a. Daya cipta akal siswa, b. berpikir kritis siswa, c. Penilaian mandiri siswa<br />
Langkah-langkah (syntax)<br />
Setelah guru mempersiapkan segala sesuatu yang mendukung penyajiannya, seperti alat peraga, buku sumber dll, ia harus siap melaksanakan tiga macam sintaks model. Langkah-langkah ini biasanya ditempuh dengan menggunakan motede Diskusi dan pemberian tugas yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut :<br />
1. langkah konfrontasi. Yaitu guru mengkonfrontasikan atau menghadapkan para siswa pada permasalahan yang menentang, penuh tanda tanya, dan terkadang tak masuk akal. Caranya ialah dengan menajukan pertanyaan yang pelik tetapi masih setara dengan perkembangan ranah kognitif siswa.<br />
2. langkah inquiry, merupakan proses pengunaan intelek siswa dalam memperoleh pengetahuan dengan cara menemukan dan mengorganisasikan konsep-konsep ke dalam sebuah tatanan yang menurut siswa tersebut penting (Barlow, 1985). Selama proses inquiry guru perlu memberi peluang kepada siswa agar lebih banyak mengembangkan kreativitas sendiri dalam memecahkan masalah.<br />
3 langkah transfer. Pada tahap akhir ini diharapkan kemampuan-kemampuan ranah cipta dan rasa yang sudah dimiliki oleh siswa dapat mempermudah penyelesaian-penyelesaian tugas pembelajaran berikutnya. Selain itu, kiat kognitif siswa dalam memecahkan masalah diharapkan dapat memberi dampak positif atau dapat digunakan lagi untuk memecahkan masalah-masalah baru (Lawson, 1991)<br />
<br />
2. Model personal (pengembangan pribadi)<br />
Model personal berorientasi pada pengembangan pribadi siswa dengan lebih banyak memperhatikan kehidupan ranah rasa, terutama fungsi emosionalnya. Model personal lebih ditekankan pada pembentukan dan pengorganisasian realitas kehidupaan lingkungan. Diharapkan dengan model ini proses belajar-mengajar dapat menolong siswa dalam mengembangkan sendiri hubungan yang produktif dengan lingkungannya.<br />
Model personal lebih bersifat bimbingan dan penyuluhan dalam mengantisipasi atau mengatasi kesulitan belajar siswa, juga untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar siswa yang dianggap bermasalah.<br />
Teknik yang lazim digunakan untuk mengimplementasikan model personal adalah teknik wawancara. Dalam wawancara ini siswa dibebaskan menjawab dan mengekspresikan ide dan perasaan kepada guru pembimbing sehubungan dengan masalah yang sedang dialami. Sebaliknya, guru yang berfungsi sebagai pembimbing sangat dianjurkan untuk bersikap empatik, dalam arti menunjukkan respons ranah cipta dan rasa yang penuh pengertian terhadap emosi dan perasaan siswa (Reber, 1988)<br />
Langkah-langkah (syntax)<br />
1. Menentukan situasi yang membantu. Tahapan ini dilakukan pada wawancara awal. Guru harus pandai-pandai menyusun daftar pertanyaan yang membuka jalan bagi siswa klien untuk mengekspresikan secara bebas hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Jadi, tahapan ini lebih bersifat penjajagan masalah.<br />
2. Mendorong/memotivasi siswa klien untuk mengekspresikan segala perasaan yang ada, baik yang bersifat positif maupun negatif. <br />
3. Mengembangkan insight, dalam arti mengerti dan menyadari sendiri tentang arti, sebab, dan akibat perilakunya pada masa lalu yang bermasalah. Peranan guru dalam hal ini memberi akses keterusterangan siswa klien, agar jenis masalah yang akan dipecahkan pada langkah selanjutnya dapat ditentukan rumusannya.<br />
4. Memotivasi siswa klien sambil membantuk membuat keputusan tentang jenis masalah dan membuat rencana pemecahan masalah tersebut. Dalam hal ini, yang dilakukan guru adalah menawarkan alternatif-alternatif penentuan jenis masalah dan prosedur pemecahannya untuk dijadikan acuan siswa tersebut dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Jadi yang mengatasi masalah bukan guru pembimbing melainkan siswa klien itu sendiri.<br />
5. Memotivasi siswa klien untuk mengambil keputusan mengenai jenis masalah dan tindakan-tindakan positif. Guru pembimbing tinggal memantau pelaksanaan tindakan-tindakan siswa tersebut sambil bersiap siaga membantu menyingkirkan atau mengurangi hambatan yang mungkin merintangi tindakan positif siswa.<br />
3. Model behavioral (pengembangan perilaku)<br />
Model behavioral direkayasa atas dasar kerangka teori perilaku yang dihubungkan dengan proses belajar mengajar. Aktivitas mengajar, menurut teori ini harus ditujukan pada timbulnya perilaku baru atau berubahnya perilaku siswa ke arah yang sejalan dengan harapan. Di antara model mengajar behavioral adalah mastery learning (model belajar tuntas). Model ini pada dasarnya merupakan pendekatan mengajar yang mengacu pada penetapan kriteria hasil belajar. Kriteria tingkat keberhasilan belajar ini meliputi : 1). Pengetahuan; 2). Konsep; 3) keterampilan; 4) sikap dan nilai. <br />
Langkah-langkah (syntax)<br />
1. langkah orientasi. Pada tahap pertama ini guru dianjurkan menyusun framework (kerangka kerja pengajaran). Dalam kerangka tersebut ditetapkan hal-hal sebagai berikut:<br />
o pokok bahasan materi pelajaran<br />
o Keterampilan yang harus dikuasai siswa setelah mempelajari materi pelajaran.<br />
o tugas dan tanggung jawab murid dalam melakukan belajar.<br />
2. Langkah penyajian. Pada tahap kedua guru menjelaskan konsep konsep yang terdapat dalam pokok bahasan, serta mendemonstrasikan keterampilan yang berhubungan dengan materi pelajaran.<br />
3. Langkah strukturisasi latihan. Pada tahap ketiga ini guru memperlihatkan contoh-contoh mempraktikkan keterampilan sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan pada waktu penyajian materi. Dianjurkan untuk memakai media seperti video tape recorder, OHP, LCD atau gambar-gambar agar lebih mudah ditangkap oleh siswa.<br />
4. Langkah praktik. Pada tahap keempat ini guru menginstruksikan kepada para siswa untuk mempraktikkan keterampilan yang telah diajarkan. Dalam hal ini guru cukup memonitar praktik yang dilakukan oleh siswa apakah sudah benar sesuai dengan teori yang diajarkan.<br />
5. Langkah praktik bebas. Pada tahap terakhir ini guru dapat memberi kebebasan kepada para siswa untuk mempraktikkan sendiri keterampilan yang telah dikuasai. Hal ini bisa diterapkan bila siswa telah mengusai meteri dengan tingkat akurasi (ketepatan) keterampilan minimal 90 persen.<br />
Sebagai catatan, bahwa model mastery learning itu sangat tepat untuk mengajarkan keterampilan yang memerlukan aplikasi fungsi-fungsi jasmani (ranah cipta) seperti pelajaran olah raga, senam, pelajaran shalat dll. Akan tetapi, guru perlu menyadari kelemahan model belajar tuntas tersebut, lantaran lebih banyak mengembangkan ranah karsa dan sedikit mengembangkan ranah cipta. Sedangkan ranah rasa hampir tak tersentuh. Maka guru harus kreatif untuk menggunakan model mengajar lainnya sebagai upaya pengkombinasian yang dapat menutupi kekurangan model masteri learning tersebut.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
METODE-METODE MENGAJAR<br />
1. Metode Tugas membaca.<br />
Yaitu guru memberikan tugas kepada siswa untuk membaca bahan bacaan yang telah ditentukan. Bahan bacaan yang dipergunakan adalah buku-buku teks wajib atau buku-buku tambahan lainnya. Untuk menjamin bahwa tugas membaca ini telah dilaksanakan, maka siswa diberikan tugas untuk membuat rangkuman dari bahan bacaan tersebut atau dapat juga siswa diminta untuk menceritakan/menjelaskan kembali tentang hal-hal yang berkaitan dengan isi bacaan yang ditugaskan. <br />
2. Metode Tanya Jawab<br />
yaitu guru mengajar kepada para siswa dengan cara bertanya jawab. Metode ini sudah dikenal sejak lama sebelum lembaga pendidikan formal ada. Pendidikan pada waktu itu dilaksanakan pada tempat-tempat umum dan tidak memakai alat belajar sama sekali. Mereka, yaitu guru dan para murid hanya memanfaatkan pikiran, pembicaraan, dan pendengaran saja dengan ditambah obyek-obyek nyata di alam sebagai contoh dan peragaan. Tokoh yang paling terkenal menerapkan metode ini adalah Sokrates.<br />
Teknik bertanya merupakan keterampilan berpikir dan berbicara. Oleh karena itu ia tidak dapat disiapkan secara mendadak. Kegiatan guru yang paling menonjol adalah bertanya dan memperhatikan jawaban para siswa serta memberikan dorongan agar aktif berpikir dan menjawab pertanyaan.<br />
Langkah-langkah pengajaran dengan metode tanya jawab adalah :<br />
1. Guru mengawali menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan materi yang dibahas.<br />
2. Siswa yang ditunjuk menjawab pertanyaan itu.<br />
3. Bila jawaban yang diberikan oleh siswa kurang tepat atau salah, guru memberikan pertanyaan baru yang sifatnya menggiring pikiran siswa agar ia sadar bahwa jawaban yang diberikannya kurang tepat. Bila tetap tidak bisa menjawab dengan benar maka pertanyaan tersebut dilemparkan kepada siswa yang lain.<br />
4. Bila siswa masih kesulitan mencari jawaban, maka guru membantu mencari jawaban dengan menunjukkan alat peraga yang relevan.<br />
5. Bantuan kepada proses berpikir dapat pula berupa contoh-contoh kongkrit yang terdapat di masyarakat atau lingkungan. <br />
6. Bila dengan bantuan tersebut siswa belum juga menjawab dengan tepat, guru memberi kesempatan kepada para siswa untuk bertanya jawab antar siswa.<br />
7. Tanya jawab tersebut seringkali dilanjutkan dengan tanya jawab segi tiga, yaitu guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa.<br />
8. Bila segala model tanya jawab tersebut menemui jalan buntu, dalam arti tidak ada satupun siswa yang menjawab pertanyaan dengan tepat, maka gurulah yang turun tangan menjawab pertanyaan itu yang biasanya dilengkapi dengan penjelasan yang cukup mendalam agar siswa benar-benar memahaminya.<br />
3. Metode Ceramah Metode ceramah juga disebut metode memberitahukan atau metode kuliah (lecture method) karena abanyak diepergunakan di Perguruan tinggi. Metode ini telah lama digunakan oleh orang-orang Yunani dan China untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid-muridnya. Di sekolah-sekolah modern, metode ini sudah banyak ditinggalkan, karena tugas guru harus merangsang siswa untuk berpikir, membimbing mereka dalam perkembangannya, membantu mereka dalam cara belajar, dalam eksperimen dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.<br />
Kelemahan metode ceramah :<br />
1. Proses KBM berpusat pada guru (teacher centre)<br />
2. Siswa menjadi pasif. Pengajaran modern, belajar itu aktif dengan semboyan “Learning by doing” yakni belajar sambil berbuat”<br />
3. Metode ceramah kurang memberi kesempatan untuk berbuat, berpikir dan memecahkan masalah.<br />
4. Anak dipaksa mengikuti jalan pikiran guru, mereka diharapkan hanya menerima keterangan dan penjelasan guru.<br />
4. Metode Diskusi Metode ini merupakan bagian yang penting dalam metode pemacahan masalah (problem solving). Diskusi hanya bisa dilakukan bila dihadapi suatu masalah yang memungkinkan bermacam-macam jawaban, tidak mempunyai hanya satu jawaban yang benar. Setiap jawaban anak yang beralasan dapat diterima. Diskusi bukanlah debat untuk menang dan mempertahankan/memaksankan pendapatnya, walapun bertentangan dengan fakta yang ada. Dalam diskusi guru mendapat pendapat dan pendirian peserta. Anak-anaklah yang harus berbicara, bukan guru. Perbedaan pendapat diskusi akan menari dan merangsang anak untuk berfikir.<br />
Manfaat metode diskusi:<br />
1. Anak belajar berpikir tentang suatu masalah.<br />
2. Anak dilatih untuk mengemukakan pendapatnya, mempertahankannya, atau menerima pendapat orang lain yang lebih benar.<br />
3. Siswa tidak pasif.<br />
4. Hasil belajar dengan diskusi lebih mantap daripada hanya dengan hafalan.<br />
Kelemahan metode diskusi:<br />
1. Banyak menyita waktu. Ada anggapan bahwa menjelaskan suatu masalah lebih efisien.<br />
2. Sering menyimpang dari pokok persoalan, terutama bila pimpinan diskusi kurang tegas.<br />
3. Sering terjadi pembicaraan diborong oleh hanya beberapa anak yang suka berbicara.<br />
5. Metode Sosiodrama<br />
Sosiodrama adalah semacam sandiwara atau dramatisasi tanpa skript (bahan tertulis), tanpa latihan terlebih dahulu, tanpa menyuruh anak menghafalkan sesuatu. Metode sosiodrama atau bermain peran ini sering digunakan bila kita ingin membearikan pengeratian yang yang lebih mendalam berbagai situasi yang menyangkut masalah sosial. Dalam sosiodrama tidak diperlukan keahlian sandiwara, tetapi lebih bersifat spontan dari pengalaman anak.<br />
Langkah-langkah melaksanakan Sosiodrama<br />
1. Menentukan pokok persoalan / tema sosial yang akan disosiodramakan<br />
2. Memilih para pelaku, yaitu anak yang memahami persoalan dan mempunyai daya fantasi, bukan anak yang pandai melucu atau pemalu.<br />
3. Mempersiapkan peranan. <br />
Berilah waktu sekitar tiga menit kepada anak untuk keluar kelas dan mempersiapkan diri sebagai orang yang diperankannya. Mereka dapat berunding sebentar.<br />
4. Mempersiapkan para penonton. <br />
Siswa yang lain berperan sebagai penonton dan diminta untuk mengambil sikap seandainya memainkan peranan yang dilihat, apa yang harus dilakukan.<br />
5. Pelaksanaan sosiodrama. <br />
Guru memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk melaksanakan peran yang dimainkan. Waktu untuk sosiodrama biasanya sekitar lima menit<br />
6. Follow up. <br />
Selesai sosiodrama, diadakan diskusi yang untuk menanggapi segalam permasalahan yang telah diperankan. <br />
6. Metode Karyawisata<br />
Metode karyawisata adalah belajar di luar kelas dengan pengamatan langsung, mengadakan penelitian dan penyelidikan. Di luar kelas terdapat sumber belajar yang dapat dijadikan obyek karyawisata, seperti sungai, panti asuhan, rumah sakit, pasar, gunung, stasiun, musium dll. Dengan karyawisata anak-anak dapat diajak untuk mempelajari bagaimana orang hidup, bekerja dan menderita di dalam masyarakat.<br />
7. Metode Drill<br />
Tujuan metode ini adalah untuk memperoleh suatu ketangkasan, keterampilan tentang sesuatu yang dipelajari anak dengan melakukannya secara praktis pengetahuan-pengetahuan yang pelajari dan siap digunakan bila sewaktu-waktu diperlukan. Metode ini sangat cocok untuk melatih kecakapan motorik, seperti gerakan shalat, menulis, melafalkan kata-kata, pendidikan jasmani dll. Selain itu juga bisa digunakan untuk melatih kecakapan mental, seperti melatih perkalian, penjumlahan, mengenal tanda-tanda baca dll.<br />
8. Metode Demonstrasi<br />
Demonstrasi adalah suatu cara mengajar/teknik mengajar dengan mengkombinasikan lisan dengan suatu perbuatan serta dipergunakan alat.<br />
Nilai Metode Demonstrasi<br />
1. Memberi gambaran dan pengertian yang lebih jelas dari pada hanya dengan lisan .<br />
2. untuk menunjukkan langkah-langkah suatu proses ataun suatu keterampilan.<br />
3. Untuk memudahkan dan lebih efisien.<br />
4. Memberi kesempatan kepada anak-anak untuk belajar mengamati sesuatu dengan cermat<br />
5. Setelah demonstrasi akan memberikan kesempatan kepada anak untuk diskusi yang akan lebih memperbaiki dan mempertajam pengertian.<br />
Mempersiapkan demonstrasi :<br />
1. Sediakan alat-alat yang diperlukan<br />
2. Tulislah sebelumnya garis besar demonstrasi itu di papan tulis agar anak lebih mudah mengikuti demonstrasi<br />
3. Usahakan agar setiap anak dapat melihat demonstrasi dan mendengar penjelasan<br />
Melaksanakan demonstrasi :<br />
1. Ciptakan suasana yang baik.jelaskan tujuan demonstrasi dan bangkitkan minat anak<br />
2. Usahakan agar demonstrasi itu sederhana dan hanya mengenai pokok-pokok nya saja yang mudah di pahami anak<br />
3. Jangan melakukan demonstrasi dengan terburu-buru.selingi dengan pertanyaan-pertannyaan<br />
4. Beberapa menit terakhir buatlah kesimpulan atau ihtisar jalannya demonstrasi<br />
5. Sesudah semua siswa jelas, maka berikan kesempatan kepada beberapa siswa untuk mencoba melaksanakan demonstrasi sendiri<br />
9. Metode Penggunan Nara Sumber<br />
Nara sumber adalah orang-orang bukan guru tetapi dimanfaatkan sebagai pengajaran karena keterampilan atau keahlian nya. Bantuan nara sumber di butuhkan apabila tenaga guru sangat terbatas atau tidak ada sama sekali. Dengan demikian fungsi nara sumber merupakan sumber ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu yang tidak ada dilembaga pendidikan tersebut.<br />
<br />
<br />
PRINSIP-PRINSIP MENGAJAR<br />
Prinsip mengajar adalah suatu aturan yang berlaku bagi seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Prinsip-prinsip tersebut disebut dengan Asas-asas Didaktik. Dengan demikian prinsip-prinsip tersebut harus diketahui dan dipahami serta dapat diterapkan oleh guru atau calon guru agar dapat mengajar dengan baik dan berhasil sesuai dengan tujuan.<br />
Adapun prinsip-prinsip mengajar tersebut antara lain :<br />
1. Asas perhatian, yaitu asas membangkitkan perhatian murid-murid.<br />
2. Asas aktivitas, yaitu asas mengaktifkan jasmani dan mental murid-murid.<br />
3. Asas apersepsi, yaitu asas menghubungkan dengan apa yang telah dikenal anak.<br />
4. Asas peragaan, yaitu asas memperagakan pengajaran.<br />
5. Asas ulangan, yaitu mengadakan ulangan-ulangan yang teratur.<br />
6. Asas korelasi, yaitu mengadakan hubungan dengan pelajaran lainnya.<br />
7. Asas konsentrasi, yaitu asas pemusatan pada pokok masalah.<br />
8. Asas individualisasi, yaitu asas penyesuaian pada sifat dan bakat masing-masing anak.<br />
9. Asas sosialisasi, yaitu menciptakan / menyesuaikan dengan lingkungan.<br />
10. Asas evaluasi, yaitu mengadakan penilaian yang tepat dan teliti.<br />
<br />
<br />
<br />
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN<br />
Dalam kehidupan manusia ada dua proses perubahan yang berlangsung secara kontinu, yaitu “pertumbuhan” dan “perkembangan”. Kedua proses ini berlangsung secara interdependensi, artinya saling bergantung satu sama lain. Kedua proses sini tidak bisa dipisahkan secara pilah berdisri sendiri, akan tetapi dapat dibedakan untuk memperjelas penggunaan kedua istilah tersebut.<br />
Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis. Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik. Hasil pertumbuhan antara lain berwujud bertambahnya ukuran-ukuran kuantitatif badan anak, seperti panjang, berat dan kekuatannya, tentang sistem jaringan syaraf dan perubahan-perubahan struktur jasmanai lainnya. Dengan demikian pertumbuhan dapat difahami sebagai proses perubahan dan proses pematangan fisik.<br />
Perkembangan adalah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi organ-organ jasmaniah, bukan organ-organ itu sendiri. Jadi penekanan arti perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang disandang oleh organ-organ fisik. Perkembangan merupakan proses perubahan sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungan.<br />
Menurut Nagel (1975) perkembangan merupakan pengertian dimana terdapat struktur yang terorganisasi dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu, oleh karen tiu bilamana terjadi perubahan struktur baik dalam organisasi maupun dalam bentuk, akan mengakibatkan perubahan fungsi.<br />
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN<br />
Secara garis besar, pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu :<br />
<br />
1. Aliran Nativisme<br />
Menurut aliran ini bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (natus = lahir). Anak sejak lahir membawa sifat-sifat dan dasar-dasar tertentu yang dinamakan sifat pembawaan. Para ahli yang mengikuti paham ini biasanya menunjukkan berbagai kesamaan/kemiripan antara orangtua dengan anak-anaknya. Misalnya kalau ayahnya ahli musik maka anaknya juga akan menjadi ahli musik, ayahnya seorang ahli fisika maka anaknya juga akan menjadi ahli fisika. Keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh orangtua juga dimiliki oleh anaknya.<br />
Sifat pembawaan tersebut mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan individu. Pendidikan dan lingkungan hampir-hampir tidak ada pengaruhnya terhadap perkembangan anak. Akibatnya para ahli pengikut aliran ini berpandangan pesimistis terhadap pengaruh pendidikan. Tokoh aliran ini ialah Schopenhauer dan Lombroso.<br />
<br />
2. Aliran Empirisme<br />
Menurut aliran ini bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor dari luar/lingkungan. Sedangkan pembawaan tidak memiliki peranan sama sekali. Tokoh aliran ini ialah John Locke (1632 – 1704) yang terkenal dengan teori “Tabularasa”. Ia mengatakan bahwa anak lahir seperti kertas putih yang belum mendapat coretan sedikitpun, akan dijadikan apa kertas itu terserah kepada yang menulisnya.<br />
Aliran empirisme menimbulkan optimisme dalam bidang pendidikan. Segala sesuatu yang terdapat pada jiwa manusia dapat diubah oleh pendidikan. Watak, sikap dan tingkah laku manusia dapat diubah oleh pendidikan. Pendidikan dipandang mempunyai pengaruh yang tidak terbatas.<br />
Keburukan yang timbul dari pandangan ini adalah anak tidak diperlakukan sebagai anak, tetapi diperlakukan semata-mata menurut keinginan orang dewasa. Pribadi anak sering diabaikan dan kepentingannnya dilalaikan.<br />
<br />
3. Aliran Konvergensi<br />
Menurut aliran ini bahwa manusia dalam perkembangan hidupnya dipengaruhi oleh bakat/pembawaan dan lingkungan atau dasar dan ajar. Manusia lahir telah membawa benih-benih tertentu dan bisa berkembang karena pengaruh lingkungan. Aliran ini dipelopori oleh W. Stern.<br />
Pada umumhnya paham inilah yang sekarang banyak diikuti oleh para ahli pendidikan dan psikologi, walaupun banyak juga kritik yang dilancarkan terhadap paham ini. Salah satu kritik ialah Stern tidak dapat dengan pasti menunjukkan perbandingan kekuatan dua pengaruh itu. <br />
Dengan demikian pendidikan harus mengusahakan agar benih-benih yang baik dapat berkembang secara optimal dan benih-benih yang jelek ditekan sekuat mungkin sehingga tidak dapat berkembang.<br />
PRINSIP-PRINSIP PERKEMBANGAN<br />
Secara garis besar perkembangan itu memiliki prinsip antara lain:<br />
1. Perkembangan itu mengikuti pola-pola tertentu dan berlangsung secara teratur. Dalam hal ini perkembangan mulai dari kepala ke kaki, dan dari pusat ke bagian-bagian.<br />
2. Pertumbuhan dan perkembangan tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi berlangsung berangsur-angsur secara teratur dan terus menerus.<br />
3. Suatu tingkat perkembangan dipengaruhi oleh sifat perkembangan sebelumnya. Terlambatnya suatu tingkat perkembangan, akan menghambat pula perkembangan pada tingkat berikutnya. Sebaliknya sukses dalam suatu tingkat perkembangan, akn sukses pula pada perkembangan berikutnya.<br />
Perkembangan itu antara anak satu berbeda dengan anak yang lain, baik dalam perkembangan masing-masing organ/aspek kejiwaannnya maupun cepat atau lambatnya perkembangan tersebut.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
MENGENAL CARA BELAJAR INDIVIDU (TIPE BELAJAR) <br />
Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya. <br />
Di Indonesia seringkali kita mendengar keluhan dari orangtua yang merasa sudah melakukan berbagai cara untuk membuat anaknya menjadi "pintar". Orangtua berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik. Selain itu anak diikutkan dalam berbagai kursus maupun les privat yang terkadang menyita habis waktu yang seharusnya bisa dipergunakan anak atau remaja untuk bermain atau bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Namun demikian usaha-usaha tersebut seringkali tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, bahkan ada yang justru menimbulkan masalah bagi anak dan remaja. <br />
Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa anak-anak tersebut tidak kunjung-kunjung pintar? Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebabnya adalah ketidaksesuaian cara belajar yang dimiliki oleh sang anak dengan metode belajar yang diterapkan dalam pendidikan yang dijalaninya termasuk kursus atau les privat. Cara belajar yang dimaksudkan disini adalah kombinasi dari bagaimana individu menyerap, lalu mengatur dan mengelola informasi. <br />
Otak Sebagai Pusat Belajar <br />
Otak manusia adalah kumpulan massa protoplasma yang paling kompleks yang ada di alam semesta. Satu-satunya organ yang dapat mempelajari dirinya sendiri dan jika dirawat dengan baik dalam lingkungan yang menimbulkan rangsangan yang memadai, otak dapat berfungsi secara aktif dan reaktif selama lebih dari seratus tahun. Otak inilah yang menjadi pusat belajar sehingga harus dijaga dengan baik sampai seumur hidup agar terhindar dari kerusakan. <br />
Menurut MacLean, otak manusia memiliki tiga bagian dasar yang seluruhnya dikenal sebagai triune brain/three in one brain (dalam DePorter & Hernacki, 2001). Bagian pertama adalah batang otak, bagian kedua sistem limbik dan yang ketiga adalah neokorteks. <br />
Batang otak memiliki kesamaan struktur dengan otak reptil, bagian otak ini bertanggungjawab atas fungsi-fungsi motorik-sensorik-pengetahuan fisik yang berasal dari panca indra. Perilaku yang dikembangkan bagian ini adalah perilaku untuk mempertahankan hidup, dorongan untuk mempertahankan spesies. <br />
Disekeliling batang otak terdapat sistem limbik yang sangat kompleks dan luas. Sistem ini berada di bagian tengah otak manusia. Fungsinya bersifat emosional dan kognitif yaitu menyimpan perasaan, pengalaman yang menyenangkan, memori dan kemampuan belajar. Selain itu sistem ini mengatur bioritme tubuh seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan darah, jantung, gairah seksual, temperatur, kimia tubuh, metabolisme dan sistem kekebalan. Sistem limbik adalah panel kontrol dalam penggunaan informasi dari indra penglihatan, pendengaran, sensasi tubuh, perabaan, penciuman sebagai input yang kemudian informasi ini disampaikan ke pemikir dalam otak yaitu neokorteks. <br />
Neokorteks terbungkus di sekitar sisi sistem limbik, yang merupkan 80% dari seluruh materi otak. Bagian ini merupakan tempat bersemayamnya pusat kecerdasan manusia. Bagian inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima melalui penglihatan, pendengaran dan sensasi tubuh manusia. Proses yang berasal dari pengaturan ini adalah penalaran, berpikir intelektual, pembuatan keputusan, perilaku normal, bahasa, kendali motorik sadar, dan gagasan non verbal. Dalam neokorteks ini pula kecerdasan yang lebih tinggi berada, diantaranya adalah : kecerdasan linguistik, matematika, spasial/visual, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal, intrapersonal dan intuisi. <br />
Karakteristik Cara Belajar <br />
Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola dan menyampaikan informasi, maka cara belajar individu dapat dibagi dalam 3 (tiga) kategori. Ketiga kategori tersebut adalah cara belajar visual, auditorial dan kinestetik yang ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu. Pengkategorian ini tidak berarti bahwa individu hanya yang memiliki salah satu karakteristik cara belajar tertentu sehingga tidak memiliki karakteristik cara belajar yang lain. Pengkategorian ini hanya merupakan pedoman bahwa individu memiliki salah satu karakteristik yang paling menonjol sehingga jika ia mendapatkan rangsangan yang sesuai dalam belajar maka akan memudahkannya untuk menyerap pelajaran. Dengan kata lain jika sang individu menemukan metode belajar yang sesuai dengan karakteristik cara belajar dirinya maka akan cepat ia menjadi "pintar" sehingga kursus-kursus atau pun les private secara intensif mungkin tidak diperlukan lagi. <br />
Adapun ciri-ciri perilaku individu dengan karakteristik cara belajar seperti disebutkan diatas, menurut DePorter & Hernacki (2001), adalah sebagai berikut: <br />
1. Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Visual <br />
Individu yang memiliki kemampuan belajar visual yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut: <br />
• rapi dan teratur<br />
• berbicara dengan cepat<br />
• mampu membuat rencana jangka pendek dengan baik <br />
• teliti dan rinci <br />
• mementingkan penampilan <br />
• lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar <br />
• mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual <br />
• memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik <br />
• biasanya tidak mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik ketika sedang belajar <br />
• sulit menerima instruksi verbal (oleh karena itu seringkali ia minta instruksi secara tertulis) <br />
• merupakan pembaca yang cepat dan tekun <br />
• lebih suka membaca daripada dibacakan <br />
• dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu, ia selalu bersikap waspada, membutuhkan penjelasan menyeluruh tentang tujuan dan berbagai hal lain yang berkaitan. <br />
• jika sedang berbicara di telpon ia suka membuat coretan-coretan tanpa arti selama berbicara <br />
• lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain <br />
• sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat "ya" atau "tidak' <br />
• lebih suka mendemonstrasikan sesuatu daripada berpidato/berceramah <br />
• lebih tertarik pada bidang seni (lukis, pahat, gambar) daripada musik <br />
• seringkali tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai menuliskan dalam kata-kata <br />
2. Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Auditorial <br />
Individu yang memiliki kemampuan belajar auditorial yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut: <br />
• sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja <br />
• mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik <br />
• lebih senang mendengarkan (dibacakan) daripada membaca <br />
• jika membaca maka lebih senang membaca dengan suara keras <br />
• dapat mengulangi atau menirukan nada, irama dan warna suara <br />
• mengalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat pandai dalam bercerita <br />
• berbicara dalam irama yang terpola dengan baik <br />
• berbicara dengan sangat fasih <br />
• lebih menyukai seni musik dibandingkan seni yang lainnya <br />
• belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada apa yang dilihat <br />
• senang berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara panjang lebar <br />
• mengalami kesulitan jika harus dihadapkan pada tugas-tugas yang berhubungan dengan visualisasi <br />
• lebih pandai mengeja atau mengucapkan kata-kata dengan keras daripada menuliskannya <br />
• lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku humor/komik <br />
3. Karakteristik Perilaku Individu dengan Cara Belajar Kinestetik <br />
Individu yang memiliki kemampuan belajar kinestetik yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut: <br />
• berbicara dengan perlahan <br />
• menanggapi perhatian fisik <br />
• menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka <br />
• berdiri dekat ketika sedang berbicara dengan orang lain <br />
• banyak gerak fisik <br />
• memiliki perkembangan otot yang baik <br />
• belajar melalui praktek langsung atau manipulasi <br />
• menghafalkan sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung <br />
• menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca ketika sedang membaca <br />
• banyak menggunakan bahasa tubuh (non verbal) <br />
• tidak dapat duduk diam di suatu tempat untuk waktu yang lama <br />
• sulit membaca peta kecuali ia memang pernah ke tempat tersebut <br />
• menggunakan kata-kata yang mengandung aksi <br />
• pada umumnya tulisannya jelek <br />
• menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan (secara fisik)<br />
• ingin melakukan segala sesuatu <br />
Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari diri seseorang maka orangtua atau individu yang bersangkutan (yang sudah memiliki pemahaman yang cukup tentang karakter cara belajar dirinya) diharapkan dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih metode belajar yang sesuai. Bagi para remaja yang mengalami kesulitan belajar, cobalah untuk mulai merenungkan dan mengingat-ingat kembali apa karakteristik belajar anda yang paling efektif. Setelah itu cobalah untuk membuat rencana atau persiapan yang merupakan kiat belajar anda sehingga dapat mendukung agar kemampuan tersebut dapat terus dikembangkan. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan memanfaat berbagai media pendidikan seperti tape recorder, video, gambar, dll.<br />
<br />
<br />
TINGKATKAT IQ ANAK MELALUI BERMAIN <br />
Bermain merupakan jendela perkembangan anak. Lewat bermain aspek perkembangan anak bisa ditumbuhkan secara optimal dan maksimal. Membiarkan anak-anak usia pra sekolah bermain telah terbukti mampu meningkatkan perkembangan mental dan kecerdasan anak. <br />
<br />
Hasil penelitian menemukan kaitan antara kecerdasan dan kegiatan bermain anak. Di Bangladesh anak-anak yang kekurangan gizi setelah mengikuti program kegiatan bermain IQ meningkat sampai 9 poin, kata Sally Mc Gregor dari Institute of Child Health at University College London.<br />
<br />
Disimpulkan para periset bahwa untuk meningkatkan kecerdasan anak-anak miskin tersebut bisa dilakukan dengan tindakan intervensi sederhana, yakni mendorong anak-anak untuk banyak bermain di rumah serta tentu saja meningkatkan kadar gizi.<br />
<br />
Masyarakat terlalu memfokuskan mengurangi angka kematian, tetapi mereka sering lupa kalau banyak anak-anak yang terancam tidak bisa mencapai kecerdasan optimal, setelah duduk di kelas 5 atau 6 Sekolah Dasar, kesempatan mereka untuk memperbaikinya sudah tipis, kata McGroger.<br />
<br />
Ditambahkan McGroger, di sebuah daerah Jamaica, anak-anak dari keluarga miskin diberi bantuan mainan yang bisa dimainkan sendiri di rumah, lalu perkembangan mereka dipantau sampai berusia 18 tahun, tingkat IQ mereka lebih baik, kemampuan bacanya baik dan jarang yang drop-out dari sekolah, selain itu kesehatan mental anak-anak itu juga baik, mereka tidak depresi dan lebih percaya diri, katanya lagi.<br />
<br />
Sudah saatnya para orang tua menyadari bahwa kegiatan bermain bukanlah kegiatan tak berguna dan hanya membuang waktu. Bermain selain merupakan hak asasi anak, juga diperlukan untuk meningkatkan kemampuan mereka.<br />
<br />
<br />
oooooooooooooooooal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-35991042638171748772010-11-27T10:15:00.001-08:002010-11-27T10:15:33.362-08:00FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR ANAKOleh : IMAM MUSTAQIM, S.Pd.I., M.Pd.<br />
<br />
Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi meramalkan sukses terhadap prestasi belajar. Namun IQ yang tinggi ternyata tidak menjamin sukses di masyarakat Dalam rangka Seminar Sehari tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar Anak dan Kurikulum Berbasis Komputensi di Sekolah Dasar<br />
1. Pengaruh Pendidikan dan Pembelajaran Unggul.<br />
Seorang secara genetis telah lahir dengan suatu organisme yang disebut inteligensi yang bersumber dari otaknya. Struktur otak telah ditentukan secara genetis, namun berfungsinya otak tersebut menjadi kemampuan umum yang disebut inteligensi, sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya (Semiawan, C, 1997).Pada kala bayi lahir ia telah dimodali 100 - 200 milyar sel otak dan siap memproseskan beberapa trilyun informasi. Cara pengelolaan inteligensi sangat mempengaruhi kualitas manusianya, tetapi sayang perlakuan lingkungan dalam caranya tidak selalu menguntungkan perkembangan inteligensi yang berpangaruh terhadap kepribadian dan kualitas kehidupan manusia. Ternyata dari berbagai penelitian bahwa pada umumnya hanya kurang lebih 5% neuron otak berfungsi penuh (Clark, 1986). <br />
Lingkungan pendidikan dan berbagai pusat pelatihan serta tempat kerja kita kini juga dipengaruhi oleh lingkungan global yang merupakan berbagai pengaruh eksternal dalam dinamika berbagai aspek kehidupan di dunia, Lingkungan global yang mengadung pengertian tereksposnya kita oleh kehidupan komunitas global menuntut adaptasi masyarakat kita pada kondisi global dan pada gilirannya menuntut adaptasi individu untuk bisa bertahan di masyarakat di mana ia hidup.<br />
Interface antar berbagai stimulus lingkungan melalui interaksi untuk mewujudkan aktualitasasi diri individu secara optimal dalam masyarakat di mana ia hidup dan juga aktualisasi daerah pada masyarakat yang lebih luas, nasional maupun global, inilah yang harus menjadi perhatian pengelola ataupun atasan atas perlakuan subjek SDM, dalam hal kita, para guru dalam perlakuannya terhadap peserta didik. Interaksi yang terjadi dalam prilaku anak-anak kita. Namun secara reciprocal (timbal balik) perlakuan yang diterjadikan adalah cermin kehidupan masyarakat di mana ia hidup.<br />
Menghadapi era global di masa yang akan datang, diharapkan kesadaran tentang reformasi pendidikan memenuhi kondisi masa depan yang dipersyaratkan (necessary condition to be fullfield). Kurun waktu milenium ke 3 dari proses kehidupan manusia sudah berjalan, dan abad ke-21 serta abad ke-22 ini bukan saja merupakan abad-abad baru, melainkan juga peradaban baru. Hal ini dikarenakan betapapun mengalami krisis moneter, Indonesia akan terkena juga oleh restrukturisasi global dunia yang sedang berlangsung. Restrukturisasi dunia, yang terutama ditandai oleh berbagai perubahan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan aspek kehidupan lain, mempengaruhi setiap insan manusia, laki, perempuan, anak di negara berkembang maupun di negara maju, tidak terkecuali negara Indonesia, dan terutama berdampak terhadap orientasi pendidikan.<br />
2. Perkembangan dan Pengukuran Otak.<br />
Sebagaimana tadi dikatakan, maka cara penggunaan sistem kompleks dari proses pengelolaan otak ini sebenarnya sangat menentukan inteligensi maupun kepribadian dan kualitas kehidupan yang dialami seorang manusia, serta kualitas manusia itu sendiri. Untuk meningkatkan kecerdasan anak maka produksi sel neuroglial, yaitu sel khusus yang mengelilingi sel neuron yang merupakan unit dasar otak, dapat ditingkatkan melalui berbagai stimulus yang menambah aktivitas antara sel neuron (synaptic activity), dan memungkinkan akselerasi proses berfikir(Thompsn, Berger, dan Berry, 1980 dalam Clark, 1986). Dengan demikian inteligensi manusia dapat ditingkatkan, meskipun dalam batas-batas tipe inteligensinya.<br />
Secara biokimia neuron-neuron tersebut menjadi lebih kaya dengan memungkinkan berkembangnya pola pikir kompleks. Juga banyak digunakan berkembangnya aktivitas "Prefrontal cortex" otak, sehingga terjadi perencanaan masa depan, berfikir berdasarkan pemahaman dan pengalaman intuitif, Prefrontal cortex yang terutama tumbuh pada ketika anak berumur duabelas sampai enambelas tahun mencakup juga kemampuan melihat perubahan pola ekstrapolasi kecendrungan hari ini ke masa depan; regulasi diri serta strategi "biofeedback" dan meditasi; berfikir sistem analisis;yang merupakan aspek-aspek bentuk tertinggi kreativitas serta memiliki kepekaan sosial, emosional maupun rasional (Goodman, 1978, dalam Clark, 1986). Sifat-sifat manusia ini banyak terkait dengan sifat-sifat inisiatif dan dorongan mencapai kemandirian dan keunggulan. <br />
Otak dewasa manusia tidak lebih dari 1,5 kg, namun otak tersebut adalah pusat berfikir, perilaku serta emosi manusia mencerminkan seluruh dirinya (selfhood), kebudayaan, kejiwaan serta bahasa dan ingatannya. Descartes pusat kesadaran orang, ibarat saisnya, sedangkan badan manusia adalah kudanya. Meskipun kemudian ternyata, bahwa perilaku manusia juga dipengaruhi oleh ketidaksadarannya (freud dalam Zohar, 2000:39), kesadaran manusia yang oleh Freud disebut rasionya merupakan kemampuan umum yang mengontrol seluruh perilaku manusia. Berbagai penelitian kemudian membuktikan bahwa kemampuan rasional tersebut biasa diukur dengan IQ (Intelligence Quetient). <br />
Meskipun kini terbukti bahwa orang memiliki lebih dari satu inteligensi menurut teori Gardner ada 8 (teori Multiple Intelligence), ukuran yang disebut IQ mengukur kemampuan umum yang bersifat tunggal masih sering dipakai untuk menandai kemampuan intelektual dan prestasi belajar. Ternyata bahwa otak tersebut masih menyimpan berbagai kemungkinan lain. "Celebral Cortex" otak dibagi dalam dua belahan otak yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut "corpus callosum". Belahan otak kanan menguasai belahan kiri badan, sedangkan belahan otak kiri menguasai belahan kanan badan. Respons, tugas dan fungsi belahan kiri dan kanan berbeda dalam menghayati berbagai pengalaman belajar, sebagaimana seorang mengalami realitas secara berbeda-beda dan unik. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk merespons terhadap hal yang sifatnya linier, logis, teratur, sedangkan yang kanan untuk mengembangkan kreativitasnya, mengamati keseluruhan secara holistik dan mengembangkan imaginasinya. Dengan demikian ada dua kemungkinan cara berfikir, yaitu cara berfikir logis, linier yang menuntut satu jawaban yang benar dan berfikir imaginatif multidimensional yang memungkinkan lebih dari satu jawaban.<br />
<br />
3. Kecerdasan (Inteligensi) Emosional.<br />
<br />
Prestasi belajar di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan umum kita yang diukur oleh IQ, IQ yang tinggi meramalkan suskse terhadap prestasi belajar. Namun IQ yang tinggi ternyata tidak menjamin sukses di masyarakat (Segal, 1997:14). Pada permulaan tahun sembilan puluhan berbagai penelitian menunjukkan (Segal, 1997:5) bahwa diinspirasi oleh berbagai psikolog humanis seperti Maslow, Rollo May, Carl Rogers yang sangat memperhatikan segi-segi subyektif (perasaan) dalam perkembangan psikolog, eksplorasi tentang emosi telah menunjuk pada sumber-sumber emosi (Segal, 1997, Goleman, 1995).<br />
Ternyata bahwa emosi selain mengandung persaan yang dihayati seseorang, juga mengandung kemampuan mengetahui (Menyadari) tentang perasaan yang dihayati dan kemampuan bertindak terhadap perasaan itu. Bahkan pada hakekatnya emosi itu adalah impuls untuk bertindak.<br />
Goleman menyatakan bahwa selain rational mind, seorang memiliki an emotional main yang masing-masing diukur oleh IQ dan EQ dan bersumber masing-masing dari head dan heart. kedua kehidupan mental tersebut, meskipun berfungsi dengan cara-caranya sendiri, bekerjasama secara sinergis dan harmonis.<br />
• Homo sapiens yang memiliki neocortex(otak depan) yang merupakan sumber rasio, yaitu otak depan, terdiri dari pusat-pusat yang memahami dan mendudukan apa yang diamati oleh alat dria kita. Dalam evolusi tentang pengtahuan kemampuan organisma, ternyata bahwa penanjakan kehidupan manusia dalam peradaban dan kebudayaan adalah kerja neocortex yang ternyata juga menjadi sumber kemampuan seseorang untuk perencanaan dan strategi jangka panjang dalam mempertahankan hidup (Goleman, 1995:11).<br />
• Perkembangan ini menjadi otak memiliki nuansa terhadap kehidupan emosional seseorang. Struktur lymbic (sumsum tulang belakang) menghidupkan perasaan tentang kesenangan dan keinginan seksual, yaitu emosi yang mewujudkan sexual passion. Namun keterkaitan sistem lymbic tersebut dengan neocortex menumbuhkan hubungan dasar ibu-anak, yang menjadi landasan untuk unit keluarga dan commitment jangka panjang untuk membesarkan anak (spesi yang tidak dimiliki organisma ini seperti binatang melata, tidak memiliki kasih sayang) dan sering membunuh dan /atau menghancurkan anaknya sendiri. Masa anak dan masa belajar panjang (long childhood) bersumber dari saling keterhubungan neuron-neuron dalam 'pabrik' otak ini.<br />
• Amygdala adalah neuron yang mewujudkan struktur keterhubungan di atas brainstem dekat dasar dari limbic ring(cincin sumsum tulang belakang antara emosi dan rasio). Amygdala adalah tempat penyimpanan memori emosi. Joseph Le Doux, neoroscientist dari Center for Neural Scince New York University menemukan peran penting amygdala dalam otak emosional. Amygdala menerima input langsung melalui alat dria dan memberikan signal kepada neocortex, namun juga dapat memberikan respons sebelum tercatat di neocortex. Jadi ada kemungkinan respons manusia sebelum ia berfikir. <br />
<br />
<br />
ooooooooooooooal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-25907421051032068622010-11-27T10:13:00.000-08:002010-11-27T10:13:09.860-08:00PENGERTIAN BELAJAROleh : IMAM MUSTAQIM, S.Pd.I.,M.Pd<br />
<br />
Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas, apa sesungguhnya belajar itu ?<br />
Di bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli :<br />
• Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.<br />
• Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.<br />
• Crow & Crow dan (1958) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.<br />
• Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”<br />
• Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman”.<br />
• Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”<br />
Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :<br />
1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional). <br />
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.<br />
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).<br />
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.<br />
3. Perubahan yang fungsional.<br />
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.<br />
4. Perubahan yang bersifat positif.<br />
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.<br />
5. Perubahan yang bersifat aktif.<br />
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.<br />
6. Perubahan yang bersifat pemanen.<br />
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.<br />
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.<br />
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.<br />
8. Perubahan perilaku secara keseluruhan. <br />
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.<br />
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :<br />
1. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.<br />
2. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.<br />
3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.<br />
4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.<br />
5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.<br />
Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :<br />
1. Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.<br />
2. Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.<br />
3. Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.<br />
4. Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.<br />
5. Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).<br />
6. Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.<br />
7. Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).<br />
8. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.<br />
9. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.<br />
Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspek-aspeknya. <br />
<br />
ooooooooooal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-31816967987414436352010-11-22T20:31:00.000-08:002010-11-22T20:31:48.770-08:00PENDIDIKAN USIA DINI YANG BAIK LANDASAN KEBERHASILAN PENDIDIKAN MASA DEPANoleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd<br />
<br />
Landasan Yuridis Pendidikan Anak Usia Dini<br />
<br />
Perhatian pemerintah terhadap pendidikan secara umum tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu “… mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, MPR-RI telah mengamandemen Pasal 31 UUD 1945 yang menghasilkan Pasal 31 Ayat (1) sampai Ayat (5) sebagai berikut:<br />
<br />
1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan<br />
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.<br />
3. Pemerintah menyelenggarakan dan mengusahakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.<br />
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional<br />
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat.<br />
Pasal 31 tersebut, kemudian dijabarkan secara progresif dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas) yang di dalamnya jelas dan tegas mengamanatkan program wajib belajar minimal sampai ke jenjang pendidikan dasar. Setiap warga negara wajib mendapatkan pendidikan yang bermutu, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara sesuai dengan bakat, minat, tingkat kecerdasan dan kemampuannya tanpa diskriminasi, minimal setara dengan Standar Nasional Pendidikan.<br />
UU No. 20 tahun 2003 pada Bab VII tentang Bahasa Pengantar Pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa ”Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik”. Terkait dengan hal ini, BPK PENABUR Jakarta mengambil pelaksanaan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar mulai pada satuan pendidikan taman kanak-kanak.<br />
Standar Nasional Pendidikan<br />
Untuk menjamin tercapainya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara secara nasional perlu dibuat standar nasional pendidikan yang harus dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penanggung jawab dan satuan pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan agar dapat menghasilkan ouput/lulusan yang berkompeten sesuai dengan Pasal 35 UU Sisdiknas yang menyatakan :<br />
1. Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.<br />
<br />
2. Standar Nasional Pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan.<br />
<br />
3. Pengembangan Standar Nasional Pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standarisasi, penjamin, dan pengendali mutu pendidikan.<br />
<br />
Standar nasional pendidikan antara lain ditindaklanjuti dengan pengembangan kurikulum dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. Sementara, PP No. 19 tahun 2005 tersebut tidak mengatur mengenai standar nasional pendidikan untuk jenjang pendidikan TK/RA. Namun demikian pengembangan kurikulum TK/RA tetap diperbolehkan asalkan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.<br />
Dalam Penjelasan atas UU No. 20 tahun 2003 bahwa TK menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Hal ini dipertegas dengan RPP tentang Pendidikan Anak Usia Dini; Bagian kesatu tentang Kurikulum Pasal 15 ayat (3), (4) dan (6); yang intinya memberikan dukungan terhadap pengembangan kurikulum yang salah satu bentuknya adalah penggunaan bahasa asing dalam pembelajaran anak usia dini. Sementara itu, tentang tahap perkembangan peserta didik khususnya peserta didik usia dini diulas dalam landasan teoritis pendidikan anak usia dini.<br />
Dalam Garis-garis Besar Program Kegiatan Belajar telah diatur bahwa ada 26 butir kemampuan bahasa yang diharapkan dapat dicapai, antara lain (Soegeng Santoso, 2000):<br />
1. Menirukan kembali urutan angka, urutan kata<br />
2. Mengikuti beberapa perintah sekaligus<br />
3. Berbicara lancer<br />
4. Bercerita tentang kejadian di sekitarnya secara sederhana<br />
5. Menjawab pertanyaan<br />
6. Menceritakan kembali<br />
7. Memberikan nama benda, binatang, tanaman, bentuk, ciri atau sifat tertentu<br />
8. Menceritakan gambar yang disediakan<br />
9. Mengenal kebalikan; misalnya siang dan malam<br />
Keberhasilan anak usia dini merupakan landasan bagi keberhasilan pendidikan pada jenjang berikutnya. Usia dini merupakan "usia emas" bagi seseorang, artinya bila seseorang pada masa itu mendapat pendidikan yang tepat, maka ia memperoleh kesiapan belajar yang baik yang merupakan salah satu kunci utama bagi keberhasilan belajarnya pada jenjang berikutnya. <br />
Kesadaran akan pentingnya PAUD cukup tinggi di negara maju, 10 tahun yang lalu, dansedangkan di Indonesia baru berlangsung pada hingga pada saat ini belum banyak disadari masyarakat begitu juga praktisi pendidikan <br />
Menurut Martin Luther tujuan utama sekolah adalah mengajarkan agama, dan keluarga merupakan institusi penting dalam pendidikan anak. <br />
Pemikiran Martin Luther ini sejalan dengan tujuan madrasah (sekolah Islam) yaitu pendidikan agama Islam, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian integral dari agama Islam. Dengan demikian pendidikan di madrasah akan menghasilkan ulul-albaab (QS. 3 : 190 - 191), yaitu penguasaan iptek yang dapat digunakan dalam kehidupan dengan ahlak mulia, berdampak rahmatan lil alaminn, yang dijanjikan Allah akan ditingkatkan derajatnya (QS. 58 : 11). Jean - Jacques Rousseau (1712 - 1718) <br />
Bukunya Du de 'education, menggambarkan cara pendidikan anak sejak lahir hingga remaja. <br />
Menurut Rousseau: "Tuhan menciptakan segalanya dengan baik; adanya campur tangan manusia menjadikannya jahat (God make every things good; man meddles with them and they become evil). <br />
Rousseau menyarankan "kembali ke alam" atau "back to nature", dan pendekatan yang bersifat alamiah dalam pendidikan anak yaitu : "naturalisme". Naturalisme berarti, pendidikan akan diperoleh dari alam, manusia atau benda, bersifat alamiah sehingga memacu berkembangnya mutu, seperti kebahagiaan, sportivitas dan rasa ingin tahu. Dalam prakteknya naturalisme menolak pakaian seragam (dress code), standarisasi keterampilan dasar yang minimum, dan sangat mendorong kebebasan anak dalam belajar. <br />
Anak dibekali potensi bawaan (QS. 16 : 78) yaitu potensi indrawi (psikomotorik), IQ, EQ dan SQ. Semua manusia perlu mensyukuri pembekalan dari Allah SWT, dengan mengaktualisasikannya menjadi kompetensi. <br />
Johan Heindrich Pestalozzi (1746 - 1827) <br />
Dalam bukunya "Emile" ia sangat terkesan dengan "back to nature". Ia mengintegrasikan kehidupan rumah, pendidikan vokasional dan pendidikan baca tulis. Pestalozzi yakin segala bentuk pendidikan adalah melalui panca indra dan melalui pengalamannya potensi untuk dikembangkan. Belajar yang terbaik adalah mengenal beberapa konsep dengan panca indra. Ibu adalah seorang pahlawan dalam dunia pendidikan, yang dilakukannya sejak awal kehidupan anak. <br />
. Frederich Wilhelm Froebel (1782 - 1852) <br />
Froebel menciptakan "Kindergarten" atau taman kanak-kanak, oleh karena itu ia dijadikan sebagai "bapak PAUD". Pandangan Froebel terhadap pendidikan dikaitkan dengan hubungan individu, Tuhan dan alam. Ia menggunakan taman atau kebun milik anak di Blankenburg Jerman, sebagai milik anak. Bermain merupakan metode pendidikan anak dalam "meniru" kehidupan orang dewasa dengan wajar. Kurikulum PAUD dari Froebel meliputi : <br />
• Seni dan keahlian dalam konstruksi, melalui permainan lilin dan tanah liat, balok-balok kayu, menggunting kertas, menganyam, melipat kertas, meronce dengan benang, menggambar dan menyulam. <br />
• Menyanyi dan kegiatan permainan. <br />
• Bahasa dan Aritmatika. <br />
<br />
Menurut Froebel guru bertanggung jawab dalam membimbing, mengarahkan agar anak menjadi kreatif, dengan kurikulum terencana dan sistematis. Guru adalah manajer kelas yang bertanggung jawab dalam merencanakan, mengorganisasikan, memotivasi, membimbing, mengawasi dan mengevaluasi proses ataupun hasil belajar. Tanpa program yang sistematis penyelenggaraan PAUD bisa membahayakan anak. . John Dewey (1859 - 1952) <br />
John Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru peminatan. <br />
<br />
Bandingkan pendapat Dewey tsb dengan sabda Rasulullah SAW "didiklah anak-anakmu untuk jamannya yang bukan jamanmu" <br />
Maria Montessori (1870 - 1952) <br />
Sebagai seorang dokter dan antropolog wanita Italy yang pertama, ia berminat terhadap pendidikan anak terbelakang, yang ternyata metodenya dapat digunakan pada anak normal. <br />
Tahun 1907 ia mendirikan sekolah "Dei Bambini" atau rumah anak di daerah kumuh di Roma. Metode Montessori adalah pengembangan kecakapan indrawi untuk menguasai iptek untuk diorganisasikan dalam pikirannya, dengan menggunakan peralatan yang didesain khusus. Belajar membaca dan menulis diajarkan bersamaan. Montessori berpendapat anak usia 2 - 6 tahun paling cepat untuk belajar membaca dan menulis. Kritik terhadap Montessori adalah karena kurang menekankan pada perkembangan bahasa dan sosial, kreatifitas, musik dan seni. <br />
Ijtihad dengan hasil yang benar bernilai dua, apabila hasilnya salah nilainya satu, sedangkan taklid atau mengikuti bernilai nol, jadi berfikir kreatif itu dikehendaki oleh Allah SWT. <br />
<br />
<br />
McMiller Bersaudara <br />
<br />
Rachel dan Margaret mendirikan sekolah Nursery yang pertama di London pada tahun 1911. sekolah ini mementingkan kreatifitas dan bermain termasuk seni. Jean Piaget (1896 – 1980<br />
Ilmuwan Swiss ini tertarik pada ilmu pengetahuan proses belajar dan berfikir, meskipun ia sendiri ahli dalam biologi. Menurut Piaget ada tiga cara anak mengetahui sesuatu :<br />
1. Melalui interaksi sosial.<br />
2. Melalui interaksi dengan lingkungan dan pengetahuan fisik, <br />
3. Logica Mathematical, melalui konstruksi mental. <br />
<br />
Benjamin Bloom Bloom (1964) mengamati : <br />
1. Kecerdasan anak dalam rentang waktu tertentu, yang menghasilkan taksanomi Bloom. <br />
2. Kecerdasan anak pada usia 15 tahun merupakan hasil PAUD.<br />
3. Pendapat ini dukung oleh Hunt yang menyatakan bahwa PAUD memberi dampak pada pengembangan kecerdasan anak selanjutnya. <br />
<br />
David Werkart :<br />
<br />
Metode pengajarannya menggunakan prinsip-prinsip :<br />
1. Memberikan lingkungan yang nyaman,<br />
2. Memberikan dukungan terhadap tingkah laku dan bahasa anak,<br />
3. Membantu anak dalam menentukan pilihan dan keputusan,<br />
4. Membantu anak dalam menyelesaikan masalahnya sendiri dengan melakukannya sendiri.<br />
<br />
Werkart mendirikan lembaga High Scope Education (1989).<br />
<br />
Layanan bagi Anak Usia Dini <br />
<br />
Anak usia dini meliputi usia 0 - 6 tahun. Pada usia 0 - 2 tahun pertumbuhan fisik jasmaniah dan pertumbuhan otak dilakukan melalui yandu (pelayanan terpadu) antara Depertemen Kesehatan, Depsosial, BKKBN dan Depdiknas. Dalam program PAUD, diharapkan Depdiknas menjadi "Leading Sector". <br />
Pada usia 2 - 4 tahun layanan dilakukan melalui penitipan anak (TPA) atau Play Group. Pada usia 4 - 6 tahun layanan dilakukan melalui Taman Kanak-kanak (TK - A dan TK - B). <br />
Perkembangan Kepribadian dan Kognitif Anak Usia Dini . Teori perkembangan Psikososial Erikson <br />
<br />
Ada empat tingkat perkembangan anak menurut Erikson, yaitu : <br />
Pertama, usia anak 0 - 1 tahun yaitu trust Vs mistrust. Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus dalam pemenuhan kebutuhan dasar bayi menimbulkan "trust" pada bayi terhadap lingkungannya. Apabila sebaliknya akan menimbulkan "mistrust" yaitu kecemasan dan kecurigaan terhadap lingkungan. <br />
Kedua, usia 2 - 3 tahun, yaitu autonomy Vs shame and doubt. Pengasuhan melalui dorongan untuk melakukan apa yang diinginkan anak, dan sesuai dengan waktu dan caranya sendiri dengan bimbingan orang tua/guru yang bijaksana, maka anak akan mengembangkan kesadaran autonomy. Sebaliknya apabila guru tidak sabar, banyak melarang anak, menimbulkan sikap ragu-ragu pada anak. Jangan membuat anak merasa malu. <br />
Ketiga, usia 4 - 5 tahun, yaitu Inisiative Vs Guilt, yaitu pengasuhan dengan memberi dorongan untuk bereksperimen dengan bebas dalam lingkungannya. Guru dan orang tua tidak menjawab langsung pertanyaan anak (ingat metode Chaining nya Gagne), maka mendorong anak untuk berinisiatif sebaliknya, bila anak selalu dihalangi, pertanyakan anak disepelekan, maka anak akan selalu merasa bersalah. <br />
<br />
Keempat, usia 6 - 11 tahun, yaitu Industry Vs Inferiority, bila anak dianggap sebagai "anak kecil" baik oleh orang tua, guru maupun lingkungannya, maka akan berkembang rasa rendah diri, dampaknya anak kurang suka melakukan tugas-tugas yang bersifat intelektual, dan kurang percaya diri. <br />
Teori perkembangan Konitif Piaget <br />
<br />
Ada empat tahapan perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu : <br />
1. Pertama, tahap sensori motorik (usia 0 - 2 tahun) anak mendapatkan pengalaman dari tubuh dan indranya. <br />
<br />
2. Kedua, tahap praoperasional. Anak berusaha menguasai simbol-simbol, (kata-kata) dan mampu mengungkapkan pengalamannya, meskipun tidak logis (pra-logis). Pada saat ini anak bersifat ego centris, melihat sesuatu dari dirinya (perception centration), yaitu melihat sesuatu dari satu ciri, sedangkan ciri lainnya diabaikan. <br />
3. Ketiga, tahap operasional kongkrit. Pada tahap ini anak memahami dan berfikir yang bersifat kongkrit belum abstrak. <br />
4. Keempat, tahap operasional formal. Pada tahap ini anak mampu berfikir abstrak. <br />
<br />
Kurikulum PAUD <br />
Kurikulum TK dikembangkan berdasarkan integrated curriculum (kurikulum terintegrasi) dengan pendekatan tematik. Kurikulum diorganisasikan melalui suatu topik atau tema. Katz dan Chard (1989) yang dikutip oleh Soemiarti Patmonodewo (2003) menetapkan kriteria untuk memilih tema yaitu: ada keterkaitannya, kesempatan untuk menerapkan keterampilan, kemungkinan adanya sumber, minat guru. <br />
<br />
<br />
Bahan-bahan untuk mengembangkan tema antara lain :<br />
a. Lingkungan anak seperti : rumah, keluarga, sekolah, permainan, diri sendiri. <br />
b. Lingkungan : kebun, alat transportasi, pasar, toko, museum.<br />
c. Peristiwa : 17 Agustus, hari Ibu, upacara perkawinan. <br />
d. Tempat : Jalan raya, sungai, tempat bersejarah<br />
e. Waktu : jam, kalender, dan sebagainya.<br />
<br />
<br />
Program PAUD <br />
<br />
Day Care atau TPA (Taman Penitipan Anak), yang berfungsi sebagai pelengkap pengasuhan orang tua. TPA dirancang khusus dengan program dan sarananya, untuk membantu pengasuhan anak selama ibunya bekerja. Pengasuhan dilakukan dalam bentuk peningkatan gizi, pengembangan intelektual, emosional dan sosial anak. TPA di Indonesia sudah berkembang dalam bentuk: TPA perkantoran, TPA perumahan, TPA industri, TPA perkebunan, TPA pasar. Sekarang banyak bermunculan TPA keluarga, yang diselenggarakan di rumah-rumah<br />
Pusat pengembangan anak yang terintegrasi yang memberikan pelayanan perbaikan gizi dan kesehatan dengan tujuan peningkatan kualitas hidup anak. Di Indonesia dikenal dengan nama Posyandu (pos pelayanan terpadu) yang memberikan pelayanan makanan bergizi, imunisasi, penimbangan berat badan anak, layanan kesehatan oleh dokter, pemeriksaan kesehatan keluarga berencana. Pelatih dan pelaksana semuanya relawan yang sebelumnya mendapat pelatihan. <br />
<br />
<br />
Pendidikan Ibu dan Anak <br />
<br />
Yang menjadi tujuan adalah pendidikan ibu yang memiliki balita, dalam hal pendidikan dan pengasuhan anak. Pola pendidikan seperti ini berkembang menjadi HIPPY (Home Instruction Programme for Preschool Youngster) di Israel Pendidikan orang dewasa dengan pendekatan kelompok juga dilaksanakan oleh Indonesia, Cina, Jamaica, dan Kolumbia. <br />
Di Indonesia dikenal dengan program Bina Keluarga Balita, yang dikoordinasikan oleh Meneg Urusan Peranan Wanita dan BKKBN dengan bantuan UNICEF, yang dilaksanakan sejak 1980. <br />
Program Melalui Media <br />
Media yang digunakan bisa media cetak, TV, Radio, dan Internet. Tahun 1980 Venezuela program dengan media dikenal sebagai "Project to Familia", dengan tujuan untuk meningkatkan kecerdasan anak sejak lahir hingga usia 6 tahun, yang diberikan kepada Ibu. Program melalui TV saat ini bisa mengangkat jauh ke pelosok desa. <br />
Program "Dari Anak Untuk Anak" <br />
Pengasuhan adik oleh kakaknya terjadi secara spontan. Kakaknya diajarkan tentang pentingnya vaksinasi, gizi, dab bagaimana mendorong adik untuk berbicara, mengajak bermain, dan menyuapi adik, yang kemudian dipraktekkan dirumah. Pola ini punya beberapa keuntungan antara lain yaitu : <br />
a. Si Kakak, telah mendapatkan keterampilan untuk menjadi orang tua dengan pola pengasuhan anak yang baik. <br />
b. Si Kakak ini bisa menularkan keterampilannya kepada teman sebayanya. <br />
c. Keterampilan si kakak tadi dapat diterapkan dilingkungannya. <br />
<br />
Program ini dilakukan di sekolah formal dengan bekerja sama dengan pusat kesehatan, BKKBN, Departemen sosial dan pramuka. Program ini untuk pertama kalinya dilakukan di London. <br />
"Head Start" di Amerika <br />
Tujuan "Head Start" adalah untuk memerangi kemiskinan, dengan cara membantu anak-anak untuk mempersiapkan mereka memasuki sekolah. Head Start memberikan sarana pendidikan, sosial, kesehatan, gigi, gizi dan kesehatan mental anak-anak yang berasal dari keluarga miskin<br />
<br />
Taman Kanak-kanak atau Kindergarten <br />
<br />
TK merupakan buah fikiran Froebel dari Jerman, melalui konsep belajar melalui bermain yang berdasarkan minat anak, dimana anak sebagai pusat (child centered). Pola belajar sebelumnya adalah teacher centered seperti yang dilaksanakan di Amerika dengan menitikberatkan pada mata pelajaran. <br />
<br />
The Nebraska Department of Education di Amerika memberikan saran tentang bentuk TK yang baik yaitu : <br />
<br />
- Ada kerjasama sekolah dan orang tua dalam memberi pengalaman belajar bagi anak. <br />
<br />
- Pengalaman anak hendaknya dirancang untuk terjadi exploration and discovery, tidak hanya duduk dengan kertas diatas meja. <br />
<br />
- Anak belajar melalui alat permainan. <br />
<br />
- Anak belajar menyukai buku dan bahasa melalui kegiatan bercerita dengan bahasanya sendiri. <br />
<br />
- Anak melakukan kegiatan sehari-hari melatih motorik kasar dan halus, dengan berlari, melompat, melambung bola, menjahit, kartu, bermain dengan lilin, <br />
<br />
- Anak berlatih mengembangkan logika matematika, dengan bermain pasir, unit balok, alat bantu hitung, . <br />
<br />
- Anak berlatih mengembangkan rasa ingin tahu tentang alam, melalui pengamatan percobaan dan menarik kesimpulan. <br />
<br />
- Anak mengenal berbagai irama musik dan alatnya. <br />
<br />
- Anak berlatih menyukai seni. <br />
<br />
Semua kegiatan TK dirancang untuk mengembangkan self image yang positif, serta sikap baik pada teman dan sekolah; dengan bermain sebagai media belajar. <br />
<br />
Beberapa Model Penyelenggaraan TK <br />
<br />
Pengasuhan bagi anak-anak dapat dilakukan secara home based atau center based. Ada tiga model center based. <br />
<br />
a) Model Montessori <br />
<br />
Untuk pertama kalinya, sekolah model Montessori didirikan pada tahun 1907 di Breka di Italia, dan beberapa tahun kemudian berkembang di Eropa. <br />
<br />
Beberapa filsafat Montessori dalam belajar yaitu : <br />
<br />
- Absorbent minds (ingatan yang meresap) <br />
<br />
- The prepared environment (limgkungan yang dipersiapkan). <br />
<br />
- Sensitive period (periode sensitive<br />
<br />
Alat-alat yang digunakan dalam pendidikan model Montessori terbagi dalam empat kelompok, yaitu: <br />
<br />
- Alat pengembangan keterampilan, untuk menumbuhkan disiplin diri, kemandirian, konsentrasi dan kepercayaan diri. <br />
<br />
- Alat pengembangan fungsi sensoris untuk memperhalus fungsi indra. <br />
<br />
- Alat pengembangan akademis, seperti huruf-huruf yang bisa ditempelkan di papan. <br />
<br />
- Alat pengembangan artistik yang berorientasi pada budaya, agar anak belajar menyukai dan menghargai musik, belajar seni dan keselarasan musik. <br />
<br />
Dalam model Montessori, anak bebas memilih aktifitas, yang berhubungan dengan "auto - education" dimana anak harus mendidik diri sendiri tanpa di dikte guru. <br />
<br />
Secara keseluruhan, menurut American Montessori Society (1984), tujuan pendidikan Montessori adalah : <br />
<br />
- Pengembangan konsentrasi, <br />
<br />
- Keterampilan mengamati, <br />
<br />
- Keselarasan memahami tingkatan dan urutan, <br />
<br />
- Koordinasi kesadaran dalam melakukan persepsi dan keterampilan praktis. <br />
<br />
- Konsep yang bersifat matematis, <br />
<br />
- Keterampilan membaca dan menulis, <br />
<br />
- Keterampilan berbahasa, <br />
<br />
- Terbiasa dengan kesenian yang kreatif, <br />
<br />
- Memahami dunia alam lingkungan, <br />
<br />
- Memahami ilmu sosial, <br />
<br />
- Berpengalaman dalam menyelesaikan masalah <br />
<br />
b) Model Tingkah Laku <br />
<br />
Model ini didasarkan atas teori John B. Watson, E Thorn dan B.F Skinner, yang meyakini bahwa tingkah laku dapat dibentuk dengan "stimulus" dan "respons", dan "operant conditioning". Tingkah laku dikontrol oleh "reward" dan "punishment". Model ini kurang memperhatikan pengembangan fisik dan emosi, karena mereka berpendapat bahwa anak akan memperoleh "Self Esteem" apabila anak berhasil dalam prestasi intelektualnya. <br />
<br />
c) Model Interaksionis <br />
<br />
Model ini didasari oleh teori Piaget, contohnya adalah program "The High Scope"<br />
<br />
yang dikembangkan oleh David Weikart, "Educating the Young Thinker" yang dikembangkan oleh Irvan Siegel dalam "Piaget of Early Education" yang dikembangkan oleh Contance Kamii dan Rheta Devries. <br />
<br />
Menurut Piaget, belajar adalah proses yang didasarkan atas "Intrinsic Motivation". Kemampuan berfikir tumbuh hingga tahapan berfikir abstrak dan logis. <br />
<br />
Tujuan model ini adalah untuk menstimulasi seluruh area perkembangan anak, baik fisik, sosial, emosional maupun perkembangannya kognitif, yang kesemuanya dianggap sama pentingnya. <br />
<br />
Kamii dan Devries (1979) menyatakan bahwa pendidikan harus bertujuan jangka panjang, suatu perkembangan dari seluruh kepribadian, intelektual dan moral. <br />
<br />
Piaget menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan manusia yang mampu membuat sesuatu yang baru, kreatif, berdaya cipta, nalar dengan baik, kritis, dan bukan hanya mengulangi dan meniru sesuatu yang telah terjadi dahulu. <br />
<br />
Bermain Sebagai Proses Belajar <br />
<br />
Bermain merupakan proses pembelajaran di TK, yang berupa bermain bebas, bermain dengan bimbingan dan bermain yang diarahkan. Bentuk-bentuk bermain antara lain bermain sosial, bermain dengan benda dan bermain sosio dramatis. <br />
<br />
Bermain sosial terdiri dari bermain seorang diri (solitary play), bermain dimana anak hanya sebagai penonton (onlooker play), bermain paralel (parallel play), bermain asosiatif (associative play) dan bermain kooperatif (cooperative play). <br />
<br />
Perkembangan Tingkah Laku dan Bermain <br />
<br />
Bayi bermain dalam tingkat sensori motoris, dengan menjelajahi benda dan manusia yang ditemuinya, dan menyelidikinya. Pada akhir usia satu tahun ia mulai bermain dengan Ciluk - Ba. Kemudian ia bermain dengan menggunakan alat, dan pada usia menjelang sekolah ia bermain konstruktif, dengan benda dan beberapa aturan. Anak usia 3 tahun dapat bermain dengan berperan sebagai keluarga. Anak bisa bermain dengan peraturan, pada usia 7 - 12 tahun dan menunjukkan bahwa ia berada pada tahap kongkrit operasional. <br />
<br />
Hubungan Orang Tua dan PAUD <br />
<br />
Orang tua merupakan guru yang pertama bagi anak-anaknya. Apabila ada kerjasama antara orang tua dan anak akan menghasilkan : <br />
<br />
- Peningkatan konsep diri pada orang tua dan anak, <br />
<br />
- Peningkatan motivasi belajar, dan <br />
<br />
- Peningkatan hasil belajar. <br />
<br />
Keterlibatan orang tua, ada tiga kemungkinan, yaitu : <br />
<br />
- Orientasi pada tugas. <br />
<br />
- Orientasi pada prose<br />
<br />
Orientasi pada perkembangan. <br />
<br />
Komunikasi antara sekolah dengan orang tua bisa bersifat komunikasi resmi atau tidak resmi, kunjungan ke rumah, pertemuan orang tua, dan laporan berkala. <br />
<br />
oooooal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-1839114143547909182010-11-22T20:25:00.000-08:002010-11-22T20:25:54.224-08:00MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIKSEBAGAI ALTERNATIVE MENGATASI MASALAH PEMBELAJARAN<br />
<br />
Oleh: Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd<br />
<br />
1. Pengantar<br />
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.<br />
Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.<br />
Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.<br />
Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dengan menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’. <br />
Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.<br />
Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik.<br />
<br />
2. Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik<br />
<br />
a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik<br />
Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike ini disebut teori asosiasi.<br />
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.<br />
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hamper senada dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).<br />
b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme<br />
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.<br />
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.<br />
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. <br />
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman .<br />
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.<br />
<br />
3. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik<br />
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. <br />
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.<br />
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.<br />
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.<br />
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual. <br />
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.<br />
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas.<br />
Pengetahuan berjenjang tersebut dapat digambarkan seperti pada skema berikut:<br />
Secara singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut ini.<br />
Tabel 1 Piagetian and Vygotskyan Constructivism<br />
Piagetian Constructivism Vygotsky Constructivism<br />
Concept constructivism focus on individual cognitive development through co-constructed learning environments with national, decontextualized thinking as the goal of development Vygotsky, in order to understand human development, a multilevel analysis using all four levels of history must be employed: sosiocultural constructivism,<br />
Subject of Study Focus on the development of autonomous cognitive forms within the individual, culminating in rational thought that is decentered from the individual. argued that individual development cannot be understood without reference to the interpersonal and institutional surround which situates the child<br />
Develop-ment of cognitive forms the structure of the mind is the source of our understanding of the world.<br />
the construction of knowledge occurs through interaction in the social world. Thus for Vygotsky the development of cognitive forms occurs by means of the dialectical relationship between the individual and the social context<br />
<br />
Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang dikemukakan oleh Degeng dapat dilihat pada table-tabel berikut.<br />
Table 2<br />
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.<br />
<br />
Konstruktivistik Behavioristik <br />
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.<br />
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan. Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar. <br />
Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Si belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh si belajar. <br />
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistic. Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan. <br />
<br />
Table 3<br />
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang<br />
Penataan Lingkungan Belajar<br />
<br />
<br />
<br />
Konstruktivistik Behavioristik <br />
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan, Keteraturan, kepastian, ketertiban<br />
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna belajar. Si belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.<br />
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.<br />
Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar. Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan.<br />
Control belajar dipegang oleh si belajar. Control belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri si belajar.<br />
<br />
Table 4 Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran<br />
Konstruktivistik Behavioristik <br />
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn) Tujuan belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.<br />
<br />
Tabe 5 pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran <br />
Konstruktivistik Behavioristik <br />
Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.<br />
<br />
Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.<br />
<br />
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.<br />
<br />
Pembelajaran menekankan pada proses. Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.<br />
<br />
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.<br />
<br />
<br />
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.<br />
<br />
Pembelajaran menekankan pada hasil <br />
<br />
Tabe 6 Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi <br />
<br />
Konstruktivistik Behavioristik <br />
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.<br />
<br />
Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar<br />
<br />
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad aketerampilan proses dalam kelompok. Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan ‘paper and pencil test’<br />
<br />
<br />
<br />
Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar telah menyelesaikan tugas belajar.<br />
<br />
Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi individual.<br />
<br />
<br />
4. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik<br />
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:<br />
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview <br />
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.<br />
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.<br />
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.<br />
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.<br />
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.<br />
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.<br />
<br />
5. Penutup <br />
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam pembelajaran yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan invidu, menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan. <br />
Alkitab seringkali menyebutkan berbagai cara Tuhan Yesus mengajar, ada khotbah di bukit, berdialog dengan para ahli taurat di dalam bait Allah pada usia 12 tahun, berjalan bersama dua orang murid ke Emaus, pada peristiwa perempuan yang melacurkan diri dan banyak lagi, semua itu merupakan pembelajaran yang merupakan perwujudan dari pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran yang membuat pebelajarnya membangun maknanya sendiri, bukan mentranfer makna/pengetahuan.<br />
<br />
(Imam Mustaqim, Dosen STKIP Muhammadiyah Pagaralam)al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-49588146942692907132010-11-22T20:15:00.000-08:002010-11-22T20:15:41.810-08:00PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPANOleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd. Guru SMP N 1 Pagaralam <br />
Dosen STKIP Muhammadiyah Pagaralam<br />
<br />
<br />
PENDAHULUAN<br />
<br />
Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas. <br />
<br />
Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya. <br />
<br />
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan. <br />
<br />
Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas? <br />
<br />
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis. <br />
<br />
John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi. <br />
<br />
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik. <br />
<br />
Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan. <br />
<br />
Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah. <br />
<br />
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas. <br />
<br />
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih. <br />
<br />
Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish). <br />
<br />
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik. <br />
<br />
Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan. <br />
<br />
Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit. <br />
<br />
Kedua, <br />
paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini. <br />
<br />
Ketiga, <br />
paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali. <br />
<br />
Keempat, <br />
paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih. <br />
<br />
Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik <br />
<br />
Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri. <br />
<br />
Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat. <br />
<br />
Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya. <br />
<br />
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. <br />
<br />
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan. <br />
<br />
Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat. <br />
<br />
Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja. <br />
<br />
Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang. <br />
<br />
Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh. <br />
<br />
Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah. <br />
<br />
Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang tantangan guru pada era globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan. <br />
<br />
Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.<br />
<br />
<br />
WACANA SEPUTAR PENDIDIKAN<br />
<br />
<br />
1.1. Perbandingan sistem pendidikan tradisional dengan modern <br />
(Kajian Sistem Pendidikan di Negara Jepang dan Amerika) <br />
<br />
Jepang membuat kejutan baru. Kali ini berkaitan dengan sistem dan prestasi di bidang pendidikan. Banyak pengamat pendidikan dan pembangunan di Amerika Serikat melihat bagaimana sistem pendidikan di Jepang telah berhasil mencetak tenaga kerja dengan semangat, motivasi dan watak yang "pas" bagi pembangunan. Sebagai suatu masyarakat yang sepenuhnya mengakui peran pendidikan dalam pembangunan, para ahli di A.S. mulai menengok sistem pendidikan di Jepang, sekaligus mengevaluasi sistem pendidikan di,A.S. sendiri. Maka dibentuklah team Jepang dan A.S. yang bertugas untuk mengevaluasi pertemuan antara Reagan dan Nakasone pada tahun 1983. Pada tanggal 4 Januari tahun 1987, secara serentak di kedua lbu Kota negara diumumkan hasil kerja team tersebut. <br />
<br />
Team Amerika Serikat mengumumkan 128 halaman laporan yang oleh seorang pejabat di kantor pendidikan di Washington disebut sebagai suatu potret sistem pendidikan yang canggih. Dalam laporan tersebut, sebagaimana dikutip oleh Newsweek, 12 Januari 1987, dikemukakan bahwa murid-murid di Jepang diperkirakan mempunyai IQ yang tinggi, buta huruf sudah tidak dikenal lagi. Di samping itu berdasarkan tes yang telah distandardisir secara internasional ternyata murid-murid SMA di Jepang memiliki skore di bidang matematik dan sain lebih tinggi dari pada murid-murid SMA di A.S. Tambahan lagi, penelitian ini mempertebal keyakinan para pengamat bahwa pendidikan di Jepang telah memainkan peran yang penting dan sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi negara pada dua puluh lima tahun terakhir ini.<br />
<br />
A. Antara Menghafal dan Berfikir<br />
<br />
Dimana letak kehebatan sistem pendidikan di Jepang ? Para ahli dan pengamat pendidikan boleh kecewa. Ternyata sistem pendidikan Jepang, kalau dilihat dengan kacamata teori pendidikan barat, bisa dikategorikan sebagai suatu sistem pendidikan tradisional. Pemerintah pusat memegang kontrol pendidikan, termasuk menentukan kurikulum yang berlaku secara nasional baik bagi sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Pengajaran menekankan hafalan dan daya ingat untuk menguasai materi pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran diarahkan agar murid bisa lulus ujian akhir atau test masuk ke sekolah lebih tinggi, tidak mengembangkan daya kritis dan kemandirian murid. Semua murid diperlakukan sama, tidak ada treatment khusus untuk murid yang tertinggal. <br />
<br />
Sekolah menekankan pada diri murid sikap hormat dan patuh kepada guru dan sekolah. Dengan singkat sistem pendidikan Jepang dapat dikatakan suatu sistem pendidikan yang "kaku, seragam dan tiada pilihan bagi anak didik". Di fihak lain, sebanyak 78 halaman laporan team Jepang antara lain menyatakan pujiannya atas fleksibilitas sistem pendidikan Amerika Serikat. Di samping itu, juga disebut dan bahwa meski anak didik di Jepang memiliki prestasi lebih tinggi dari pada prestasi anak Amerika, namun hal itu dicapai dengan pengorbanan yang tidak ringan. Antara lain murid-murid di Jepang tidak bisa "menikmati" enaknya sekolah. <br />
<br />
Sebab dari waktu ke waktu anak didik di Jepang dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, ulangan dan ujian. Hasilnya murid-murid Amerika lebih independent dan innovative dalam berfikir, dan juga sudah barang tentu lebih bahagia dibandingkan dengan anak-anak didik di Jepang. Namun demikian, kuranglah tepat kalau secara tegas ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang menekankan disiplin dan hafalan serta daya ingat sebagaimana yang diterapkan di Jepang lebih hebat dari pada sistem pendidikan yang menekankan kebebasan, kemandirian dan kreatifitas individual sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat. <br />
<br />
Dibalik sistem pendidikan di Jepang yang kaku dan seragam tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, dengan menegakkan disiplin patuh terhadap guru dan sekolah menyebabkan anak didik di Jepang secara riil menggunakan waktu sekolah lebih besar dari pada anak-anak sekolah di Amerika Serikat. Kedua, sistem pendidikan di Jepang telah berhasil melibatkan orang tua anak didik dalam pendidikan anak-anaknya. lbu, khususnya senantiasa memperhatikan, memberikan pengawasan dan bantuan belajar kepada anak-anaknya. Tambahan lagi, lbu-ibu ini terus secara berkesinambungan membuat kontak dengan para guru. Ketiga, di luar sekolah berkembang kursus-kursus yang membantu anak didik untuk mempersiapkan ujian atau mendalami mata pelajaran yang dirasa kurang. Keempat, status guru dihargai dan gaji guru relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan pekerjaan guru mempunyai daya tarik. <br />
<br />
Di fihak lain, pendidikan di Amerika tidaklah sebagaimana digambarkan orang, dimana anak didik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengembangkan kreatifitasnya. Penelitian nasional yang dilakukan oleh Goodlad yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul "A Place called school" ternyata menunjukkan sesuatu yang lain. Antara lain disebutkan ternyata hanya sekitar 5 % dari waktu jam pelajaran yang digunakan untuk berdiskusi. Sebagian besar waktu, sekitar 25 % untuk mendengarkan keterangan guru, sekitar 17 % waktu untuk mencatat dan sisa waktu yang lain untuk praktek, mempersiapkan pekerjaan dan test. Jadi dengan kata lain, sistem pendidikan di Amerika tidak sepenuhnya berjalan sebagaimana dicita-citakan para ahli. <br />
<br />
B. Kiblat Pendidikan <br />
<br />
Membaca laporan kedua team di atas, setidak-tidaknya memberikan nuansa baru. Yakni bahwa sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan falsafah dan budayanya sendiri. Mengambil alih suatu sistem atau gagasan dibidang pendidikan dari bangsa lain harus dikaji penerapannya dengan latar belakang budaya yang ada. Sebagai contoh, sekarang ini dunia pendidikan Indonesia sedang dilanda semangat untuk mengetrapkan sistem pengajaran yang menekankan "proses", dengan metode pengajaran yang disebut "Inquiry Teaching Method". Metode ini sangat ampuh untuk meningkatkan critical thinking anak didik. Tapi dalam praktek metode ini sulit untuk bisa diterapkan di kelas kelas di Indonesia. Mengapa ? Sebab metode ini menuntut adanya suasana yang bebas di kelas dan anak didik memiliki semangat untuk mencari kebenaran dan keberanian untuk mengutarakan gagasannya. Dan hal ini yang belum dimiliki oleh kelas-kelas dinegara kita. Oleh karena itu gagasan menerapkan metode inquiry perlu didahului mengembangkan kondisi-kondisi yang diperlukan. Misalnya dengan mulai menerapkan di tingkat sekolah dasar kelas satu. Atau, malahan sebaliknya, lebih baik memantapkan pelaksanaan pengajaran dengan metode yang sudah dikenal tetapi sebenarnya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang pernah penulis temui pada suatu pertemuan dengan guru-guru sekolah menengah yang menyatakan "Apakah tidak sebaiknya kita mencoba untuk mengembangkan bagaimana cara mengajarkan dengan metode ceramah yang efektif, dari pada menggunakan metode baru yang masih sangat asing ?" Nampaknya, kiblat pendidikan tidak hanya Amerika Serikat, kita perlu berkiblat juga ke Jepang dalam rangka menyusun dan mengembangkan sistem pendidikan yang cocok dengan falsafah dan budaya Indonesia. <br />
<br />
<br />
<br />
PROBLEMATIKA SEPUTAR GURU<br />
<br />
<br />
2.1. Meningkatkan Kualitas Guru <br />
<br />
Setiap kali kita berada pada masa akhir tahun ajaran sekolah perhatian masyarakat akan tertuju kepada betapa rendahnya kualitas pendidikan sekolah menengah yang ditunjukkan dengan rendahnya hasil nilai ebtanas murni (NEM). Rendahnya skor di atas akan senantiasa dikaitkan dengan rendahnya mutu guru dan rendahnya kualitas pendidikan guru. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan sasaran sentral yang dibenahi adalah kualitas guru dan kualitas pendidikan guru. <br />
<br />
Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas guru dan pendidikan guru telah dilaksanakan dengan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan, misalnya diintroduksirnya proyek perintis sekolah pembangunan, pengajaran dengan system modul, pendekatan pengajaran CBSA, tetapi mengapa sampai detik ini usaha-usaha tersebut belum juga menunjukkan hasilnya?<br />
<br />
A. Mengabaikan guru <br />
<br />
Sudah banyak usaha-usaha yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya kualitas guru dan pendidikan guru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Namun patut disayangkan usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas guru dan pendidikan guru tersebut dilaksanakan berdasarkan pandangan dari "luar kalangan guru ataupun luar pendidikan guru". Terlalu banyak kebijaksanaan di bidang pendidikan yang bersifat teknis diambil dengan sama sekali tidak mendengarkan suara guru. Pengambilan keputusan yang menyangkut guru di atas seakan-akan melecehkan guru sebagai seseorang yang memiliki "kepribadian". <br />
<br />
Sebagai contoh yang masih hangat adalah diintroduksirnya pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif dalam proses belajar mengajar. Keyakinan para pengambil kebijaksanaan atas kehebatan CBSA telah mendorong dikeluarkannya penetapan keharusan guru untuk menggunakan pendekatan tersebut dalam proses belajar mengajar. Barangkali keyakinan ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga berdasarkan hasil-hasil penelitian. Namun sayangnya penetitian-penelitian yang menyangkut proses belajar mengajar di kelas selama ini lebih banyak bersifat informatif sehingga jauh dari memadai dikarenakan penelitian tersebut melihat pengajaran pandangan "luar guru". <br />
<br />
Pengambil kebijaksanaan di bidang pendidikan tidak pernah menghayati apa dan bagaimana yang sesungguhnya terjadi di ruang-ruang kelas. Misalnya, dampak jumlah murid yang besar, keberanian murid untuk menyampaikan gagasan rendah, motivasi lebih terarah untuk belajar guna menghadapi tes daripada belajar untuk memahami pelajaran yang disampaikan guru, target materi pelajaran yang begitu berat bagi seorang guru, dan sebagainya. Kalau hal-hal tersebut mendapat perhatian niscaya kebijaksanaan yang berkaitan dengan pendekatan pengajaran bisa lain, paling tidak untuk sementara waktu. <br />
<br />
Patut disimak misalnya pertanyaan yang diajukan oleh guru-guru: "Mengapa kita tidak dilatih saja bagaimana cara mengajar dengan ceramah yang paling tepat dan baik, dari pada diharuskan mengajar dengan CBSA? Seharusnya sesudah bisa melaksanakan pengajaran dengan metode ceramah yang benar baru kita belajar metode yang lain". <br />
<br />
Tersendat-sendatnya pelaksanaan CBSA dewasa ini merupakan bukti bahwa setiap kebijaksanaan di bidang pendidikan, apalagi pengajaran di kelas, yang meninggalkan pandangan guru sebagai orang yang paling tahu keadaan kelas cenderung mengalami kegagalan, sebab "pandangan guru" sangat diperlukan dalam setiap usaha peningkatan kualitas hasil pendidikan. <br />
<br />
B. Mentalitas dan vitalitas <br />
<br />
Ada tiga kegiatan penting yang diperlukan oleh guru untuk bisa meningkatkan kualitasnya sehingga bisa terus menanjak pangkatnya sampai jenjang kepangkatan tertinggi. Pertama para guru harus memperbanyak tukar pikiran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mengembangkan materi pelajaran dan berinteraksi dengan peserta didik. Tukar pikiran tersebut bisa dilaksanakan dalam perternuan guru sejenis di sanggar kerja guru, ataupun dalam seminar-seminar yang berkaitan dengan hal itu. Kegiatan ilmiah ini hendaknya selalu mengangkat topik pembicaraan yang bersifat aplikatif. Artinya, hasil pertemuan bisa digunakan secara langsung untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Hanya perlu dicatat, dalam kegiatan ilmiah semacam itu hendaknya faktor-faktor yang bersifat struktural administrative harus disingkirkan jauh-jauh. Misalnya, tidak perlu yang memimpin pertemuan harus kepala sekolah.<br />
<br />
Kedua, akan lebih baik kalau apa yang dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah yang dihadiri para guru adalah merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para guru sendiri. Dengan demikian guru harus melakukan penelitian. Untuk ini perlulah anggapan sementara ini bahwa penelitian hanya dapat dilakukan oleh para akademisi yang bekerja di perguruan tinggi atau oleh para peneliti di lembaga-lembaga penelitian harus dibuang jauh-jauh. Justru sekarang ini perlu diyakini pada semua fihak bahwa hasil-hasil penelitian-penelitian tentang apa yang terjadi di kelas dan di sekolah yang dilakukan oleh para guru adalah sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab para gurulah yang nyata-nyata memahami dan manghayati apa yang terjadi di sekolah, khususnya di kelas. <br />
<br />
Masih terlalu banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan proses belajar mengajar di kelas yang sampai saat ini belum terpecahkan dan perlu untuk dipecahkan. Misalnya, langkah-langkah apa harus dilaksanakan untuk menghadapi murid yang malas atau mempunyai jati diri yang rendah atau pemalu di kelas. Bagaimana mendorong peserta didik agar mempunyai motivasi untuk membaca. Bagaimana cara menanggulangi peserta didik yang senantiasa mengganggu temannya. Masalah-masalah di atas jarang diteliti, kalaupun pernah diteliti maka pendekatannya terlalu teoritis akademis sehingga tidak dapat diterapkan dalam praktek proses belajar mengajar sesungguhnya. <br />
<br />
Ketiga, guru harus membiasakan diri untuk mengkomunikasikan hasil penelitian yang dilakukan, khususnya lewat media cetak. Untuk itu tidak ada alternatif lain bagi guru meningkatkan kemampuan dalam menulis laporan penelitian. <br />
<br />
C. Peran PGRI <br />
<br />
Sebagai suatu organisasi professi guru yang memiliki anggota lebih dari dua juta, PGRI secara moral mempunyai tanggung jawab untuk mendorong dan memberikan agar para guru bisa melaksanakan tiga kegiatan di atas. PGRI bias memperbanyak pertemuan-pertemuan ilmiah, menerbitkan pedoman-pedoman penelitian yang dapat cepat dicerna guru, menerbitkan jurnal-jumal sebagai media komunikasi ilmiah para anggota, dan melaksanakan lomba penelitian atau karya tulis yang lain. Untuk itu, kiranya PGRI perlu lebih meningkatkan kualitas tubuhnya sendiri. <br />
<br />
<br />
<br />
PRADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN<br />
<br />
3.1. Praktek Pendidikan Berwajah Ke-indonesia-an <br />
<br />
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.<br />
<br />
Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pemyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat.<br />
<br />
Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan. <br />
<br />
A. Praktek pendidikan modern <br />
<br />
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini. <br />
<br />
Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia. <br />
<br />
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda. <br />
<br />
Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat terasa terutama <br />
pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).<br />
<br />
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan ekonomi.<br />
<br />
Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Birokrasi pusat cenderung menekankan proses pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebagaimana sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.<br />
<br />
Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi. <br />
<br />
Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifatsentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi. <br />
<br />
Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan?" <br />
<br />
Kalau desentralisasi hanya sekedar mengurangi beban tanggung jawab di puncak kekuasaan dengan memberikan sebagian tugas-tugas administrasi kepada aparat yang lebih rendah maka desentralisasi tidak akan banyak artinya sebagai sarana peningkatan kualitas pendidikan. Dewasa ini ketidak-mampuan sekolah meningkatkan kualitas pendidikan mencerminkan ketidak-mampuan struktur dan sistem persekolahan. Kalau tidak ada perubahan yang mendasar pada sistem pendidikan, maka segala upaya peningkatan kualitas akan sia-sia. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diperlukan di dunia pendidikan kita sekarang ini adalah desentralisasi yang mendasar. <br />
<br />
Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan. <br />
<br />
Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini. <br />
Adapula satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda. <br />
<br />
Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting. <br />
<br />
Dua mental tersebut bisa menjadi faktor yang akan merusak kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kesadaran di kalangan masyarakat khususnya generasi muda; pentingnya pencapaian tujuan jangka panjang, memahami makna proses yang harus, dilalui dan menyadari akan pentingnya nilai-nilai yang harus muncul dari diri sendiri. <br />
<br />
B. Pendidikan dan kebudayaan <br />
<br />
Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia. <br />
<br />
Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang. <br />
<br />
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan ? <br />
<br />
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner. <br />
<br />
C. Penelitian pendidikan yang diperlukan <br />
<br />
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia mandeg dan pendidikan kita yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu akibat kemandegan ilmu pendidikan. Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang rendah. Dengan demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an harus disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan.<br />
<br />
Agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan nilai-nilai dan orientasi budaya daerah (setempat) yang memiliki nilai positif bagi praktek pendidikan. Mtsalnya, nilai "Ratu adil di dukung, ratu zalim disanggah", adalah nilai yang mendukung keadilan sosial. <br />
<br />
Kedua, penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah (keluarga) dan pendidikan di sekolah. Misalnya, nilai penekanan orang tua untuk memerintah langsung anak atau mendikte anak di satu pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah barang tentu kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan anak didik? <br />
<br />
Ketiga, penelitian yang menjawab makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar negara. Misalnya, dalam alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep "bangsa yang cerdas". Apa maknanya bangsa yang cerdas? Apakah makna kecerdasan sama antara masyarakat agraris dan masyarakat industri atau bahkan pada masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk menuju masyarakaat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi? <br />
<br />
<br />
Keempat, penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang penting. <br />
<br />
Kelima, penelitian yang memusatkan pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan rayonisasi? Siapakah yang menikmati anggaran pemerintah di bidang pendidikan? Bagaimanakah penduduk miskin dapat menikmati pendidikan? <br />
<br />
Keenam, penelitian yang mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang. Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia pendidikan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya? Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan merubah kecenderungan tersebut? <br />
<br />
Ketujuh, penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan. Misalnya, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah dan TPI, sekolah dengan surat kabar dan radio? <br />
<br />
Akhirnya, perlu dipikirkan adanya penerbitan dari Kelompok Kajian Pendidikan ke-indonesia-an sebagai media penyebaran pertukaran informasi dengan masyarakat luas.<br />
<br />
<br />
PRADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN<br />
<br />
3.2. Pendidikan Berwawasan Global <br />
<br />
Krisis demi krisis mulai dari moneter, ekonomi, politik dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa Indonesia, merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret dalam arus globalisasi. Informasi bergerak sedemikian cepat sehingga menimbulkan dampak yang berantai. Demonstrasi menduduki bandara cepat menjadi mode, misalnya. <br />
<br />
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu altematif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global. <br />
<br />
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan gobal adalah bahwa informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu global sebagaimana dikemukakan oleh Psikolog Csikszentmihalyi dalam bukunya The Evolving Self: A Psychology for the Third Millenium, 1993, yang menyatakan bahwa perkembangan pribadi yang seimbang dan sehat memerlukan "an understanding of the complexities of an increasingly complex and interdependent world". <br />
<br />
A. Perspektif kurikuler <br />
<br />
Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan dua perspektif: Kurikuler dan perspektif Reformasi. Berdasarkan perspektif kurikuler, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga terdidik kelas menengah dan profesional dengan meningkatkan kemampuan individu dalam memahami masyarakatnya dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-ciri: a) mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik berat memahami adanya saling ketergantungan, b) mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat, dan, c) mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan keterampilan untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik. <br />
<br />
Oleh karena itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan pembahasan materi yang mencakup: a) adanya saling ketergantungan di antara masyarakat dunia, b) adanya perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu, c) adanya perbedaan kultur di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh karena itu perlu adanya upaya untuk saling memahami budaya yang lain, d) adanya kenyataan bahwa kehidupan dunia ini memiliki berbagai keterbatasan antara lain dalam ujud ketersediaan barang-barang kebutuhan yang jarang, dan, e) untuk dapat memenuhi kebutuhan yang jarang tersebut tidak mustahil menimbulkan konflik-konflik. <br />
<br />
Berdasarkan perspektif kurikuler ini,pengembangan pendidikan berwawasan global memiliki implikasi ke arah perombakan kurikulum pendidikan. Mata pelajaran dan mata kuliah yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik melainkan lebih banyak yang bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat multidispliner, interdisipliner dan transdisipliner. <br />
<br />
B. Perspektif reformasi <br />
<br />
Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat sangat kompetitif dan dengan derajat saling ketergantungan antar bangsa yang amat tinggi. Pendidikan harus mengkaitkan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Oleh karena itu sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat kita harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dunia. <br />
<br />
Implikasi dari pendidikan berwawasan global menurut perspektif reformasi tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, melainkan juga merombak sistem, struktur dan proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan kombinasi antara kebijakan sosial disatu sisi dan disisi lain sebagai kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, sistem dan struktur pendidikan harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis. <br />
<br />
Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar, memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata ditata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif. Melainkan, pendidikan juga diatur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatunya dengan rinci. <br />
<br />
Di samping itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistemik organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif-demokratis. Bersifat sistemik-organik berarti sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak dapat dilihat sebagai hitam-putih, melainkan setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan interaksi yang ada. <br />
<br />
Fleksibel-Adaptif, berarti pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning dari pada teaching. Peserta didik dirangsang memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, peserta didik tidak akan dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin dipelajari. Materi yang. dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-system environment. Pada pendidikan ini karakteristik individu mendapat tempat yang layak. <br />
<br />
Kreatif-demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil. Secara paedogogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki makna. <br />
<br />
Untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan yang berwawasan global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global menuntut kebijakan pendidikan tidak semata sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel dan adaptif.<br />
<br />
<br />
PRADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN <br />
<br />
3.3. Tantangan Pengembangan Sekolah di Masa Depan <br />
<br />
Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju, khususnya negara-negara di dunia barat, membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikian merupakan penggerak utama (prima mover) bagi pembangunan. Secara fisik pendidikan di dunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala strata dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari aspek non-fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern, yang diujudkan dalam bentuk kepercayaan yang tinggi pada "akal" dan teknologi, memandang masa depan dengan penuh semangat dan percaya diri, dan kepercayaan bahwa diri mereka mempunyai kemampuan (self efficacy) untuk menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan. <br />
<br />
Negara-negara sedang berkembang memandang pembangunan yang telah terjadi di dunia barat seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Para pemimpin dan ilmiawan di negara sedang berkembang menaruh perhatian yang besar akan peran pendidikan dalam usaha mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan modern yang telah berhasil mengantarkan negara-negara maju (dvelopped countries) dari kemiskinan dan keterbelakangan pada masa lampau sehingga mencapai tingkat seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu akan berhasil pula mengantarkan negara-negara yang sedang berkembang mencapai tingkat pembangunan sebagaimana yang telah dicapai negara-negara maju. Maka pendidikan modern barat pun diimpor ke negara yang sedang berkembang. Biaya dan tenaga diarahkan unuk mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor pendidikan terus meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dari barat dan mengirim tenaga domestik ke Barat mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil angka buta huruf menurun dengan drastis, gross atau net enrollment ratio naik, education achievement dari penduduk semakin tinggi. <br />
<br />
Namun, di balik keberhasilan menaikkan pendidikan di kalangan masyarakat, pada tahun 1970-80-an, para ahli mulai melihat tanda-tanda "lampu-kuning" pada sistem pendidikan pada negara-negara yang sedang berkembang, termasuk di Indonesia, menimbulkan problema: meninggalkan generasi muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan memberikan tekanan yang berat pada anggaran belanja. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan di luar pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan teknologi, berlangsung dengan cepat sehingga perkembangan sektor pendidikan tertinggal di belakang. Akibatnya pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pendorong proses kemajuan, melainkan menjadi "pengikut proses kemajuan". Mulailah para ahli, khususnya di bidang pendidikan mempertanyakan teori-teori dan sistem pendidikan yang mereka impor dari barat: relevankah teori dan sistem pendidikan barat diterapkan di dunia sedang berkembang?<br />
<br />
Persoalan-persoalan pendidikan dan pembangunan yang terjadi di negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia, secara mendasar berbeda dengan problema yang ada di negara-negara Barat. Persoalan pendidikan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan falsafah dan budaya bangsa. Winarno Surachmad (1986) memperingatkan "... bahwa ilmu kependidikan yang tidak lahir dan tidak tumbuh dari bumi yang diabdinya tidak akan pernah mampu melahirkan potensi untuk menangani masalah yang tumbuh di bumi ini". (h.5). Barangkali, pendapat tersebut sangat ekstrim, namun tuntutan bahwa ilmu kependidikan yang akan digunakan untuk memecahkan problema di suatu negara hendaknya tidak lepas dari kondisi budaya setempat memang perlu untuk mendapatkan perhatian dari semua pihak, khususnya dari para perencana dan pengambil keputusan di bidang kebijaksanaan pendidikan. Teori-teori Barat tentang pendidikan dan pembangunan tidaklah senantiasa bersifat universal. Jiwa dan watak bangsa harus menjiwai sistem pendidikan itu sendiri. <br />
<br />
A. Perkembangan dan problem pendidikan <br />
<br />
Semenjak Orde Baru, khususnya mulai PELITA I, perkembangan sektor pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat. Pemerintah memberikan prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa dengan pendidikanlah pembangunan ekonomi Indonesia akan berhasil dengan baik. Didukung dengan hasil minyak bumi, maka perkembangan sarana fisik, khususnya gedung sekolah dasar dapat dilaksanakan pada tingkatyang luar biasa. Puluhan ribu guru diangkat, ratusan judul buku paket dicetak, training dan bentuk latihan peningkatan kualitas guru diselenggarakan. Dan hasilnya secara statistik perkembangan pendidikan di Indonesia sangat menggembirakan. <br />
<br />
Namun, dibalik angka-angka di atas, dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi problema yang berat, yang dapat dikategorikan menjadi: a) internal in-efficiency, b) external in-efficiency, dan c) ketidakmerataan kesempatan pendidikan. internal in-efficiency dalam sektor pendidikan berujud dalam bentuk tingginya angka drop-outs dan angka repeaters (ulang kelas yang sama). Sedangkan external in-efficiency berujud lulusan pendidikan tidak dapat diserap oleh pasar tenaga kerja ataupun dapat dipakai tetapi antara pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan pendidikan yang diperoleh. Sedang ketidakmerataan pendidikan berujud adanya perbedaan memperoleh kesempatan pendidikan antara laki-laki dan wanita, antara penduduk kota dan penduduk desa dan antara kaya dan miskin. <br />
<br />
External in-efficiency pada sektor pendidikan tidaklah bisa dipisahkan dengan sektor yang lain, khususnya sektor ekonomi dan politik. Sebagaimana telah disinggung di atas modernisasi di bidang ekonomi jauh lebih cepat dari pada modernisasi di bidang pendidikan. Perubahan-perubahan bidang ekonomi dan teknologi sedemikian cepat, di lain pihak perubahan dunia pendidikan berjalan lambat. Perubahan-perubahan pada sistem dan kurikulum pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cepat, karena adanya suatu perubahan di sektor pendidikan akan membawa dampak yang sangat luas dan besar pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Pengalaman pembangunan di negara-negara Barat, sistem dan kurikulum pendidikan dikembangkan dan didasarkan pada keadaan masyarakat saat itu dan proyeksi keadaan masyarakat di masa mendatang. Namun pada era teknologi dewasa ini sangat sulit atau dapat dikatakan hampir tidak mungkin bisa meramalkan keadaan masa mendatang dengan tepat. Akibat dari ketidakmampuan pendidikan memperhitungkan apa yang akan terjadi di masa mendatang, pendidikan juga tidak mampu untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sektor ekonomi dan industri. Art dan peranan manpower planning semakin merosot karena tidak bisa merencanakan demand dan supply tenaga kerja dengan tepat Maka rentetan berikutnya adalah naiknya tingkat pengangguran terdidik tidak dapat terelakkan lagi.<br />
<br />
Problema ketiga adalah ketidakmerataan kesempatan mendapatkan pendidikan. Ketidakmerataan ini bisa dilihat menurut sex, tempat tinggal, dan terutama menurut status sosial ekonomi. Teori klasik menyatakan bahwa pendidikan akan menjembatani jurang antara kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat sudah banyak mendapatkan kritikan dan tantangan. Teori-teori Dependency, dengan bukti bukti empiris dari dunia ketiga, menunjukkan bahwa justru pendidikan memperbesar jurang kaya dan miskin. Sebab pada diri pendidikan itu sendiri terdapat stratifikasi sosial (lihat, Karabel dan Halsey, 1977). <br />
<br />
Kalau ketidakmerataan memperoleh pendidikan menurut sex dan desa/kota, sudah mulai dapat diperkecil dengan berbagai kebijakan pendidikan yang telah dilaksanakan, tidak demikian dengan ketidakmerataan pendidikan di antara penduduk miskin dan kaya. Perbedaan pendidikan menurut status ekonomi antara kaya dan miskin masih sulit untuk dipecahkan. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas sekolah. Kualitas sekolah dan juga jenis atau jurusan akan menentukan status di masa depan. Sedangkan sebagian besar anak didik yang bisa memperoleh sekolah "favorit" datang dari kalangan keluarga mampu, sedang keluarga yang relatif miskin akan memperoleh sekolah yang juga relatif rendah kualitasnya. Hal ini tidak mengherankan, karena anak didik yang dapat memenuhi kualifikasi untuk masuk sekolah favorit sebagian besar adalah anak dari keluarga yang relatif mampu, yang memang secara riil lebih pandai.<br />
<br />
B. Pengalaman dan tantangan <br />
<br />
Kesadaran bahwa pendidikan harus senantiasa tanggap terhadap kemajuan telah mendorong para ahli dan pengambil keputusan di bidang pendidikan untuk terus menerus mengadakan pembaharuan. Pembaharuan pendidikan secara langsung dimaksudkan untuk memecahkan ketiga problema di atas: internal in-efficiency, external in-efficiency, dan ketidakmerataan pendapatan. Secara tidak langsung, perubahan-perubahan di sektor pendidikan: misalnya, perubahan struktur pendidikan dan kurikulum, baik dalam arti content dan instructional delivery system, merupakan upaya agar pendidikan menjadi agent of development yang canggih. <br />
<br />
Namun pembaharuan-pembaharuan yang teiah dilaksanakan tidak jarang mengandung kelemahan dan perlu untuk dikritik. Salah satu kritik pernah dilontarkan oleh Winarno Surachmad (1986) yang menilai bahwa pembaharuan pendidikan di Indonesia bersifat tambal sulam dan kurang mendasar. Perubahan-perubahan kurikulum hanya menciptakan konfigurasi baru dengan isi yang lama. Kritik Havelock dan Huberman (1977) dan World Bank (1980) yang ditujukan pada pembaharuan pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk sangat tepat untuk ditujukan pada pembaharuan pendidikan di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa pembaharuan pendidikan yang dilakukan tidak dapat dipraktekkan karena keterbatasan pengetahuan pada tingkat pelaksana. Pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan cenderung bersifat "technocratic perspective", artinya pembaharuan cenderung menekankan pada adopsi dari suatu perubahan daripada implementasi pada level klas (Verspoar&Reno, 1986). Di samping itu pendidikan di negara sedang berkembang cenderung mengambil alih apa yang telah berhasil dilaksanakan di dunia Barat. Sehingga inovasi yang dilaksanakan bersifat "metropolitan sentris". Karena bersifat "metropolitan sentris" , tidak jarang suatu pembaharuan pendidikan akan mengakibatkan perbedaan semakin tajam antara pendidikan di urban dan di rural. Hal ini bisa dimaklumi, sebab guru-guru di kota lebih siap untuk menerima pembaharuan yang dilaksanakan. Di samping itu, di banyak hal pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia tidak mempunyai strategi monitoring dan prosedure evaluasi yang mantap. Sebagai contoh bisa disebut pembaharuan sistem dan kurikulum sekolah pembangunan. <br />
<br />
Lebih mendasar lagi, tidak jarang pembaharuan yang kita laksanakan merupakan pengambilalihan dari Barat, tanpa mengadakan modifikasi yang berarti dan mempertanyakan secara mendalam hakekat dan aspek-aspek yang pokok yang ada pada ide yang akan diambil tersebut. Dengan mempertanyakan hakekat ide yang akan dilaksanakan itu akan dapat diperhitungkan kemungkinan implementasinya. Sebab pada hakekatnya pembaharuan pendidikan harus berdasarkan pada What is, tidak pada What ought to be; pembaharuan harus cocok dengan realitas ruang-ruang kelas. Sebagai ilustrasi kritik ini dapat diambil sebagai contoh pembaharuan pada metoda pengajaran. Dalam kurikulum 1984, hampir pada semua pokok bahasan dicantumkan metoda cara belajar siswa aktif (CBSA) sebagai metoda yang harus digunakan. Metoda ini telah berhasil menaikkan "gengsi" pendidikan di Amerika pada tahun-tahun 1960-an. Metoda CBSA mementingkan proses berpikir dan melatih inquiry skid. Kelebihan lain dari metoda ini adalah meningkatkan critical thinking, merangsang intrinsic motivation dan memberikan kemungkinan daya ingat yang lama pada diri siswa (Bruner, 1961). Namun perlu diingat bahwa metoda ini memerlukan persyaratan tertentu untuk bisa diimplementasikan. Misalnya, pelaksanaan metoda CBSA memerlukan kondisi dan iklim kelas yang tidak terlalu formal dan fleksibel. Guru harus mempunyai pengetahuan yang relatif luas. Pada diri murid sudah terpatri kecintaan dan kesadaran pada hakekat ilmu, sikap ingin tahu, menghargai pikiran-pikiran dan bukti-bukti kebenaran, objektif dan bersifat toleransi. <br />
<br />
Patut kita pertanyakan sudahkah syarat-syarat tersebut ada pada kelas-kelas dan siswa-siswa di tanah air kita? Apa yang diketemukan di kelas-kelas di Indonesia jauh dari yang diperlukan. Kelas-kelas masih sangat kaku dan formal. Pengetahuan para guru relatif terbatas, oleh karena itu mereka tidak berani membicarakan apa yang di luar silabi. Karena membicarakan di luar silabi memang di luar kemampuannya. Di fihak lain, murid cenderung untuk mendengarkan, menerima dan mencatat apa yang diterangkan oleh guru. Apa yang diterangkan oleh guru sudah dianggap merupakan kebenaran, oleh karena itu tidak perlu dipertanyakan dan diuji lagi. Maka, tidak mengherankan kalau metoda CBSA hampir dapat dikatakan tidak pernah dilaksanakan dalam ruang-ruang kelas. Selama kondisi tersebut belum terpenuhi metoda CBSA tidak akan pernah hadir di kelas secara riil. <br />
<br />
Dalam setiap pembaharuan pendidikan, guru memegang peran yang strategis, sebab merekalah yang merupakan pelaksana pembaharuan pada level kelas. Namun, pengalaman di Indonesia menunjukkan guru lebih banyak dilihat sebagai objek dalam pembaharuan pendidikan. Sehingga setiap kebijaksanaan sebagai ujud pembaharuan pendidikan lebih banyak bersifat instruksi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru untuk berimprovisiasi. Perencanaan dan kebijaksanaan nasional memang perlu, namun perlu dicatat bahwa pelaksanaan pembaharuan pendidikan sangat tergantung pada semangat, rasa keterlibatan, dan kesadaran para guru. Guru akan memberikan respon yang positif pada setiap usaha pembaharuan yang akan dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam proses pembaharuan tersebut. Oleh karena itu setiap upaya pembaharuan pendidikan seharusnya menjadikan guru sebagai partisipan yang aktif, tidak hanya sebagai penerima pembaharuan. Pembaharuan pendidikan yang cenderung menjadikan guru sebagai objek dan sekedar penerima pembaharuan, apalagi hanya lewat instruksi, cenderung untuk gagal. Dalam kaitan ini perlu untuk didengar pendapat Fullan (1985) bahwa keberhasilan pembaharuan pendidikan tergantung pada apa yang difikir dan dilakukan guru. <br />
<br />
Di samping apa yang dikemukakan di atas, pembaharuan pendidikan di negara-negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia, jarang mengevaluasi dan mengembangkan aspek lain dari pendidikan formal di luar kurikulum dan kemampuan guru. Di samping aspek kurikulum dan kemampuan guru, sekolah mempunyai aspek lain, yaitu aspek sosiologis; sekolah merupakan "a mini society". <br />
<br />
Sebagai suatu masyarakat kecil, sekolah merupakan cermin dari masyarakat dimana sekolah itu berada. Apa yang terdapat dan terjadi di masyarakat, pada dasarnya terujud juga dalam sekolah. Di sekolah terdapat aturan-aturan yang mengikat para anggotanya, baik anak didik maupun guru. Ada norma-norma dalam pergaulan yang harus dipatuhi, terdapat interaksi antara sesamanya baik secara individual maupun kelompok, terdapat konflik-konflik interes baik nampak maupun tersembunyi. Sangsi-sangsi akan dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar tatanan yang ada. Hak-hak dan kewajiban guru dan murid diakui. <br />
<br />
Dalam proses "transfer of culture", termasuk di dalamnya proses pembentukan kepribadian, sikap, rasa dan juga intelektualitas, aspek sekolah sebagai "a mini society" sangat penting artinya. Model sekolah Muhammadiyah dengan memadukan antara Masjid dan gedung sekolah, merupakan bentuk pengakuan pentingnya aspek sekolah sebagai masyarakat kecil tersebut. <br />
<br />
Dalam dunia pendidikan terdapat dua teori yang berkaitan dengan sekolah sebagai masyarakat kecil ini. Pertama, sekolah tempat melatih dan mempersiapkan anak didik untuk terjun pada kehidupan mereka di masa mendatang. Kedua, sekolah merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri, bukannya tempat mempersiapkan anak didik. "School is not preparation for life, but life it self" (Dewey, 1944). <br />
<br />
Implikasi praktis dari teori pertama, anak didik dalam proses pendidikan diberlakukan sebagai objek pendidikan. Mereka merupakan objek yang tengah digembleng dan dicetak agar mampu mengarungi kehidupan di kemudian hari. Mereka bukanlah subjek di dunia sekolah yang ada ini. Sayangnya, kemajuan yang pesat di bidang ilmu dan teknologi menyebabkan perubahan-perubahan yang berlangsung di masyarakat sangat cepat dan sulit itu bisa diramalkan dengan tepat (lihatToffler, 1974, 1981). Oleh karena itu timbul pertanyaan, bagaimana mempersiapkan anak didik untuk mengarungi kehidupan di kemudian hari itu sendiri tidak bisa diprediksi? <br />
<br />
Teori kedua, menekankan hendaknya sekolah diselenggarakan sedemikian rupa sehingga betul-betul merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri. Implikasi dari teori ini adalah anak didik merupakan subjek dari proses pendidikan. Kehidupan sosial anak didik dalam masyarakat kecil tersebut merupakan dasar dan sumber dari transformasi kehidupan. Peran paling penting dalam proses pendidikan bukanlah terletak pada mata pelajaran yang diberikan, melainkan pada aktifitas dan interaksi sosial anak didik itu sendiri. Peran guru menurut falsafah ini lebih banyak bersifat tut wuri handayani; memberikan dorongan dan motivasi agar para anak didik mampu memperluas kemampuan pandang, unluk mengembangkan berbagai altematif dan pengambilan keputusan dalam aktifitas kehidupan serta memperkuat kemauan untuk mendalami dan mengembangkan apa yang dipelajari dalam proses kehidupan itu. Namun, perlu difahami pula, bahwa dengan menjadikan anak didik sebagai subjek dalam proses pendidikan tidak berarti sekolah bersifat "value free". Tetap saja, sekolah lewat guru dan kurikulum akan menanamkan values, tetapi dengan cara "value-fair". Artinya dalam usaha menanamkan nilai-nilai, guru tidak akan memaksakan sesuatu nilai tertentu kepada anak didiknya. Melainkan guru melakukan usaha-usaha dengan berbagai cara atau metoda, berbagai alat bantu, agar anak didik akan membenarkan dan menerima nilai-nilai yang ia ajarkan, anak didik sendirilah yang menemukan dan mengadopsi nilai-nilai yang ditargetkan oleh sekolah untuk ditanamkan pada anak didiknya. <br />
<br />
Banyak keberatan dari para ahli atas bentuk sekolah berdasarkan teori yang pertama. Keberatan yang terpenting adalah dengan menjadikan anak didik sebagai objek berarti pendidikan merupakan tindakan "mencomot" anak didik dari lingkungannya sendiri untuk dimasukkan ke dalam lingkungan yang lain yang belum tentu sesuai atau malahan asing bagi anak didik. Lingkungan baru itu bernama sekolah. Kalau anak didik tidak cocok dengan lingkungan baru, sebagai objek, anak didik tidak bisa berbuat apa-apa. Masalahnya akan menjadi rumit, kalau apa yang dilihat, diterima dan dihayati dalam lingkungan "mini society" ini tidak sama atau malahan bertentangan dengan apa yang ia lihat, terima dan hayati dari lingkungan yang lebih besar, yakni masyarakat. Akibat dari keadaan ini, tidak mengherankan kalau banyak anak didik yang mengikuti pelajaran di sekolah dengan setengah hati. <br />
<br />
Di fihak lain, lebih banyak para ahli yang keberatan dengan teori kedua. Keberatan pokoknya adalah berkisar pada kekhawatiran pendidikan akan menjadi proses yang tanpa arah dan "anarkis". <br />
<br />
Sudah barang tentu pembaharuan pendidikan di negara kita di masa mendatang harus pula memperhitungkan aspek sekolah sebagai "a mini society" ini. Pembaharuan pendidikan tidak berarti harus mengambil salah satu teori pendidikan secara murni. Yang penting adalah bagaimana pembaharuan pendidikan bisa membuahkan kebijaksanaan yang mengarahkan agar pendidik bisa memanfaatkan variasi interaksi dan pengalaman riil yang diperoleh anak didik di sekolah sebagai upaya untuk mencapai keberhasilan pendidikan. <br />
<br />
Ada tiga hal yang telah dikemukakan dalam pembahasan tentang pembaharuan pendidikan: kurikulum, guru dan sekolah sebagai "a mini society". Pengembangan sekolah di masa depan di mana perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat sangat cepat dan unpredictabfe, ketiga hal tersebut tidak bisa ditinggalkan. <br />
<br />
C. Sekolah Dasar di masyarakat yang berubah dengan cepat <br />
<br />
Dalam proses pendidikan, sekolah dasar menempati posisi yang sangat vital dan strategis. Kekeliruan dan ketidaktepatan dalam melaksanakan pendidikan di tingkat dasar ini akan berakibat fatal untuk pendidikan tingkat selanjutnya. Sebaliknya, keberhasilan pendidikan pada tingkat ini akan membuahkan keberhasilan pendidikan tingkat lanjutan. Sayangnya, berbagai fihak justeru menempatkan pendidikan dasar lebih rendah daripada tingkat pendidikan yang lain, terbukti antara lain, dengan adanya kualifikasi dan gaji guru sekolah dasar yang berbeda dengan sekolah lanjutan. <br />
<br />
Usaha-usaha meningkatkan kualitas sekolah dasar sudah sangat mendesak. Tanpa ada peningkatan kualitas sekolah dasar yang mendasar, usaha-usaha peningkatan kualitas sekolah lanjutan menengah pertama dan atas tidak akan berhasil dengan maksimal. Di samping itu kondisi-kondisi yang ada menunjukkan bahwa secara kuantitas penyediaan fasilitas sekolah dasar sudah memadai. Pada tahun 1986, sudah lebih dari 94% anak umur sekolah dasar (umur 7 - 12) telah tertampung di sekolah-sekolah. Malahan sebagai hasil dari program pengendalian penduduk, pertambahan murid sekolah dasar kelas satu sudah mulai menurun. Untuk tahun-tahun mendatang ini, gejala-gejala menurunnya murid kelas satu akan semakin nampak jelas terasa. Oleh karena itu, problema sekolah dasar akan bergeser dari bagaimana menyediakan fasilitas bergerak kepada bagaimana mengorganisir sekolah dasar yang semakin kecil tetapi bisa semakin berkualitas. Bagi sekolah negeri barangkali problema ini tidak begitu terasa, tetapi bagi swasta yang terjadi adalah sebaliknya. <br />
<br />
Dalam hubungan dengan usaha peningkatan kualitas sekolah dasar, Beeby (1983) mengidentifikasi dua bentuk usaha peningkatan kualitas sekolah. Bentuk pertama, peningkatan kualitas sistem dan manajemen sekolah. Hal ini berhubungan dengan "the flow of students". Kedua, peningkatan kualitas berkenaan dengan proses belajar-mengajar di ruang-ruang kelas. <br />
<br />
Usaha peningkatan kualitas yang berhubungan "the flow of students" pada dasarnya bertujuan untuk menghilangkan pemborosan sebagai akibat internal in-efficiency in education. Kebijaksanaan apa yang dapat dikembangkan sehingga tingkat anak didik mengulang kelas dan putus sekolah bisa ditekan, bahkan kalau mungkin dihilangkan. Wajib Belajar Pendidikan Dasar, untuk anak umur 7-15 tahun dan pembebasan uang SPP merupakan kebijaksanaan yang penting dan tepat untuk mengurangi tingkat putus sekolah ini. <br />
<br />
Untuk menghilangkan "repeaters" nampaknya lebih sulit. Apalagi informasi berkenaan dengan sebab-sebab ulang kelas ini sangat sedikit. Salah satu usaha untuk menghilangkan ulang kelas adalah dengan menetapkan "automatic class promotion system". Dengan sistem ini anak didik setiap tahun secara otomatis akan naik kelas. Sehingga nanti umur anak didik akan menunjukkan kelasnya. Sudah barang tentu kebijaksanaan ini harus diiringi dengan kebijaksanaan "remedial programs". Anak didik yang tidak bisa mengikuti pelajaran atau tertinggal harus mengikuti pelajaran tambahan. Kebijaksanaan ini untuk negara kita tidaklah mustahil, mengingat jumlah murid sekolah dasar semakin kecil sebaliknya jumlah guru berlebihan. Dengan semakin kecilnya rasio murid-guru, maka guru akan bisa mengenal dengan tepat perkembangan anak didik. <br />
<br />
Dalam peningkatan mutu SD, masalah kurikulum, kualitas guru dan lingkungan keluarga perlu mendapat perhatian. Pada level nasional, pengembangan kurikulum merupakan proses politik, administrasi dan birokrasi, serta sekaligus proses profesionalisme. Proses ini mengandung negosiasi antara harapan-harapan dan sumber-sumber yang tersedia. Apabila dalam proses pengembangan kurikulum ini masalah-masalah yang riil ada di kelas diperhitungkan maka kurikulum akan memberikan sumbangan yang besar pada peningkatan kualitas sekolah. Dua hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah kebutuhan lingkungan dan kemampuan guru.<br />
<br />
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu yang lalu melontarkan ide perlunya warna lokal pada kurikulum pendidikan kita. Ide tersebut sangatlah tepat dan perlu untuk mendapatkan support dan partisipasi dari para pendidik. Kebhinekaan masyarakat kita yang tercermin dalam banyak aspek kehidupan: lingkungan fisik, sosial dan budaya, perlu untuk diperhitungkan dalam pengembangan kurikulum. Realitas kebhinekaan ini, merupakan dasar yang logis untuk mengembangkan kurikulum nasional yang berwarna lokal. Kurikulum yang "murni bersifat nasional" sulit untuk bisa diterima. Kurikulum yang demikian itu akan menghasilkan keterasingan pada sementara anak didik, sebab apa yang dipelajari di sekolah tidak relevan dengan lingkungan sekelilingnya. <br />
<br />
Proses pengembangan kurikulum berwarna lokal dalam kurikulum nasional hendaknya lebih banyak menarik partisipasi para pendidik. Kalau di tingkat nasional pengembangan kurikulum lebih banyak dilakukan oleh para "perencana dan administrator pendidikan", maka pengembangan kurikulum lokal seyogyanya lebih banyak ditentukan oleh pendidik sendiri. <br />
<br />
Selain isi kurikulum (intended curriculum) maka sistem pengajaran (the instructionat delivery system) perlu untuk mendapat perhatian. Pendidikan pada tingkat sekolah dasar diarahkan untuk mengembangkan kreatifitas, kecintaan dan loyalitas pada tanah air, dan critical thinking pada diri anak didik. Untuk mencapai tujuan ini maka model Student Active Learning adalah merupakan metoda yang paling tepat. Kemampuan para guru sekolah dasar perlu untuk ditingkatkan. Usaha-usaha peningkatan kualitas guru sekolah dasar ini harus mendasarkan pada kemampuan guru yang ada sekarang ini untuk diarahkan pada kemampuan yang diinginkan. Untuk ini perlu ada kegiatan "need of assessment" sehingga berdasarkan kegiatan itu bisa disusun "peta kualitas guru". Hal ini menghindarkan adanya "in service training" yang tidak tepat. Langkah yang lebih mendasar, adalah meningkatkan kualitas guru secara formal. <br />
<br />
Usaha peningkatan kualitas guru perlu pula dilakukan secara formal. Dalam arti pensyaratan untuk menjadi guru sekolah dasar tidak cukup lulusan SPG, melainkan perlu ditingkatkan menjadi lulusan perguruan tinggi. Hal ini sudah saatnya, mengingat tenaga guru sekolah dasar sudah lebih dari cukup. Di samping itu untuk melaksanakan pengembangan sekolah dasar di masa depan memang memerlukan tenaga guru yang memiliki kualifikasi lebih tinggi. Untuk menghadapi pembaharuan-pembaharuan pendidikan di masa mendatang dan menanggapi perubahan-perubahan di masyarakat yang sangat cepat itu, kualifikasi guru SD tamatan SPG sangat diragukan kemampuannya. Diharapkan pula dengan persamaan kualifikasi untuk menjadi guru sekolah dasar dan guru sekolah lanjutan, di masa mendatang perbedaan "derajat" antara kedua tingkat pendidikan itu juga akan hilang. Labih daripada itu, adanya integrasi lembaga pendidikan dalam satu institusi akan menguntungkan dalam menyusun rencana pengembangan kurikulum pendidikan calon guru secara integral dan menyeluruh, termasuk pula kurikulum untuk "in-service training". <br />
<br />
Usaha-usaha pengembangan kreatifitas anak didik dan kecintaannya pada tanah air dapat dilaksanakan pula lewat proses interaksi yang terjadi di sekolah. Sebagaimana yang telah disinggung di depan, sekolah adalah merupakan "a mini society". Guru harus bisa memanipulasi aktifitas dan interaksi anak didik untuk mengembangkan kreatifitas anak dan kecintaan pada tanah air. Misalnya, bagaimana guru bisa memberikan kesempatan pada anak didik untuk menentukan kegiatan olah raga yang akan dilaksanakan, apa yang harus dilakukan pada anak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, membuat peraturan-peraturan di kelas ataupun di luar <br />
kelas. <br />
<br />
Hasil pendidikan di sekolah dasar dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Penelitian-penelitian yang dilakukan baik di negara Barat maupun di negara kita membuktikan statement di atas (lihat Sudarsono, 1984; Johnstone & Jiyono, 1983; Simmons, 1980). Ada lima aspek dari lingkungan keluarga yang berpengaruh terhadap hasil pendidikan sekoiah dasar. Pertama, pola perilaku anak dan orang tua; kedua, bantuan dan petunjuk orang tua dalam belajar; ketiga, diskusi antara orang tua dan anak; dan, keempat, penggunaan bahasa di rumah, dan aspirasi pendidikan orang tua. <br />
<br />
Anak dari kalangan keluarga di mana ada struktur kegiatan memiliki prestasi yang lebih baik dari pada anak yang datang dari kalangan keluarga yang tidak mempunyai struktur kegiatan. Memiliki struktur kegiatan berarti dalam keluarga tersebut ada jadwal kegiatan dan tanggung jawab anak secara jelas. Kapan waktu belajar, waktu bermain, waktu membantu orang tua melakukan pekerjaan rumah tangga. Waktu-waktu tersebut harus ditepati. Pelanggaran yang dilakukan akan dapat mengakibatkan tidak dapat melihatTV, misalnya. <br />
<br />
Bantuan dan petunjuk orang tua bagi anak dalam kegiatan-kegiatan belajar sangat diperlukan. Anak yang datang dari keluarga di mana orang tuanya membantu dan memberikan petunjuk belajar mempunyai prestasi yang lebih baik daripada anak yang datang dari keluarga yang tidak mau tahu tentang kegiatan belajar anaknya. Sekolah bagi anak bukanlah merupakan kegiatan yang gampang. Orang tua perlu memberikan support dan dorongan agar anak bisa tetap pada interes dan kesenangan dalam belajar. Anak akan sering menghadapi kesulitan dalam satu mata pelajaran tertentu atau lebih. Kesulitan-kesulitan akan menyebabkan anak patah semangat untuk belajar dan tidak jarang menyebabkan anak mempunyai "self-concept" yang jelek. Usaha-usaha membesarkan hati manakala anak menghadapi kesulitan dan memberikan pujian manakala anak mendapatkan prestasi yang baik sangat diperlukan bagi anak-anak sekolah dasar. <br />
<br />
Kegiatan belajar anak pada hakekatnya tidak hanya berlangsung di sekolah atau di ruang-ruang kelas. Di luar sekolah pun proses ini berlangsung. Orang tua bisa menggunakan kesempatan kumpul sebagai media bagi anak untuk belajar. Anak-anak yang datang dari keluarga di mana sering melakukan diskusi antara anggota keluarga menunjukkan prestasi yang lebih baik daripada anak yang di rumah tidak pernah berbincang-bincang dengan orang tua atau saudaranya. <br />
<br />
Prestasi anak yang datang dari keluarga di mana komunikasi sehari-harinya menggunakan bahasa Indonesia (bahasa yang digunakan di sekolah) lebih tinggi daripada prestasi anak yang di rumah tidak menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indoensia di rumah akan memperkaya kemampuan bahasa anak. Secara langsung anak mengembangkan kemampuan bahasa Indonesia di rumah. <br />
<br />
Keluarga merupakan tempat di mana anak bisa mendapatkan motivasi untuk belajar dan mengembangkan harapan-harapan pendidikan dan gaya hidup di masa depan. Orang tua mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengembangkan motivasi dan aspirasi pendidikan anak. Orang tua seyogyanya mempunyai informasi yang jelas tentang aktifitas anak di sekolah, mata pelajaran apa yang membuat anak senang dan tidak senang, di mana kelebihan dan kekurangan anak dalam belajar. Orang tua di samping memberikan support seyogyanya juga memberikan standar yang harus dicapai oleh anak. Anak-anak yang datang dari keluarga di mana orang tua mengembangkan motivasi dan aspirasi belajar anak, memiliki prestasi yang lebih tinggi dari pada anak yang datang dari keluarga di mana orang tua tidak pemah mengembangkan motivasi dan aspirasi pendidikan anaknya. <br />
<br />
Melihat hasil-hasil penelitian di atas, maka usaha peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar, khususnya, bisa dipisahkan dari lingkungan keluarga. Orang tua tidak bisa menyerahkan secara 100% agar anaknya dididik di sekolah. Perlu ada kerjasama antara sekolah dan orang tua dalam usaha meningkatkan kualitas sekolah. Orang tua perlu mendapatkan informasi apa yang harus dilakukan di rumah untuk menunjang keberhasilan anak di sekolah. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di Indoensia bisa dijadikan bahan untuk diinformasikan kepada orang tua. Problemanya, siapa yang harus melakukan? <br />
<br />
Sekolah-sekolah mempunyai lembaga Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3). Sampai saat ini lembaga tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal, baru terbatas untuk menghubungkan dana pembangunan gedung. Sesungguhnya BP3 ini bisa ditingkatkan peranannya, dari pengumpul uang pembangunan gedung menjadi pemegang peran mempertemukan apa yang terjadi di sekolah dan apa yang seyogyanya dilakukan oleh orang tua kepada anaknya di rumah, dalam kaitannya dengan proses belajar anak di sekolah. <br />
<br />
Dengan kata, lain untuk peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar perlu ada kerjasama yang erat antara orang tua dan guru, antara sekolah dan rumah. Orang tua tahu apa yang terjadi di sekolah, sebaliknya guru bisa memberikan pengarahan apa yang seyogyanya dilakukan oleh orang tua terhadap anak dalam rangka menunjang keberhasilan anak di sekolah. <br />
<br />
D. Peranan IKIP <br />
<br />
Dalam setiap pembaharuan pendidikan, IKIP sebagai lembaga pencetak guru mempunyai posisi strategis. Di samping berfungsi mencetak guru, IKIP dituntut untuk bisa melakukan penelitian-penelitian yang bisa mendukung usaha-usaha pembaharuan. <br />
<br />
Ide-ide baru diharapkan muncul di lembaga pendidikan guru ini. Tugas yang tidak kalah pentingnya lagi adalah menyediakan tempat bagi "'in-service training". Dalam kaitan dengan pengembangan sekolah di masa depan, IKIP seyogyanya memberikan perhatian kepada usaha-usaha peningkatan kualitas guru sekolah dasar. <br />
<br />
Semenjak Pelita I pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Namun demikian, masih banyak problema yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah bagaimana dapat mengembangkan sekolah yang mampu menghadapi perubahan-perubahan di masyarakat yang berlangsung dengan cepat. Untuk itu, pembaharuan pendidikan yang mendasar perlu untuk dilaksanakan. Strategi yang paling tepat, adalah melaksanakan pembaharuan di bidang kurikulum, peningkatan kualitas guru dan menggunakan sekolah sebagai "a mini society" sebagai sarana pendidikan. Pembaharuan lebih dititik beratkan pada tingkat sekolah dasar. Dalam kaitannya dengan pembaharuan sekolah dasar, perlu disinkronkan antara pendidikan di sekolah dan pendidikan di rumah. <br />
<br />
Dalam setiap pembaharuan pendidikan, guru harus diberikan kesempatan untuk berperan secara aktif. Sebab, pada hakekatnya, pembaharuan dilaksanakan di kelas-kelas. Sehubungan dengan peran guru, maka IKIP sebagai lembaga yang mempersiapkan guru, perlu untuk meningkatkan kualitasnya, khususnya, kualitas staf pengajar. <br />
<br />
Pacta zaman modern peranan pendidikan dalam pembangunan guna mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan semakin penting. Pengalaman pembangunan ekonomi dinegara-negara Asia Timur khususnya, membuldikan statement tersebut. Secara lebih terperinci, pengalaman pembangunan ekonomi di Korea Selatan, menunjukkan adanya keterkaitan yang jelas antara pertumbuhan ekonomi dan pendidikan. Pendidikan diukur dengan partisipasi pendidikan untuk anak usia sekolah dan pertumbuhan diukur dengan pendapatan perkapita, menunjukkan adanya critical mass (Boediono, 1996) pendidikan yang diperlukan untuk mewujudkan angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di samping itu, kualitas pendidikan juga memiliki peranan yang penting. Kualitas pendidikan memiliki arti bahwa lulusan pendidikan memiliki kemampuan yang sesuai, sehingga dapat memberikan kontribusi yang tinggi bagi pembangunan. Kualitas pendidikan, terutama ditentukan oleh proses belajar mengajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas. Dalam proses belajar mengajar tersebut guru memegang peran yang penting. Guru adalah creator proses belajar mengajar. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik dan mampu mengekspresikan ide-ide dan kfeativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model bagi anak didik. Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembaagan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batas-batas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. <br />
<br />
Namun, realitas menunjukkan kualitas pendidikan di negara kita masih memprihatinkan. Selama ini kualitas pendidikan yang antara lain dicerminkan oleh NEM atau nilai ujian UMPTN dari tahun ke tahun cenderung statis tidak menunjukkan angka yang meningkat. Keadaan ini merupakan tanda-tanda bahwa kualitas pendidikan jalan di tempat, tidak ada peningkatan kualitas pendidikan. Sudah barang tentu keadaan tersebut berkaitan dengan proses yang berlangsung di ruang-ruang kelas. Proses belajar mengajar di sekolah belum sebagaimana yang diharapkan. Ruang-ruang kelas menjadi tempat yang menakutkan, membosankan dan menjemukan bagi para siswa. Ruang-ruang kelas belum dapat berperan sebagai tempat di mana siswa ditantang untuk menunjukkan kebolehannya. Sebaliknya, ruang-ruang kelas merupakan tempat di mana identitas dan kepribadian "aku''nya telah diluluhkan menjadi raw input dalam mesin besar industri pendidikan. Mereka para siswa bukan merupakan subjek dalam proses pendidikan, melainkan sebagai objek dalam pendidikan. Oleh karena sebagai raw input mereka harus tunduk dan patuh atas aturan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh fihak sekolah. <br />
<br />
Salah satu penyebab dari keadaan dunia pendidikan yang kurang menggembirakan tidak pelak lagi ditujukan pada ketidakmampuan guru. Banyak tanda-tanda menunjukkan bahwa kualitas guru belum sebagaimana yang diharapkan. <br />
<br />
E. Permasalahan guru <br />
<br />
Permasalahan pendidikan dapat didekati dengan pendekatan macrocosmics dan microcosmics. Pendekatan macrocosmics berarti permasalahan guru dikaji dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain di luar guru. Hasil pendekatan ini adalah bahwa rendahnya kualitas guru dewasa ini di samping muncul dari keadaan guru sendiri juga sangat terkait dengan faktor-faktor luar guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru, antara lain: a) penguasaan guru atas bidang studi, b) penguasaan guru atas metode pengajaran, c) kualitas pendidikan guru, d) rekrutmen guru, e) kompensasi guru, f) status guru di masyarakat, g) manajemen sekolah, h) dukungan masyarakat, dan, i) dukungan pemerintah. <br />
<br />
Penguasaan guru atas bidang studi yang akan diajarkan kepada para siswa merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya. Sebab, dengan materi bidang studi tidak saja guru akan mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi lebih daripada itu, dengan materi bidang studi itu guru akan menanamkan disiplin, mengembangkan critical thinking, mendorong kemampuan untuk belajar lebih lanjut, dan yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan itu sendiri pada diri siswa. Penguasaan kemampuan guru di bidang metodologi pengajaran juga penting. Tetapi perlu dicatat bahwa, kemampuan metode dalam pengajaran kalau diujudkan dalam simbol bagaikan angka "0". Artinya, betatapun banyak dan tingginya kemampuan metodologi pengajaran tidak memiliki nilai apa-apa, apabila tidak digabungkan dengan angka lain 1, 2, 3 dan seterusnya sampai 9 yang merupakan wujud dari kemampuan penguasaan bidang studi. Dalam masalah penguasaan materi bidang studi inilah kelemahan guru sangat menonjol. Suatu studi menunjukkan bahwa penguasaan bidang studi para guru kalau diujudkan dalam skor yang terentang antara 0-10, terletak pada titik sekitar 7, dan untuk mata pelajaran matematika dan IPA lebih rendah lagi. <br />
<br />
Rendahnya penguasaan guru pada bidang studi tidak lepas dari kualitas pendidikan guru dan rekrutmen colon guru. Dapat dicatat bahwa selama ini terdapat tiga bentuk kurikulum yang mencerminkan fase pemikiran di lingkungan lembaga pendidikan guru. Fase pertama ditunjukkan dengan kurikulum pendidikan guru (IKIP, FKIP, dan STKIP) sebelum kurikulum IKIP 1984. Pada kurun waktu tersebut kurikulum pendidikan guru tidak jauh berbeda dengan kurikulum jurusan yang sama di universitas. Perbedaannya adalah pada mahasiswa pendidikan guru di samping memiliki bekal bidang studi yang memadai, juga ditambah dengan beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan didaktik khusus. Pada waktu diberlakukannya kurikulum pendidikan guru 1984, terjadi perubahan yang mendasar. Mahasiswa pendidikan guru harus lebih menekankan pada metode mengajar dibandingkan dengan penguasaan materi bidang studi. Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau beban SKS di lingkungan pendidikan guru didominasi oleh mata kuliah pendidikan. Sebaliknya, mata kuliah bidang studi jauh berkurang. lbaratnya, pada kurikulum 1984 ini cara memegang kapurpun diajarkan di IKIP/FKIP/STKIR Hasilnya, lulusan pendidikan guru dengan kurikulum 1984 tidak mampu mengajar sebagaimana seharusnya. Pada akhir tahun 1980-an kembali terdapat perubahan kurikulum di lingkungan pendidikan guru. Namun, kurikulum baru juga menunjukkan ambivalensi antara penekanan pada bidang studi dan pada metode mengajar. Oleh karena itu hasil pendidikan guru masih juga diragukan, khususnya di bidang penguasaan bidang studi. <br />
<br />
Sesungguhnya perubahan kurikulum pendidikan guru yang terjadi tidak bisa dilepaskan begitu saja pada pemahaman akan hakekat profesi guru. Apakah guru diketagorikan sebagai hard profession atau soft profession. Sebab, masing-masing kategori memiliki implikasi yang berbeda terhadap lembaga dan program pendidikan guru. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai hard profession apabila pekerjaan tersebut dapat didetailkan dalam perilaku dan langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah menghasilkan output pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang sudah mampu dan akan terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri meskipun tanpa pendidikan lagi. Pekerjaan dokter merupakan contoh yang tepat untuk mewakili kategori hard profession. Sebaliknya, kategori soft profession adalah diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab, langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak menuntut pendidikan dapat menghasilkan lulusan dengan standar tertentu melainkan menuntut lulusan dibekali dengan kemampuan minimal. Kemampuan ini dari waktu ke waldu harus ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga in-service training bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan, advokat, dan guru merupakan contoh dari kategori profesi ini. <br />
<br />
Berdasarkan pemahaman bahwa tugas guru merupakan soft profession, maka diperlukan perubahan yang mendasar pada proses pendidikan guru kita. IKIP tidak perlu diperluas menjadi universitas, sebaliknya IKIP harus dilebur dalam universitas. Apakah ke dalam universitas yang sudah ada atau baru bukan hal yang prinsip. Prinsip yang mendasar adalah bahwa semua fakultas atau bidang studi di universitas memberikan kesempatan kepada para mahasiswa yang sudah menyelesaikan mata kuliah bidang studi untuk memiliki sertifikat mengajar dengan mengambil mata kuliah pendidikan dan praktek mengajar di sekolah. Dengan demikian, sistem pendidikan guru ini memiliki kelebihan dari yang sekarang ini. Pertama, pendidikan guru adalah S1 PLUS bidang pendidikan. Kedua, pendidikan guru tidak inferior dibandingkan dengan pendidikan ilmu murni. Ketiga, pendidikan guru akan memperoleh input yang berkualitas dengan mengundang mahasiswa yang berotak cemerlang. Memang terdapat kemungkinan sangat sedikit mahasiswa yang mengambil sertifikasi mengajar. Namun, keadaan ini hanya bersifat sementara, karena kekurangan tenaga guru akan meningkatkan daya saing guru. <br />
<br />
Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan status guru di masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan tidak pas kalau tidak ditimbang dengan kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besar dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena itu, bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah bagi kesejahteraan dan status guru. Lagu “Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sangat mulia dan terhormat. Dalam setiap kesempatan wisuda sering lagu tersebut diperdengarkan, dan hadirin terbuai dengan kesyahduan. Namun, barangkali bagi guru sendiri akan lebih senang kalau lagu diubah menjadi "Guru Pahlawan Penuh Tanda Jasa”. Dengan demikian, kelak tidak hanya muballigh yang ber BMW atau Mercy, tetapi juga para guru akan ber-Kijang atau ber-Escudo, simbol kemakmuran masyarakat dewasa ini. Namun, barangkali merupakan suatu kemustahilan, paling tidak untuk jangka pendek, untuk merealisir kompensasi guru yang memadai kalau hanya bersandarkan kepada anggaran pemerintah. Barangkali, sudah masanya untuk dipikirkan mobilisasi dana pendidikan atau dana kesejahteraan guru yang berasal dari masyarakat. Kalau untuk keperluan lain dana mudah diperoleh misalnya untuk prestasi olah raga, mengapa tidak bagi prestasi guru? Di sinilah letaknya, partisipasi orang tua dan dukungan masyarakat mutlak diperlukan untuk meningkatkan kualitas guru. <br />
<br />
Kualitas guru yang ditunjukkan oleh kualitas kerja tidak dapat dilepaskan dari manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralistis, dengan menempatkan pengambilan keputusan di tangan-tangan yang jauh dari guru tidak menguntungkan bagi usaha meningkatkan kualitas kerja guru. Misalnya, keharusan guru untuk mengajar dengan CBSA, menempatkan guru pada posisi yang tidak menyenangkan. Sebab, pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas sangat tergantung pada kondisi dan situasi yang dipengaruhi oleh berbagai variabel. Oleh karena itu keputusan tentang bagaimana proses belajar mengajar harus dilaksanakan yang ditentukan dari atas sulit untuk dapat diterima akal sehat. Sebab, justru guru yang paling tahu apa yang harus dilakukan. Di fihak lain, dengan adanya ketentuan dari pusat beban guru lebih ringan. Karena kegagalan dalam rnengajar bukan hanya dikarenakan olehnya tetapi juga oleh instruksi dari atas yang tidak jalan karena tidak cocok dengan keadaan di lapangan. Oleh karena itu, pemberian otoriomi yang lebih besar kepada guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar akan memberikan rasa tanggung jawab lebih besar kepada guru. Rasa tanggung jawab ini mutlak diperlukan dalam meningkatkan kualitas guru.<br />
<br />
Dengan pendekatan microcosmics dapat dideskripsikan bahwa keberhasilan guru sangat tergantung pada kemampuan dan dedikasi guru di satu fihak dan motivasi dan usaha keras dari siswa di fihak lain. Oleh karena itu, guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar juga harus mampu membangkitkan semangat untuk berprestasi di kalangan siswa. Tugas tersebut tidak ringan mengingat karakteristik yang melekat pada pekerjaan guru. Karakteristik pertama adalah pekerjaan guru bersifat individual dan cenderung non-collaborative. Kedua, pekerjaan guru dilakukan di ruang-ruang kelas yang terisolir dalam jangka waktu yang lama. Ketiga, ini merupakan akibat pertama dan kedua, waktu guru untuk berdialog akademik dengan sesama guru sangat terbatas. Karakteristik kerja guru ini menyebabkan guru merupakan pekerjaan yang tidak pernah mendapatkan umpan balik. Tanpa adanya umpan balik sulit bagi guru untuk dapat meningkatkan kualitas profesinya. Umpan balik merupakan sesuatu yang diperlukan oleh guru. Untuk itu, guru perlu dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan self-reflection, untuk mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan dan bagaimana hasilnya. <br />
<br />
Analisis dengan gabungan pendekatan macrocosmics dan microcosmics, menunjukkan bahwa persoalan guru dapat dikategorikan ke dalam berbagai kelompok. Mengikuti model analisis yang dikembangkan Boediono mengelompokan sasaran wajib belajar menjadi 8 kelompok berdasarkan kemampuan ekonomi dan aspirasi pendidikan orang tua, persoalan guru dapat dikategorikan berdasarkan tiga variabel: ekonomi dengan predikat cukup dan kurang, kemampuan dengan predikat mampu dan tidak mampu, dan variable dedikasi dengan predikat penuh dedikasi dan kurang dedikasi. Dengan demikian terdapat delapan kelompok guru: 1) ekonomi cukup, mampu dan dedikasi tinggi, 2) ekonomi cukup, mampu, tetapi tidak memiliki dedikasi, 3) ekonomi cukup, kurang mampu, tetapi memiliki dedikasi tinggi, 4) ekonomi cukup, tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi, 5) ekonomi kurang, tetapi mampu dan penuh dedikasi, 6) ekonomi tidak mampu, tidak memiliki dedikasi tetapi mampu, 7) ekonomi kurang, tidak mampu tetapi memiliki dedikasi tinggi, dan, 8) ekonomi kurang, tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi. <br />
<br />
Sudah barang tentu, kebijakan dan program peningkatan kualitas guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar tidak mungkin secara spesifik mendasarkan pada kategorisasi tersebut. Betapapun juga, gambaran kategori tersebut perlu untuk direnungkan dalam membenahi dan menata guru dewasa ini. Paling tidak, upaya peningkatan kualitas guru dengan penataran untuk meningkatkan kemampuan tidak cukup. Sebab, masih ada faktor lain yang perlu sentuhan, yakni semangat-dedikasi guru dan kesejahteraannya. <br />
<br />
F. Kebijakan meningkatkan kualitas <br />
<br />
Kebijakan dan program peningkatan kualitas guru daiam melaksanakan proses belajar mengajar harus menyentuh tiga aspek sebagaimana dikemukakan di atas: aspek kemampuan, aspek semangat dan dedikasi, dan aspek kesejahteraan. Kebijakan yang tidak lengkap, yang tidak mencakup ketiga aspek tersebut cenderung akan mengalami kegagalan. <br />
<br />
Kebijakan untuk meningkatkan kualitas guru harus banyak bertumpu pada inisiatif dan kemauan yang datang dari fihak guru sendiri. Dengan kata lain guru sebagai subjek bukannya objek. Untuk pengembangan kemampuan guru untuk belajar (bukan mengajar) sangat penting. Kemampuan belajar mencakup kemampuan untuk membaca dan mengkaji fenomena masyarakat secara efisien, kemampuan untuk menentukan bahan yang relevan dan perlu untuk dikaji, dan, kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Dalam kaitan ini suatu mekanisme atau prosedur untuk munculnya umpan balik bagi guru sangat penting artinya. Salah satu yang mungkin dilaksanakan adalah membekali guru dengan kemampuan untuk melakukan self reflection, lewat action research. <br />
<br />
Kemampuan untuk belajar ini akan dapat terus hidup dan tumbuh subur manakala guru memiliki cukup ruang untuk berinisiatif dan berimprovisasi. Untuk itu instruksi, jukiak dan juknis yang berkaitan dengan pengajaran harus diminimalkan, kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali. Perluasan otoritas guru ini harus pula diiringi dengan kebijakan untuk mengembangkan sistem accountabilitas sekolah yang jelas dan transparan. Sekolah, termasuk guru harus menyusun program dan target kegiatan yang jelas dan dikomunikasikan kepada orang tua siswa dan masyarakat. Hasil kerja sekolah atas pencapaian target harus dapat dievaluasi dengan jelas oleh orang tua dan masyarakat. Sekolah harus meletakkan orang tua dan masyarakat sebagai konsumen. Kepuasan konsumen harus ditempatkan pada prioritas paling tinggi. Untuk itu, sekolah di bawah pimpinan kepala sekolah harus dapat bekerja secara mandiri. Sekolah harus dijiwai watak ekonomi, kerja efektifdan efisien. Dalam kaitan inilah, school site based management merupakan suatu tuntutan dasar dalam. Upaya peningkatan kualitas sekolah. Dengan sistem manajemen ini otoritas sekolah semakin besar, termasuk tanggung jawab memajukan sekolah. Semakin besar otoritas dan tanggung jawab ini pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran pada diri guru untuk memberikan yang terbaik bagi siswanya.<br />
<br />
Upaya peningkatan kualitas guru untuk meningkatkan kualitas lulusan harus disertai dengan peningkatan kesejahteraan guru. Prinsip school site based management menuntut partisipasi dari fihak orang tua siswa dan masyarakat lebih besar. Partisipasi yang pertama berkaitan dengan upaya mobilisasi dana pendidikan, dan partisipasi kedua adalah aktivitas mereka dalam ikut memikirkan kemajuan sekolah. Oleh karena itu, sistem kerjasama orang tua dan sekolah perlu dikembang-suburkan. <br />
<br />
Dalam mobilisasi dana pendidikan akan terjadi ketimpangan antara satu sekolah dengan sekolah lain, sebagai akibat adanya perbedaan kualitas sekolah. Terdapat kecenderungan bahwa semakin berkualitas suatu sekolah maka akan semakin besar kemampuan sekolah untuk memobilisasi dana pendidikan dari kalangan orang tua siswa dan masyarakat Sudah barang tentu hal ini tidak perlu untuk dicegah. Yang penting adalah alokasi anggaran pendidikan pemerintah perlu disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Anggaran pemerintah seyogyanya diarahkan ke sekolah-sekolah yang tidak mampu memobilisasi dana disebabkan kemampuan orang tua siswa yang rendah. <br />
<br />
Usaha yang tiada pernah mengenal akhir bagi suatu negara adalah usaha untuk meningkatkan kemakmuran bangsanya. Hal itu dikarenakan padahakekatnya apa yang dinamakan kemakmuran tidak ada batasnya. Negara yang sudah sedemikian maju pun, seperti Jepang, Jerman dan Amerika Serikat, misalnya, masih juga berjuang keras untuk mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Khususnya negara-negara sedang berkembang, nampaknya harus berusaha lebih keras dalam upaya meningkatkan kemakmuran masrarakatnya. Suatu keuntungan bagi negara- negara sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah bisa mengambil pelajaran dari apa yang dialami oleh negara-negara yang sudah terdahulu mengalami kemajuan. Dalam kaitan ini, dalam upaya meningkatkan kemakmuran bangsanya, kiranya negara-negara sedang berkembang patut menyimak peringatan Task Force on Teaching as a Profession on the Carnegie Forum on Education and the Economy bahwa "Dalam usaha kemajuan, suatu bangsa harus.sepenuhnya menyadari dua kebenaran yang fundamental ; yakni, a), keberhasilan usaha mencapai kemajuan tergantung pada keberhasitan menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik daripada sebelumnya, dan b). kunci keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan tergantung pada keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan sekolah masa depan. <br />
<br />
G. Perubahan yang terus berubah <br />
<br />
Proses pendidikan tidak berlangsung dalam suasana yang steril dan vakum, melainkan proses pendidikan akan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan, baik sosial, politik, budaya, ekonomi, dan agama. Oleh karenanya, dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas guru para pemegang kebijakan di bidang pendidikan harus senantiasa mengkaji dan memahami perkembangan masyarakat. mengkaji dan memahami masyarakat lingkungan di mana pendidikan senantiasa bereaksi merupakan sesuatu yang tidak ringan, untuk tidak mengatakan hal itu sebagai sesuatu yang berat. Tetapi persoalannya akan semakin pelik, karena apa yang dinamakan dengan lingkungan masyarakat senantiasa berubah dengan cepat. Sir Charles R Snow, Filosof dan sastrawan berkebangsaan Inggris, dalam suatu karya klasiknya The Two Cultures memberikan gambaran kecepatan perubahan yang terjadi di masa depan dengan menyatakan "bahwa selama sejarah umat manusia sampai abad ini tingkat perubahan sosial sangat lambatnya sehingga perubahan dapat berlangsung tanpa kita ketahui. Tetapi lambatnya perubahan sosial tidak akan terjadi lagi. Perubahan sosial di masa datang/depan akan berlangsung sangat cepat. Begitu cepatnya perubahan sehingga imajinasi kita sekalipun tidak kuasa mengikutinya". <br />
<br />
Setiap perubahan sosial yang terjadi membawa problema baru di masyarakat. Unluk menghadapi problema-problema baru tersebut masyarakat menuntut pembaharuan pendidikan dan kualifikasi baru untuk guru. Dengan demikian, pembaharuan harus pula dilaksanakan pada lembaga pendidikan guru. <br />
<br />
Banyak problema yang akan dihadapi oleh masyarakat Indonesia sebagai konsekuensi adanya perubahan-perubahan sosial yang cepat di masa mendatang. Antara lain: <br />
1. Fungsi dan daya guna lembaga-lembaga sosial akan merosotdan tuntutan individu dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat semakin meningkat. <br />
2. Timbulnya apa yang disebut "disinformation through over information". Informasi yang berkembang di masyarakat akan melimpah sehingga Naisbitt mengatakan masyarakat akan ditenggelamkan oleh informasi. Akibatnya informasi yang ada hanya mempunyai daya laku semakin pendek. Keadaan ini juga mempengaruhi di bidang pengetahuan di mana "kebenaran hari ini adalah suatu hal yang salah untuk hari berikutnya". <br />
3. Melimpahkan informasi yang ada di masyarakat akan membawa kontradiksi informasi dan peningkatan kecepatan perubahan, yang pada gilirannya akan melecehkan kekuasaan di segala aspek kehidupan. Termasuk kekuasaan orang tua, kekuasaan tokoh-tokoh agama, dan juga kekuasaan pemimpin politik. <br />
4. Berkembangnya rasa "pesimisme" di kalangan masyarakat terhadap perkembangan yang ada, misalnya pertumbuhan penduduk yang cepat, kejahatan yang meningkat, kerusakan lingkungan yang semakin meluas. Pesimisme yang berlebihan akan bisa menimbulkan sikap tak acuh ataupun sebaliknya, sikap radikal revolusioner. <br />
5. Empat krisis uang telah disebut di depan akan menimbulkan krisis di dalam memahami apa yang terjadi di dunia ini. Ellol, sosiolog Perancis, menggambarkan krisis ini dengan mengemukakan,"Kita semua hidup di dalam suatu masyarakat yang tidak bisa dibayangkan. Seseorang tidak lagi bisa memiliki pengetahuan tentang masa depan melebihi apa yang diketahui tentang masa kini ....... Jalinan hubungan antara fenomena, reaksi satu terhadap yang lain, mekanisme hubungan antara peristiwa satu dengan yang lain yang tidak terduga, dampak dari informasi yang tidak dapat diperhitungkan lagi, faktor-faktor yang saling mengkait yang muncul begitu terpisah satu dengan yang lain......... dan perasaan terjebak pada keadaan yang memusingkan sehingga tidak dapat melepaskan diri. Masyarakat nampaknya tidak bisa melepaskan dari keadaan yang membingungkan disebabkan apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa dilihat secara menyeluruh komprehensif. <br />
<br />
M. Implikasi pada dunia pendidikan <br />
<br />
Trend perkembangan dunia sebagaimana ditunjukkan dengan adanya perubahan sosial yang cepat di atas menuntut adanya paradigma baru dunia pendidikan. Yakni adanya pandangan holistis. Pandangan ini berarti pendidikan akan menekankan pada pendekatan yang menyeluruh dan bersifat global. Pandangan holistis ini akan menimbulkan dua pembaharuan di dunia pendidikan, a). Bahwa pendidikan akan menekankan pada anak didik "berfikir secara global dan bertindak bersifat lokal", dan b). pembaharuan makna efisiensi, yakni tidak semata-mata bermakna ekonomis, tetapi meliputi pula keharmonisan dengan lingkungan, solidaritas dan kebaikan untuk semuanya.<br />
<br />
Dengan adanya paradigma baru di atas maka tuntutan kualifikasi hasil pendidikan juga akan berubah. Pendidikan dituntut untuk menekankan pengembangan kemampuan tertentu pada diri anak didik. Antara lain : a) kemampuan untuk mendekati permasalahan secara global dengan pendekatan multidisipliner, b) kemampuan untuk menyeleksi arus informasi yang sedemikian deras, untuk kemudian dapat dipergunakan untuk kehidupan sehari-hari, c) kemampuan untuk menghubungkan peristiwa satu dengan yang lain secara kreatif, d) meningkatkan kemandirian anak karena tingkat otonomi kehidupan pribadi dan keluarga semakin tinggi, e) menekankan pengajaran lebih pada learning how to learn, dari pada learning something. <br />
<br />
Sebagai konsekuensi paradigma baru pendidikan, dan tuntutan pembaharuan pendidikannya maka dunia pendidikan memerlukan guru-guru dengan kualifikasi dan kemampuan baru. Sebagai konsekuensi lebih lanjut berarti pembaharuan pendidikan menuntut pembaharuan bagi pendidikan guru. Pembaharuan pada pendidikan guru pada dasarnya di arahkan agar pendidikan guru mampu menghasilkan guru-lulusan sesuai dengan tuntutan kualifikasi masa depan di mana masyarakat senantiasa berubah dengan cepat.<br />
<br />
Implikasi perubahan masyarakat yang beritingsung dengan cepat dan pembaharuan pendidikan pada pendidikan guru antara lain dapat digambarkan sebagai berikut : <br />
1. Masyarakat mengalami perubahan-perubahan yang berlangsung terus-menerus dalam tempo yang cepat mengakibatkan pengetahuan dan kemampuan guru "merosot". Sebaliknya, perubahan-perubahan yang cepat menuntut guru harus senantiasa meningkatkan kemampuan dirinya untuk bisa memenuhi tuntutan perubahan. Sehingga pada hakekatnya para guru di masa depan dituntut untuk bisa mengembangkan life long education. Oleh karena itu lembaga pendidikan guru perlu mengembangkan inservice training yang berkesinambungan. Dengan inservice training yang berkesinambungan ini diharapkan guru senantiasa mampu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Salah satu model yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan guru adalah mengembangkan hubungan dengan alumni dalam suatu struktur organisasi yang memadai yang bisa berfungsi untuk menyebarkan pengetahuan kepada para anggota baik lewat modul-modul ataupun majalah-majalah. Kesemuanya dalam upaya menempatkan para anggota pada posisi yang mampu menyadap pengetahuan baru. <br />
2. Di masa depan arus informasi berlangsung pada debit yang sangat deras. Alfin Toffler mengatakan masyarakat akan dihadapkan pada over choices, pilihan yang berlebih-lebihan. Dalam keadaan yang sedemikian ini kemampuan yang dibutuhkan oleh warga masyarakat adalah kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat. Dengan demikian pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan pengambilan keputusan tersebut. Implikasinya pada lembaga pendidikan guru adalah bahwa beranjak dari semata-mata menekankan pada mastery learning ke arah pada pengembangan critical thinking, decision making skills dan communication skills. Dengan demikian pendidikan lembaga pendidikan guru akan menekankan pada pengembangan kemampuan untuk menseleksi informasi, kemampuan untuk memahami dan memecahkan problema, kemampuan untuk mengembangkan alternatif, dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Konsekuensi lebih lanjut proses belajar mengajar pada lembaga pendidikan guru harus bergeser dari subject oriented menjadi problem oriented. <br />
3. Membanjiri informasi di masyarakat menuntut penekanan pada proses lebih daripada hasil. Dengan demikian penyampaian materi dalam proses belajar akan lebih bersifat problem oriented daripada bersifat materi oriented. Hal ini menyebabkan guru tidak bisa lagi berperan sebagai satu-satunya sumber informasi bagi anak didik. Guru akan lebih banyak dituntut berperan sebagai fasilitator dan motivator dalam proses belajar mengajar. Implikasinya, lembaga pendidikan guru harus bisa memberikan model, bagaimana peran dosen sebagai fasilitator dan motivator. Dengan kata lain, perlu ada perubahan penampilan para dosen lembaga pendidikan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengajar. <br />
4. Perubahan-perubahan yang berlangsung dengan cepat, mengakibatkan struktur pekerjaan dan kualifikasi pekerjaan juga akan berubah dengan cepat. Akibatnya, pendidikan tidak bisa lagi mempersiapkan lulusannya untuk memasuki dunia kerja dengan sebaik-baiknya. Hal ini dikarenakan kecepatan perubahan yang terjadi menjadikan kurikulum memecahkan masalah yang sebenarnya tidak ada, dan tidak mampu memecahkan masalah yang sesungguhnya dihadapi. Dengan demikian kurikulum akan senantiasa memerlukan revisi yang relatif cepat. Konsekuensinya, diperlukan guru-guru yang mempunyai daya adaptasi tinggi, untuk mampu menghadapi perubahan kurikulum. Keadaan ini menuntut pada pendidikan guru untuk bisa menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan materi pelajaran yang senantiasa berkembang dan berubah. Oleh karena itu lembaga pendidikan guru perlu untuk menyusun kurikulum yang lebih mempunyai daya fleksibilitas dan adaptasi yang tinggi. <br />
<br />
PRADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN <br />
<br />
3.4. Mempersiapkan Kurikulum Pendidikan Abad XXI <br />
<br />
Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana berbagai aspek yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan hidup. Prosesnya bersifat kompleks dikarenakan interaksi di antara berbagai aspek tersebut, seperti guru, bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi lingkungan, metode mengajar yang digunakan, tidak selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten yang dapat dikendalikan. Hal ini mengakibatkan penjelasan terhadap fenomena pendidikan bisa berbeda-beda baik karena waktu, tempat maupun subjek yang terlibat dalam proses. Dalam proses pendidikan tersebut diatas, kurikulum menempati posisi yang menentukan. lbarat tubuh, kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus ditransfer kepada peserta didik dan bagaimana proses transfer tersebut harus dilaksanakan.<br />
<br />
Disebut berdimensi jangka panjang karena proses-pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa depan, suatu masa yang tidak mesti sama bahkan cenderung berbeda dengan masa kini. Berkaitan dengan kurikulum, dimensi jangka panjang ini memberikan pemahaman bahwa suatu kurikulum harus merupakan jembatan bagi peserta didik untuk dapat mengantarkan dari kehidupan masa kini ke kehidupan masa depan. Peserta didik yang berada di bangku sekolah dewasa ini dipersiapkan untuk dapat hidup secara layak dan bermanfaat baik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya pada abad XXI. Oleh karena itu, muncul pertanyaan bagaimana sosok kurikulum pendidikan untuk abad XXI ? <br />
<br />
A. Brain researchs <br />
<br />
Suatu kurikulum pendidikan ditentukan oleh dua faktor dasar, yakni, faktor internal yang berupa pemahaman atas bagaimana sistem kerja otak, dan, faktor eksternal yang berupa kualifikasi dan kemampuan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. <br />
<br />
Pemahaman terhadap proses pendidikan dewasa ini didasarkan pada asumsi bahwa intelegensi merupakan ciri bawaan (heredity) yang bersifat statis. Asumsi ini didukung oleh hasil brain research kala itu sebagaimana dilaporkan oleh Eral Hunt (1995) yang antara lain menunjukkan bahwa: a) sistem kerja otak statis, b) penyebaran intelegensi sebagai kurva normal berbentuk be// shape, c) terdapat kemungkinan untuk menentukan secara spesifik berapa besar intelegensi yang diperlukan untuk mempelajari konsep dan skill tertentu di sekolah dan menguasai fungsi-fungsi vokasional yang diperlukan dalam kehidupan, d) tes standarisasi dapat dipergunakan untuk mengukur intelegensi seseorang dan memprediksi kemampuan yang akan dapat dicapai, dan, e) intelegensi terdiri dari kemampuan numeric dan fingual. <br />
<br />
Implikasi dari hasil brain research ini adalah bahwa seseorang dalam belajar bersifat pasif, hanya mampu mempelajari sesuatu informasi secara bertahap poin demi poin, dalam praktek pendidikan siswa dijadikan objek yang bersifat pasif dalam menerima transmisi pengetahuan dari sumbernya, dan pemahaman komprehensif adalah strukturisasi pengetahuan dan terjadi lewat hapalan dari serpihan-serpihan informasi, serta proses pemahaman harus dikendalikan dari luar berupa sederetan aktivitas yang dilakukan oleh pengajar. Pendidikan merupakan proses penyampaian informasi tersebut dan menariknya kembali lewat tes-tes yang difokuskan pada komponen intelegensi yang statis dan penguasaan pengetahuan. Operasionalisasi dari ide ini adalah munculnya beberapa konsep dalam kurikulum, seperti a) pokok bahasan, b) sub-pokok bahasan, c) mata pelajaran requirement, d) mata pelajaran pokok, e) mata pelajaran pendukung, f) pengayaan, g) remedial, dan lain-lainnya. <br />
<br />
Penelitian mutakhir sistem kerja otak sebagaimana diuraikan oleh Caineand Caine (1991) dalam bukunya Making connection: Teaching and human brain, menunjukkan bukti yang berbeda. Intelegensi ternyata bersifat dinamis dan dapat berkembang. Lebih daripada itu, intelegensi tidak hanya berkaitan dengan aspek cognitive semata, tetapi berkaitan pula dengan emosi, sehingga disebut dengan Emotion Intellegence yang disingkat EQ (sebagai pelengkap IQ). Bukti-bukti menunjukan bahwa dalam keberhasilan pendidikan seseorang peranan IQ hanya sekitar 20 %. Sisanya 80 % sebagian besar ditentukan oleh EQ dan faktor kedewasaan sosial. EQ adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan aspek-aspek psikologis dalam diri sendiri yang mencakup a) amarah, b) kesedihan, c) rasa takut, d) kenikmatan, e) cin+a, f) terkejut, g) jengkel, dan, h) malu. Kemampuan mengendalikan aspek psikologis diperlukan agar EQ ini bisa bekerja secara harmonis dengan IQ. Singkat kata, kalau EQ baik otak akan dapat bekerja dengan baik pula. <br />
<br />
Emosi akan memberikan respon terhadap stimulus yang diterima secara sangat cepat, begitu cepatnya sehingga otak belum sempat bereaksi. Ketidakmampuan mengendalikan aspek-aspek psikologis tersebut (atau EQ di atas) menyebabkan perilaku seseorang tidak didasarkan oleh otak tetapi oleh emosi. Oleh karenanya, kemampuan mengendalikan aspek psikologis atau EQ ini perlu dilatih dan dikembangkan untuk menghasilkan respon-respon yang baik dan tepat. <br />
<br />
Hasil-hasil penelitian sistem kerja otak mutakhir tersebut juga menunjukkan bahwa: <br />
1. Pemahaman adalah merupakan hasil interaksi siswa dengan informasi dalam situasi spesifik. <br />
2. Keahlian memerlukan pengalaman yang banyak dan analitik. <br />
3. Ingatan dan penggunaan apa yang diingat tersebut membutuhkan proses informasi yang mendalam yang ditentukan oleh kebermaknaan informasi tersebut. <br />
4. Intelegensi tidak hanya memiliki aspek cognitive (berwajah cognitive atau didominasi oleh aspek cognitive) tetapi memiliki multi aspek (banyak wajah). Howard Gardner, ahli psikologi Cognitive dari Harvard University, telah mengembangkan teori multiple abilities, talents, and skills. Teori lama yang hanya menekankan pendidikan pada dua kemampuan: verbal-linguistics dan logical-mathematical, sudah ketinggalan zaman. Terdapat berbagai kemampuan atau bakat yang dapat memperkaya dan memajukan kehidupan dalam merespon lingkungan secara efektif. Berbagai kemampuan tersebut antara lain: <br />
a. Kapasitas untuk memahami ruang dan bidang yang dapat dipergunakan untuk memahami berbagai keberadaan geografis, navigasi atau untuk mengembangkan persepsi seseorang. Dalam tingkat yang sederhana, adalah kemampuan untuk memahami berbagai bentuk-bentuk yang berkaitan. <br />
b. Bodily-kinesthetic ability untuk mengontrol gerakan dan perilaku tubuh seseorang dan menangani objek secara profesional. <br />
c. Musical-rhytmatical ability untuk menghasilkan atau mengapresiasi ritme, nada dan berbgai bentuk ekspresi musik. <br />
d. Interpersonal capacity untuk menanggapi secara tepat temperamen, moods, motivasi keinginan fihak lain. <br />
e. Intrapersonal knowledge dari perasaannya, kekuatan, kelemahan, keinginan serta kemampuan diri sendiri untuk mengambil kesimpulan sebagai petunjuk perilakunya sendiri. <br />
f. Logical-mathematical ability untuk menjabarkan sesuatu secara logis atau pola pengelompokan numerik, dan menangani hubungan panjang yang saling berkaitan. <br />
g. Verbal-Linguistics sensitivity atas suara, irama, makna kata dan sensitif terhadap berbagai fungsi bahasa. <br />
<br />
Brain research memastikan bahwa pengalaman konkret, kompleks dan beraneka warna sangat esensial bagi proses belajar mengajar. Siswa perlu memahami secara baik pola-pola yang lebih besar sebab bagian-bagian senantiasa tertempel pada keutuhan, fakta senantiasa berada pada konteks yang beraneka warna, dan satu subjek pasti terkait dengan banyak isu dan subjek lain. Apa yang harus dikuasai oleh siswa adalah pemahaman yang bermakna. Otak diciptakan sebagai suatu pola detektor yang bekerja secara dinamis, dan memahami suatu subjek sebagai hasil dari pemahaman hubungan dari berbagai faktor. <br />
<br />
Hal di atas tidak berarti bahwa teori dan sesuatu yang abstrak tidak perlu dipelajari, melainkan sebaliknya, dalam dunia yang berubah dengan cepat, semakin banyak teori, konsep, dan pemahaman dimiliki oleh seseorang, semakin besar kemampuan orang tersebut untuk mentransfer dan menjual skill yang dimiliki. <br />
<br />
B. Pergeseran struktur tenaga kerja <br />
<br />
Bagaimana dampak pergeseran struktur tenaga kerja terhadap pendidikan? Dunia kerja tetap saja harus menyediakan jutaan dollar untuk pelatihan, terutama untuk pelatihan dalam rangka meningkatkan high-level-cognitive dan technical skill yang diperlukan pada era industri informasi ini. Apa maknanya bagi dunia pendidikan? Dunia pendidikan harus berani mengevaluasi untuk menentukan seberapa besar materi yang ada sekarang ini yang perlu diberikan kepada peserta didik. Sekolah perlu mengurangi materi yang sekarang ini dan menambah materi-materi baru yang diperlukan oleh dunia industri di masa mendatang. Oleh karena itu, membangun jembatan antara sekolah dan dunia kerja harus merupakan program dari sekolah. <br />
<br />
Pada abad XX dunia kerja ditandai dengan produksi massal dan terstandarisasi untuk menurunkan ongkos produksi. Proses produksi semacam ini bersifat mekanistis yang memerlukan tenaga kerja khusus namun kontrol tenaga kerja terbatas, sistem quality control jelas, dan proses produksi harus dijauhkan dari kemalasan tenaga kerja. <br />
<br />
Namun proses produksi pada abad XXI berubah. Pasar dewasa ini bersifat fleksibel, harus dapat segera menanggapi perubahan, dan kerjasama .dalam menyusun ongkos merupakan kunci utama untuk dapat menang dalam persaingan. Oleh karena itu, organisasi dunia industri memerlukan a) integrasi dari semua bagian dari proses produksi seperti bagian perencanaan, mesin, pemasaran, proses produksi, dll., b) herarkis struktur organisasi yang mendatar, c) desentralisasi tanggung jawab, dan, d) lebih banyak melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan di segala jenjang. Sistem ini akan lebih responsif terhadap tuntutan dan kebutuhan perubahan, fleksibel, dan lebih memungkinkan untuk melaksanakan pembaharuan yang berlangsung secara terus menerus. Narnun, sistem ini memerlukan tenga kerja yang memiliki skiil yang berbeda-beda dan skiil yang lebih tinggi serta lebih terdidik. Persoalan yang muncul adalah: 1) Berapa besar konsekuensi dari perubahan tersebut? 2) Seberapa besar cakupan perubahan pada berbagai perusahaan pada dunia industri. 3) Sebarapa jauh perubahan tersebut akan terjadi secara permanen? <br />
<br />
Pada masa awal perubahan, tetap saja lebih banyak pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja dengan skill yang rendah, seperti dalam usaha rumah makan, warung kebutuhan sehari-hari dan kerja administrasi kantor, dan tipe pekerjaan tersebut akan merupakan pilihan utama bagi pencari <br />
kerja untuk pertama kali. Namun dalam perkembangannya tahap demi tahap dunia kerja harus direstrukturisasi sehingga merupakan pekerjaan yang memerlukan kemampuan pekerja yang lebih tinggi. <br />
<br />
Pendidikan tidak hanya mempersiapkan peserta didik untuk mampu bekerja pada satu jenis bidang yang relevan. Melainkan, pendidikan harus dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu memasuki berbagai bidang kerja. Sekolah Menengah Umum, di samping harus mampu mempersiapkan lulusan untuk memasuki dunia pendidikan tinggi, harus pula mampu mempersiapkan lulusan untuk siap memasuki pelatihan dari dunia kerja untuk memasuki berbagai bidang. <br />
<br />
Namun, dibalik itu kita harus mencatat temuan hasil suatu penelitian. Dalam research cognitive, antropologi dan otak, sebagaimana dilaporkan oleh Raizen (1989) dalam Reforming education at work: A Cognitive science perspective, menunjukkan bahwa seseorang belajar secara berbeda lewat pengalaman dalam kehidupan dibandingkan pengalaman dari sekolah formal. Namun, meski hasil-hasil penelitian tersebut meyakinkan, apa yang terdapat dalam proses pendidikan formal tetap saja tidak pernah memperhitungkan atau mengabaikan pengalaman yang terjadi di luar sekolah. Hasilnya terdapat kesenjangan antara pengalaman di sekolah dan apa yang ada di masyarakat, antara lain sebagai berikut: <br />
1. Sekolah menekankan pada individual performance, sebaliknya apa yang terjadi di luar sekolah senantiasa menekankan socially shared performance. <br />
2. Sekolah menekankan pada pemikiran yang tidak memerlukan alat bantu, sebaliknya dunia kerja senantiasa memerlukan alat bantu. <br />
3. Sekolah senantiasa menekankan pada simbol-simbol yang terpisah dari objek, sebaliknya kehidupan dunia kerja menekankan pada upaya riil dalam menangani objek. <br />
4. Sekolah bertujuan untuk menyerap pengetahuan dan skill secara urnum, sebaliknya dunia kerja memfokuskan pada pengetahuan dan skill yang relevan dengan situasi tertentu. <br />
C. Implikasi pendidikan jangka panjang <br />
<br />
Hasil Brain research dan pergeseran struktur tenaga kerja tersebut di atas mengajarkan pada kita hal-hal sebagai berikut: <br />
<br />
Pertama, pada diri siswa perlu dikembangkan kemampuan dasar, meliputi: a) basic skills, b) thinking skill, dan, c) personal skill. Basic skill antara lain membaca dan menginterpretasikan informasi, menulis dan mengembangkan informasi, matematik dan berhitung, mendengarkan, dan berbicara. Thinking skill terdiri dari: kreativitas, pengambilan keputusan, problem solving, visualizing, knowing hot to learn, dan, reasoning. Personal skill meliputi: kemampuan mengendalikan diri, tanggung jawab, self-esteem, sociability, self-management, dan integritas-kejujuran. <br />
<br />
Kedua, kemampuan mengembangkan di tempat kerja, mencakup: a) kemampun untuk mengidentifikasi, mengorganisasi, merencanakan dan mengalokasi sumber-sumber, b) bekerjasama dengan orang lain (interpersonal skill), c) menguasai dan memanfaatkan informasi, d) memahami hubungan sosial, organisasi, dan teknologi yang kompleks (sistem) dan dapat bekerja sesuai dengan sistem serta menyempurnakan sistem yang ada, dan, e) bekerja dengan berbagai teknologi, termasuk pemilihan, aplikasi, perawatan dan memecahkan problem. <br />
<br />
Ketiga, sistem pengelolaan penyampaian bahan pelajaran bercirikan sebagai berikut: a) penyajian materi bersifat tematik yang merupakan kombinasi beberapa pokok bahasan yang bersifat lintas bidang, b) pengajar merupakan team teaching bukan lagi individual, c) model cooperatiye learning sebagai pengganti individual learning, dan, d) outcome aspek afektif lebih jelas. <br />
<br />
Lebih khusus, hasil-hasil penelitian sistem kerja otak dan pergeseran struktur tenaga kerja dalam jangka panjang memiliki implikasi terhadap proses belajar mengajar, sebagai berikut : <br />
<br />
PERBEDAAN PROSES PEMBELAJARAN <br />
MODEL LAMA DAN MODEL BARU <br />
<br />
No Aspek Pemahaman Sistem Kerja Otak dan Struktur Kerja Lama Pemahaman Sistem Kerja Otak dan Struktur Kerja Baru <br />
1. Penyajian Materi Tersusun dalam pokok bahasan dan sub pokok bahasan Tersusun dalam problem, tema dan terintegrasi <br />
2. Outcome Aspek kognitif sangat menonjol, aspek afektif lemah <br />
3. Guru Individual Team Teaching<br />
4. Prosedur Relatif rigid Relatif fleksibel <br />
5. Sasaran Pemahaman konsep Pemahaman konsep, hubungan dan keterkaitan <br />
6. Pinsip-model Learning Individual learning Cooperative learning<br />
7. Sasaran evaluasi Individu Individu dan kelompok <br />
8. Pola belajar Potongan demi potongan menjadi gambar Kerangka untuk ditempel gambar <br />
<br />
D. Implikasi dalam pendidikan jangka pendek <br />
<br />
Berbagi kebijakan dan inovasi pendidikan dewasa ini, sadar atau tidak, lebih banyak ditujukan sebagai konsumsi para siswa yang memiliki IQ relatif tinggi. Sebut saja sebagai contoh pembaharuan kurikulum dan diperkenalkannya matematika modern lebih menguntungkan mereka para siswa yang memiliki otak relatif encer. Ditambah lagi dengan sistem pengajaran yang bersifat klasikal tanpa membedakan perbedaan individu menyebabkan anak yang berotak encer akan semakin pandai, sebaliknya anak yang berotak relatif bebal akan tetap ketinggalan. Sedangkan, fakta menunjukkan siswa yang memiliki otak relatif encer paling tinggi hanya sekitar 10%. Dengan kata lain, kebijakan dan pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan hanya menguntungkan bagi 10% siswa terpandai. <br />
<br />
Temuan-temuan penelitian otak (brain research) mutakhir seperti yang diungkapkan oleh Goleman dalam buku ’Emotion Intelfigence’, memberikan kemungkinan dikembangkannya kebijakan yang dapat meningkatkan keberhasilan pendidikan 90% siswa yang memiliki intelegensi biasa-biasa atau malah relatif lemah. Artinya, sangat dimungkinkan kemampuan EQ dikembangkan, sehingga meski IQ tidak terlalu tinggi siswa akan berhasil dalam pendidikannya. <br />
<br />
Apakah emosi itu? Emosi menurut Goleman, adalah "suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Ada ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi dan nuansanya." EQ, merupakan kemampuan untuk mengendalikan, mengorganisir dan mempergunakan emosi ke arah kegiatan yang mendatangkan hasil optimal. Dengan emosi yang dikendalikan akan merupakan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi dengan baik. <br />
<br />
Penjabaran emosi seringkali muncul dalam berbagai bentuk. Antara lain, marah, ketakutan, perasaan senang, cinta, kesedihan, kenikmatan, keterkejutan, kejengkelan, dan malu. Emosi tersebut tidak statis tetapi berkembang sejalan dengan perkembangan usia seseorang. Semakin dewasa emosi yang dimiliki akan semakin matang. Namun, kedewasaan emosi juga bisa berkembang sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, baik interaksi tersebut disengaja oleh fihak lain ataupun tidak. Dengan demikian, guru bisa berperan sebagai faktor lingkungan. Secara sadar ataupun tidak, baik direncanakan ataupun tidak perilaku mengajar guru di kelas mempengaruhi perkembangan emosi siswa. Oleh karena itu, pemahaman baru tentang kerja otak mengajarkan pada kita yang bergerak di dunia pendidikan, bahwa selain melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi yang meningkatkan kemampuan otak siswa, para pendidik, khususnya guru harus pula memiliki program aksi untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Keberhasilan guru mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan emosi akan menghasilkan perilaku siswa yang baik. Jadi, terdapat dua keuntungan kalau sekolah berhasil mengembangkan kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi yang terkendali akan memberikan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi secara optimal. Kedua, emosi yang terkendali akan menghasilkan perilaku yang baik.<br />
<br />
Namun, perkembangan emosi siswa banyak dipengaruhi dengan proses yang terjadi di luar sekolah, terutama di lingkungan keluarga. Oleh karena itu, dalam upaya sekolah mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan emosi, guru harus senantiasa melakukan komunikasi dengan orang tua siswa. Tidak jarang, siswa tidak memiliki rasa memiliki keluarga, artinya, mereka ini tidak merasa aman dan nikmat di lingkungan keluarga. Dalam kasus ini peran sekolah yang penting. <br />
<br />
Upaya sekolah mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan emosi didasarkan pada tiga hal: <br />
<br />
Pertama, sekolah harus mampu menciptakan rasa aman bagi para siswa:<br />
1. Atmosfir kelas yang demokratis <br />
2. Guru memahami kondisi siswa. <br />
<br />
Kedua, sekolah harus mampu menciptakan self-efficcy pada diri siswa, yakni rasa bahwa ia memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas sekolah. Langkah yang dapat dilakukan, antara lain: <br />
1. Guru harus menghindari dari menyalahkan siswa. Untuk mengatakan bahwa siswa salah harus diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak membikin siswa malu. <br />
2. Guru menghindarkan diri dari perilaku mengejek siswa yang dapat merendahkan mental yang bersangkutan. <br />
3. Guru lebih banyak mempersilakan siswa secara sukarela (voluntir) menjawab pertanyaan atau soal. Kalau menunjuk siswa, guru perlu menghindarkan diri dari menyuruh siswa untuk menjawab pertanyaan atau soal, yang guru sendiri sudah memiliki pandangan bahwa siswa tersebut tidak akan bisa menjawab. <br />
4. Sekolah harus memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengekspresikan emosinya daripada membendung dan menumpas emosi siswa. Olah raga dan kegiatan kesenian merupakan saluran yang paling baik untuk menyalurkan emosi siswa. <br />
5. Guru harus bersedia dikritik oleh siswa tanpa menunjukkan rasa marah atau jengkel. Siswa akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi apabila para guru terlebih dahulu memiliki hal yang sama. <br />
Pergeseran struktur tenaga kerja, memiliki implikasi dalam perspektif jangka pendek, antara lain sebagai berikut: <br />
1. Sekolah dan Guru harus mulai memperbanyak tugas-tugas yang harus dikerjakan secara kelompok, dengan tujuan meningkatkan kemampuan siswa bekerjasama dalam kelompok. <br />
2. Sekolah dan guru harus senantiasa mengembangkan kaitan antara apa yang dipelajari di sekolah dan kehidupan riil di masyarakat. <br />
3. Siswa dibiasakan dan dilatih untuk mencermati apa yang terjadi di lingkungannya, serta menyusun laporan sebagai hasil pengamatan tersebut. <br />
4. Semenjak dini siswa sudah dibiasakan dengan tugas-tugas yang memiliki dampak positif bagi masyarakatnya. Misal, kerja bakti, siswa mengajar anak yang lebih muda. <br />
Ketiga, sekolah harus dapat membantu siswa dalam menyalurkan emosi lewat kegiatan yang positif dan konstruktif.<br />
<br />
Kebersamaan dalam Belajar untuk Menghilangkan Ketimpangan <br />
<br />
A. Ketimpangan dalam pendidikan <br />
<br />
Kesenjangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang bersifat global, terjadi baik di negara maju ataupun terbelakang. Bahkan proses integrasi ekonomi global cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan kelompok miskin. Lembaga studi di Amerika Serikat, misalnya, Institute for Policy Study sebagaimana dimuat pada Herald Tribune, 24 Januari 1997, mengemukakan bahwa ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin yang luar biasa. Diramalkan bahwa kekayaan dari 447 orang terkaya di dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk miskin yang mencakup sekitar separo jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga penduduk dunia akan mengalami proses pemiskinan. Di bidang tenaga kerja, 200 industri terkemuka dunia akan menguasai sekitar 28% kegiatan ekonomi dunia, tetapi hanya menyerap 1% dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif rendah. Bagi negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial bisa merupakan ancaman keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan berakumulasi dan bersinergi dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleks. Ujung-ujungnya, persoalan ketimpangan sosial ekonomi tersebut akan mengganggu proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak hanya perlu dijadikan topik pembahasan di berbagai seminar tetapi perlu untuk dicari pemecahannya secara jernih. <br />
<br />
Merupakan sesuatu yang jamak, bahwa bangsa yang menghadapi problem akan menengok kepada pendidikan. Peran apakah yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk memecahkan persoalan kesenjangan sosial tersebut? Namun, ternyata pendidikan sendiri tidak bebas dari ketimpangan sosial. Malahan banyak paedagog atau sosiolog, seperti Randall Collins dalam The Credentiai Society: An Historical Sosiology of Education and Stratafication, mengemukakan bukti-bukti bahwa justru pendidikan formal merupakan awal dari proses stratafikasi sosial itu sendiri. Di Indonesia tesis ini didukung dengan adanya pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari kalangan keluarga mampu dan miskin. Anak dari kalangan berada memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasuki sekolah yang baik semenjak dari TK sampai jurusan-jurusan pilihan di universitas pilihan. Sebaliknya, sebagian besar anak dari golongan masyarakat yang tidak mampu harus menerima kenyataan bahwa mereka harus rela memasuki sekolah yang tidak berkualitas sepanjang masa sekolahnya. <br />
<br />
Tidak jarang sekolah yang jelek yang berada di kota-kota, lebih khusus lagi di kota-kota besar cenderung akrab dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Di samping itu lingkungan sekolah yang tidak berkualitas cenderung memunculkan kekerasan. Anak-anak dari keluarga miskin yang berada di sekolah-sekolah yang "tidak bermutu" sadar bahwa mereka tidak akan mampu bersaing dengan anak-anak dari sekolah yang "bermutu" yang kebanyakan datang dari keluarga mampu. Mereka, sejak dini sudah dipaksa memendam dendam yang tidak pernah terekspresikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan anak-anak yang lahir dari kelompok miskin cenderung menjadi penganggur, lingkungan fisik dan psikis tergencet serta dibayangi dengan tindak kejahatan. Hal ini acapkali menjadikan anak memiliki emosi yang tidak stabil, mudah marah, agresif dan frustasi, dan gampang terkena provokasi.<br />
<br />
Latar belakang keluarga yang didominasi oleh kemiskinan ini menjadikan mereka yang semula menganggap sekolah sebagai surga, ternata mengalami kenyataan yang berbeda. Di sekolah mereka sering menemui kenyataan betapa sulit untuk menjadikan guru sebagai panutan dan sekaligus pengayom. Interaksi di sekolah justru semakin menjadikan mereka frustrasi. Sekolah tidak memberikan kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Keadaan bertambah buruk manakala banyak guru dapat dikatakan tidak mampu lagi menciptakan hubungan yang bermakna dengan para siswa dengan baik. Hal ini dikarenakan beban kurikulum yang terlalu sarat di samping kondisi sosial ekonomi menyebabkan guru tidak dapat berkonsentrasi dan melakukan refleksi dalam melaksanakan pengabdian profesionalnya. Tanpa ada kontak yang bermakna dan berkesinambungan antara guru dan siswa, guru tidak akan mampu mengembangkan wawasan siswa mengenai perilaku masa kini demi keberhasilan di masa depan. <br />
<br />
B. Dimensi ketimpangan <br />
<br />
Dimensi ketimpangan sosial di sekolah sesungguhnya tidak serumit yang terjadi di masyarakat luas. Mark Griffin dan Margaret Batten, peneliti pendidikan berkebangsaan Australia, dalam bukunya 'Equity in Schools: An independent Perspective', mengemukakan dua aspek penting dalam mengkaji ketimpangan di dunia pendidikan. Pertama ujud ketimpangan, yang dapat terjadi dalam ujud input, yakni kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, atau ketimpangan dalam ujud output atau hasil pendidikan. Kedua, ukuran ketimpangan, yang dapat diukur pada level individu atau ketimpangan pada level kelompok, seperti kelompok siswa kaya dan miskin, kelompok siswa berasal dari desa dan dari kota, kelompok siswa laki-laki dan siswa pe rempuan. Apa yang dikernukakan oleh kedua peneliti pendidikan tersebut amat penting untuk merencanakan intervensi lewat kebijakan pendidikan guna mengatasi problem ketimpangan pendidikan. <br />
<br />
Aspek ketimpangan dalam ujud output pendidikan dipusatkan pada kualitas lulusan baik dalam arti nilai akhir ujian seperti NEM ataupun dalam arti kualitas kemampuan lulusan. Dimensi tersebut dapat dianalisis pada level mikro individual atau dalam level makro atau kelompok. Intern suatu sekolah dapat diketemukan perbedaan prestasi antar siswa yang erat berkaitan dengan latar belakang status sosial masing-masing individu. Tetapi di samping itu, perbedaan diketemukan dalam perbandingn antar kelompok, baik intern satu sekolah maupun antar sekolah. Sekali lagi perbedaan tersebut erat berkaitan dengan status sosial ekonomi kelompok yang bersangkutan. <br />
<br />
James Coleman dalam 'Equality of educational opportunity' merupakan sosiolog yang telah membuktikan adanya realitas ketimpangan output pendidikan dalam kaitan dengan ketimpangan input pada level kelompok di Amerika Serikat. Namun, hanya sekitar 10% varian ketimpangan output yang dapat dijelaskan oleh ketimpangan input. Artinya, ketersediaan fasilitas pendidikan, rasio guru-siswa, kualitas guru, hanya memberikan kontribusi kecil dalam menimbulkan ketimpangan output. <br />
<br />
Sedangkan Frederick Jenck dalam laporan penelitian Inequity in Education membuktikan ketimpangan output pendidikan dengan menggunakan pada level individual. Namun, kajian ketimpangan pendidikan yang didasarkan pada output pendidikan dikritik keras oleh John Keevess, lewat artikelnya Equitable Opportunities in Australian education, sebab pendekatan output menjadikan ketimpangan pendidikan sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipecahkan dan upaya mengatasi ketimpangan lebih tepat disebut sebagai suatu ilusi. <br />
<br />
Sebaliknya, pendekatan input lebih praktis dan lebih operasional. Pendekatan ini melihat adanya ketimpangan pendidikan dalam ujud bahwa siswa mendapatkan kesempatan untuk menikmati fasilitas pendidikan yang tidak sama. Perbedaan ini bisa berupa kualitas guru, prasarana dan fasilitas pendidikan, dan sebagainya. Ketimpangan pendidikan dalam kesempatan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan dapat dianalisis pada level individu ataupun kelompok. Ketimpangan input dan proses ini lebih mudah diatasi dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan. Perbedaan antar individu dalam suatu sekolah dapat diatasi, misalnya, dengan penyediaan fasilitas buku sehingga setiap siswa bisa menggunakan satu buku. Tetapi, pengalaman di banyak negara sedang berkembang termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa kualitas input tidak selamanya akan meningkatkan output pendidikan, sebagaimana disimpulkan oleh Coleman di atas. Sebab, dibalik kesamaan fisik yang diperoleh oleh masing-masing individu muncul pertanyaan apakah siswa dengan latar belakang sosial ekonomi tinggi mendapatkan pelayanan yang sama dengan siswa yang berasal dari keluarga miskin? Apakah guru benar-benar dapat berperilaku adil terhadap semua siswa tanpa melihat latar belakang mereka? <br />
<br />
Dengan mendasarkan pada dua dimensi di atas, ketimpangan sekolah dapat dikelompokkan dalam empat varian: a) ketimpangan dalam ujud input dalam ukuran individual, b) ketimpangan dalam ujud input dalam ukuran kelompok, c) ketimpangan dalam ujud output dalam ukuran individual, dan, d) ketimpangan dalam ujud output dalam ukuran kelompok. Pemecahan permasalahan ketimpangan masing-masing kelompok memerlukan kebijakan intervensi yang berbeda. <br />
<br />
C. Cooperative learning <br />
<br />
Proses sekolah dewasa ini senantiasa menekankan pengembangan siswa sebagai individu, sekolah tidak pernah mengembangkan siswa secara bersama sebagai suatu kelompok. Mulai dari tugas-tugas harian, tanya jawab dan diskusi di kelas sampai evaluasi akhir hasil studi, semua itu merupakan tugas invidual. Dalam persaingan untuk mencapai prestasi di antara siswa ini sekolah sama sekali tidak menanamkan semangat kerjasama dan solidaritas sosial. Layaknya pada persaingan bebas di dunia ekonomi siapa yang kuat akan berkembang, demikian pula di dunia pendidikan. Panekanan pada pengembangan siswa secara individual menyebabkan kesenjangan hasil pendidikan. Ditambah lagi, setiap pembaharuan pendidikan pada umumnya senantiasa menguntungkan siswa yang relatif mampu dan berdomisili di kota-kota, sehingga kesenjangan pendidikan semakin tajam. Sebagai contoh, pengenalan matematika modern menyebabkan kesenjangan prestasi siswa baik pada level individual maupun level kelompok semakin menganga.<br />
<br />
Sejalan dengan perlunya dikembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa, pendekatan individu dalam dunia pendidikan perlu diimbangi dengan pendekatan yang berbasis kerjasama, kebersamaan dan kolaborasi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam kerjasama, dan kemampuan bernegosiasi, berkomunikasi serta kemampuan untuk mengambil keputusan. Salah satu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang berbasis kelompok adalah Cooperative Learning. Kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerjasama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Di samping tujuan bersama yang akan dicapai, kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran ini juga diarahkan untuk mengembangkan kemampuan kerjasama di antara para siswa. Dengan pendekatan ini, guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan secara kelompok. Bahkan penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip kelompok. Artinya, hasil individu siswa tidak hanya didasarkan kemampuan masing-masing, tetapi juga dilihat berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa yang kurang pandai demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya bertanggung jawab atas kemajuan dan keberhasilan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan kelompoknya.<br />
<br />
Berbagai hasil penelitian menyimpulkan manfaat Cooperative teaming. Robert E. Slavin dan Nancy A. Madden, dalam hasil penelitian tentang "School Practices That improve Race Relations" yang dimuat pada American Educational Research Journal menyatakan: dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Cooperative learning dalam pembelajaran menghasilkan prestasi akademik yang lebih tinggi untuk seluruh siswa, kemampuan lebih baik untuk melakukan hubungan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, serta mampu mengembangkan saling kepercayaan sesamanya, baik secara individual maupun kelompok. Secara lebih terperinci hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa bukannya pelatihan guru, buku-buku civics, sejarah, dan diskusi-diskusi di kelas yang mempengaruhi sikap dan perilaku sosial siswa, melainkan tugas-tugas yang diberikan secara kelompok yang secara meyakinkan telah berhasil mengembangkan hubungan, sikap dan perilaku sosial siswa. <br />
<br />
Dengan kata lain, apabila guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan mempergunakan Cooperative Learning, berarti guru tersebut sudah berperan dalam mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam ujud output pada level individual. Di samping itu, berkembangnya kesetiakawanan dan solidaritas sosial di kalangan siswa pada gilirannya akan dapat mengurangi ketimpangan dalam ujud input pada level individual. Demikian pula dapat diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang di samping memiliki prestasi akademik yang cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat. <br />
<br />
Intervensi untuk mengurangi ketimpangan sosial harus dimulai dari lembaga pendidikan. Cooperative Learning merupakan suatu kebijakan dalam proses belajar mengajar yang memiliki prospek yang cerah untuk menciptakan equity di dunia pendidikan. Dengan Cooperative Learning ini pula pada hakekatnya merupakan upaya untuk menempatkan proses pendidikan pada rel yang sebenarnya, yakni menghasilkan manusia yang ber-''otak" dan ber-''hati".<br />
<br />
<br />
PRADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN <br />
<br />
3.6. Kultur Sekolah dan Prestasi Siswa <br />
<br />
Dengan dana yang tidak sedikit telah banyak dilaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, seperti penyelenggaraan penataran guru, penyediaan buku teks siswa, dan pengadaan alat-alat laboratorium. Namun demikian, kualitas sekolah dari sekolah dasar sampai sekolah menengah tidak mengalami kenaikan yang berarti. Hal ini, sudah barang tentu, menimbulkan tanda tanya besar: Dimana letak permasalahannya? <br />
<br />
Untuk memberikan jawaban hipotetis atas persoalan tersebut, nampaknya hasil kajian Hanushek atas berbagai laporan penelitian pendidikan di negara-negara sedang berkembang patut diperhatikan. Hanushek menyimpulkan "bahwa upaya meningkatkan kualitas pendidikan adalah tidak semudah yang diduga. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan "konvensional" dalam meningkatkan mutu dengan menyediakan dana meningkatkan kualitas serta kuantitas variabel input, seperti pelatihan guru, penyediaan buku teks, penyediaan fasilitas pendidikan yang lain, tidaklah menghasilkan sebagaimana yang diinginkan". Oleh karena itu, agar mutu meningkat, selain dilakukan secara konvensional sebagaimana selama ini telah dilaksanakan perlu diiringi pula dengan pendekatan in-konvensional. <br />
<br />
A. Kultur sekolah <br />
<br />
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yakni: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. Program aksi untuk peningkatan mutu sekolah secara konvensional senantiasa menekankan pada aspek pertama, yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah, karena aspek itulah yang paling dekat dengan prestasi siswa. Namun, sejauh ini bukti-bukti telah menunjukkan, sebagaimana dikemukakan oleh Hanushek di atas, bahwa sasaran peningkatan kualitas pada aspek PBM saja tidak cukup. Dengan kata lain perlu dikaji untuk melakukan pendekatan in-konvensional yakni, meningkatkan mutu dengan sasaran mengembangkan kultur sekolah.<br />
<br />
Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut. <br />
<br />
Dalam dunia pendidikan, semula kultur suatu bangsa (bukan kultur sekolah) yang diduga sebagai faktor yang paling menentukan kualitas sekolah. Tetapi berbagai penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa terhadap prestasi pendidikan tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti terakhir, hasil TIMSS (The Third international Math and Science Study) menunjukkan bahwa siswa dari Jepang, dan Belgia sama-sama menempati pada rangking atas untuk mata pelajaran matematik, padahal kultur negara-negara tersebut berbeda. Oleh karena itu, para peneliti pendidikan lebih memfokuskan pada kultur sekolah, bukannya kultur masyarakat secara umum, sebagai salah satu faktor penentu kualitas sekolah. Tesis ini sesuai dengan temuan-temuan mutakhir penelitian di bidang pendidikan yang menekankan bahwa "faktor penentu kualitas pendidikan tidak hanya dalam ujud fisik, seperti keberadaan guru yang berkualitas, kelengkapan peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi juga dalam ujud non-fisik, yakni berupa kultur sekolah". <br />
<br />
Konsep kultur di dunia pendidikan berasal dari kultur tempat kerja di dunia industri, yakni merupakan situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk berlangsungnya suatu proses pembelajaran secara efisien dan efektif. Salah satu ilmuwan yang memberikan sumbangan penting dalam hal ini adalah Antropolog Clifford Geertz yang mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit. Berdasarkan pengertian kultur menurut Clifford Geertz tersebut di atas, kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Kultur sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah. <br />
<br />
Pengaruh kultur sekolah atas prestasi siswa di Amerika Serikat telah dibuktikan lewat penelitian empiris. Kultur yang "sehat" memiliki korelasi yang tinggi dengan a) prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, b) sikap dan motivsi kerja guru, dan, c) produktivitas dan kepuasan kerja guru. Namun demikian, analisis kultur sekolah harus dilihat sebagai bagian suatu kesatuan sekolah yang utuh. Artinya, sesuatu yang ada pada suatu kultur sekolah hanya dapat dilihat dan dijelaskan dalam kaitan dengan aspek yang lain, seperti, a) rangsangan untuk berprestasi, b) penghargaan yang tinggi terhadap prestasi, c) komunitas sekolah yang tertib, d) pemahaman tujuan sekolah, e) ideologi organisasi yang kuat, f) partisipasi orang tua siswa, g) kepemimpinan kepala sekolah, dan, h) hubungan akrab di antara guru. Dengan kata lain, dampak kultur sekolah terhadap prestasi siswa meskipun sangat kuat tetapi tidaklah bersifat langsung, melainkan lewat berbagai variabel, antara lain seperti semangat kerja keras dan kemauan untuk berprestasi.<br />
<br />
Di Indonesia belum banyak diungkap penelitian yang menyangkut kultur sekolah dalam kaitannya dengan prestasi siswa. Tetapi mengingat bahwa sekolah sebagai suatu sistem di manapun berada adalah relatif sama, maka hasil penelitian di Amerika Serikat tersebut perlu mendapatkan perhatian, paling tidak dapat dijadikan jawaban hipotetis bagi persoalan pendidikan kita. <br />
<br />
B. Faktor pembentuk kultur sekolah <br />
<br />
Nilai, moral, sikap dan perilaku siswa tumbuh berkembang selama waktu di sekolah, dan perkembangan mereka tidak dapat dihindarkan yang dipengaruhi oleh struktur dan kultur sekolah, serta oleh interaksi mereka dengan aspek-aspek dan komponen yang ada di sekolah, seperti kepala sekolah, guru, materi pelajaran dan antar siswa sendiri. Aturan sekolah yang ketat berlebihan dan ritual sekolah yang membosankan tidak jarang menimbulkan konflik baik antar siswa maupun antara sekolah dan siswa. Sebab aturan dan ritual sekolah tersebut tidak selamanya dapat diterima oleh siswa. Aturan dan ritual yang oleh siswa diyakini tidak mendatangkan kebaikan bagi mereka, tetapi tetap dipaksakan akan menjadikan sekolah tidak memberikan tempat bagi siswa untuk menjadi dirinya. <br />
<br />
Di Amerika Serikat pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kultur sekolah ini. Ann Bradley dalam 'Hardly Working' mengemukakan hasil penelitian tersebut. Penelitian yang mencakup 1.000 siswa di New York City menunjukkan bahwa para siswa tidak bekerja keras dan mereka menyatakan kalau dia mau dia akan dapat mencapai nilai yang lebih baik; mereka tidak menghendaki ikut tes karena hanya akan membikin mereka harus belajar lebih banyak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek, dan hanya beberapa siswa yang selalu mengerjakan PR. Sekitar 60% menyatakan mereka malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik dan tidak antusias dalam mengajar, serta tidak menguasai materi. Di samping itu sebagian besar responden menyatakan bahwa sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar, sekitar 80% mau belajar keras kalau semua proses belajar di sekolah berjalan secara tepat sebagaimana jadwal yang telah ditentukan. Sebagian siswa yang lain mengeluh karena guru sering melecehkan mereka dan tidak memperlakukan mereka sebagai anak yang dewasa melainkan memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Oleh karena itu sebagai balasan mereka juga tidak menghargai guru. Temuan yang penting lagi adalah ternyata para siswa yakin dengan belajar sebagaimana sekarang ini saja mereka akan lulus mendapatkan diploma dan diploma merupakan sesuatu yang penting, tetapi tidak diperlakukan sebagai simbol ilmu yang telah dikuasai. <br />
<br />
C. Peran kepala sekolah <br />
<br />
Kepala sekolah harus memahami kultur sekolah yang ada sekarang ini, dan menyadari bahwa hal itu tidak lepas dari struktur dan pola kepemimpinannya. Perubahan kultur yang lebih "sehat" harus dimulai dari kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah harus mengembangkan kepemimpinan berdasarkan dialog, saling perhatian dan pengertian satu dengan yang lain. Biarlah guru, staf administrasi bahkan siswa menyampaikan pandangannya tentang kultur sekolah yang ada dewasa ini, mana segi positif dan mana negatif, khususnya berkaitan dengan kepemimpinan kepala sekoloh, struktur organisasi, nilai-nilai dan norma-norma, kepuasan terhadap kelas, dan produktivitas sekolah. Pandangan ini sangat penting artinya bagi upaya untuk merubah kultur sekolah.<br />
<br />
Kultur sekolah ini berkaitan erat dengan visi yang dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan sekolah. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam membangun kultur sekolah. Untuk membangun visi sekolah ini, perlu kolaborasi antara kepala sekolah, guru, orang tua, staf administrasi dan tenaga profesional. Kultur sekolah akan baik apabila: a) kepala dapat berperan sebagai model, b) mampu membangun tim kerjasama, c) belajar dari guru, staf, dan siswa, dan, d) harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan. Kepala sekolah dan guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik tersebut. Karena, akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami dan memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat memahami permasalahan yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam, kepala sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat diperlukan dalam menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PRADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN <br />
<br />
<br />
3.7. Hasil Pendidikan yang Utuh <br />
<br />
Kebijakan yang baik untuk problem yang tidak benar bagaikan memberikan obat yang mujarab untuk penyakit yang keliru: Hasilnya akan sia-sia. Perumpamaan ini relevan bagi dunia pendidikan dewasa ini. Sesungguhnya persoalan pendidikan kita dewasa ini bukannya semata kemampuan penguasaan materi pelajaran siswa rendah sebagaimana ditunjukkan oleh NEM yang rendah, melainkan juga terjadinya degradasi pendidikan. Artinya untuk melakukan pekerjaan yang sama dewasa ini diperlukan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, untuk menjadi Prajurit Tamtama ABRI diperlukan ijazah SMU, sedangkan pada masa lampau cukup dengan ijazah SD. Sudah barang tentu akan sangat naif apabila kemudian menyimpulkan bahwa lulusan SD sekarang lebih rendah dibandingkan dengan lulusan SD masa lampau. Kemajuan masyarakatlah yang menuntut kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi. Untuk itu, betapapun kualitas NEM ditingkatkan tetap saja akan terjadi problem pendidikan dalam masyarakat. Sebab, hakekat persoalannya bukan di situ. Persoalan pendidikan kita yang mendasar adalah bagaimana melakukan peningkatan mutu dalam kerangka reformasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan zamannya, yakni era globalisasi dengan segala kecepatan perubahan yang terjadi di segala aspek kehidupan masyarakat.<br />
<br />
A. Basic skills <br />
<br />
Fenomena terjadinya degradasi pendidikan bukanlah hanya di negeri kita atau negara sedang berkembang yang lain. Dua guru besar ekonomi, Richard J. Murname dari Harvard University dan Frank Levy dari MIT telah melakukan studi yang mendalam di Honda of American Manufacturing (HAM) dan di Industri Motorola. Hasil kajian keduanya sebagaimana yang dimuat dalam bukunya 'Teaching The New Basic Skills' (1996), antara lain membuktikan bahwa meskipun di Amerika Serikat kemampuan rata-rata matematik telah meningkat dari skor 219 pada tahun 1982 menjadi 230 pada tahun 1992 untuk anak usia 9 tahun dan dari skor 289 pada tahun 1982 menjadi 307 pada tahun 1992 untuk anak usia 17 tahun, tetap saja terjadi fenomena degradasi ijazah sebagaimana dikemukakan di atas. Akibat degradasi ijazah ini mengakibatkan penurunan gaji yang diperoleh lulusan SMA pada masa kini dibandingkan dengan lulusan SMA pada masa lampau. Kalau pada tahun 1979 lulusan SMA dengan memiliki pengalaman kerja sekitar 10 tahun memperoleh gaji 27.500 dollar, maka pada tahun 1993 lulusan SMA dengan pengalaman kerja 10 tahun hanya memperoleh gaji 20.000 dollar. Inti dari studi ini menekankan betapapun prestasi siswa ditingkatkan tetap saja akan muncul problem, sebab persoalan utama adalah dunia ekonomi mengalami kemajuan yang pesat, sedangkan di fihak lain dunia pendidikan bergerak maju sangat lambat. <br />
<br />
Sejalan dengan itu, bagi kedua ekonom tersebut, kebijakan yang diperlukan adalah bagaimana mempercepat kemajuan dunia pendidikan dalam arti yang utuh dan hakiki, lewat reformasi pendidikan yang mendasar sehingga memungkinkaan pendidikan berkembang dengan cepat, tidak sekedar meningkatkan kemampuan daya serap materi pelajaran sebagaimana ditunjukkan dengan skor hasil tes. <br />
<br />
Dengan mengacu perkembangan ekonomi dan masyarakat yang cepat dan kemampuan tenaga kerja yang diperlukan, menurut Murname dan Levy, reformasi yang diperlukan di dunia pendidikan adalah menetapkan skill dasar yang harus dikembangkan pada diri setiap peserta didik. Skill dasar tersebut meliputi: <br />
1. The hard skids, yang mencakup dasar-dasar matematik, problem solving, kemampuan membaca yang jauh lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan yang ada sekarang ini pada SMU. <br />
2. The soft skills, yang meliputi kemampuan bekerja sama dalam kelompok dan kemampuan untuk menyampaikan ide dengan jelas baik dengan lisan maupun tulis. <br />
3. Kemampuan memahami bahasa komputer yang sederhana, seperti seperti word processor. <br />
B. Pendidikan holistik <br />
<br />
Pada hakekatnya pendidikan kita bertujuan untuk menghasilkan manusia yang utuh. Namun, kenyataan dalam praktek dewasa ini tak terhindarkan lagi bahwa tujuan pendidikan hanya menekankan aspek kognitif dengan ditunjukkan oleh sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional yang menghasilkan NEM. Sehubungan dengan itu, basic skills yang diajukan oleh kedua pakar ekonomi di atas justru telah mencakup ketiga aspek: kognitif (the hard skills dan kemampuan memahami bahasa komputer), sosial, dan emosi (the soft skills). Persoalan yang muncul adalah bagaimanakah ketiga aspek tersebut dapat dikembangkan pada diri peserta didik sebagai suatu satu kesatuan yang utuh? <br />
<br />
Dunia pendidikan sudah sangat terbiasa dengan pembagian sesuatu ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, seperti bidang studi dipecah-pecah dalam pokok bahasan, dan sub-pokok bahasan. Administrasi juga dipisah-pisah menjadi bagian-bagian yang kecil-kecil. Pemecahan menjadi berbagai pecahan kecil-kecil ini berdasarkan asumsi bahwa kalau serpihan-serpihan digabungkan akan menjadi satu keutuhan kembali. Namun asumsi ini jauh dari realitas yang berlangsung. Siswa yang memiliki NEM tinggi untuk suatu mata pelajaran tidak berarti siswa telah menguasai pelajaran tersebut secara utuh. Sebab, memang secara substansi gabungan-gabungan dari serpihan-serpihan tidak harus diartikan mesti menjadi satu keutuhan. Demikian pula, asumsi bahwa Guru bimbingan dan konseling ditambah guru agama serta guru PPKN bertugas untuk mengembangkan sosial dan emosi siswa, sedangkan, guru-guru mata pelajaran yang lain, seperti matematika, fisika, ekonomi, bertugas untuk mengembangkan intelektual siswa, sulit untuk terus dipertahankan. <br />
<br />
Perkembangan teori baru di bidang perkembangan kognitif, seperti dikemukakan oleh Baxter Magolda (dalam Knowing and Reasoning in College: Gender-Related Patterns in Students' Intellectual Development, 1995) menekankan bahwa ketiga aspek pendidikan tersebut, intelektual, sosial dan emotional harus merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Untuk mencapai integrasi ini peranan konteks sosial dan hubungan antar pribadi sangat penting. Proses yang berlangsung di sekolah harus senantiasa dikaitkan dengan proses yang ada di luar sekolah. Goleman dalam buku 'Emotion intelligence' (Sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia, 1995) juga menekankan betapa proses learning sangat ditentukan oleh emosi, yang dapat merangsang motivasi atau sebaliknya malah menekan motivasi unuk berprestasi menjadi rendah. <br />
<br />
C. Aspek mikro dalam pendidikan <br />
<br />
Dalam kaitan pengembangan diri pribadi yang holistik ini sudah barang tentu proses belajar mengajar yang didominasi oleh ceramah dengan guru sebagai sumber tunggal dan siswa sebagai pendengar yang baik mendapatkan kritikan yang keras. Sebagai alternatif muncullah berbagai ide seperti Teori Pendidikan Pembebasan oleh Fraire, teori Constructivist oleh Brooks dan Brooks, Cultural Perspective oleh Rhoads dan Black, Collaborative Learning oleh Bruffee. Teori-teori pembelajaran baru ini dimaksudkan untuk mengubah proses belajar mengajar yang bersifat monolitik dan steril dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung di luar sekolah, sebagaimana yang dipraktekan di dunia sekolah dewasa ini, dengan melibatkan sosial dan emosi dalam proses pembelajaran. Dengan mengubah otoritas pembelajaran dari tangan guru dan lebih menekankan unsur pengalaman pribadi siswa dalam proses pembelajaran, disertai dengan mengkaitkan apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya, diharapkan pendidikan akan lebih dapat mengembangkan diri siswa secara utuh. <br />
<br />
Reformasi pendidikan perlu mempertimbangkan perkembangan teori-teori pembelajaran baru tersebut. Teori Pembebasan Freire menekankan pada prinsip bahwa sistem budaya masyarakat merupakan sumber kekuatan warga masyarakat, bagaikan jaring laba-laba di mana laba-laba hidup. Ia menyatakan bahwa sistem pendidikan harus ditransformasikan lewat praksis, di mana refleksi dan aksi akan secara bergantian mengubah tatanan yang ada. Teori Pembelajaran Constructivist didasarkan pada prinsip bahwa guru harus me nyediakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa mencari makna, menghargai ketidakpastian, dan bertanggung jawab dalam proses "pencarian". Teori ini mengakui bahwa penekanan pada kinerja dan memberikan jawaban yang benar pada soal model pilihan ganda menghasilkkan pemahaman yang minim pada diri siswa, sedangkan fokus proses pembelajaran adalah menimbulkan pada diri siswa pemahaman yang mendalam dan kemampuan mempergunakan konsep dan pengetahuan yang diperoleh sampai di luar ruang-ruang kelas. Teori Constructivist membantu siswa untuk mampu bertanggung jawab atas proses pembelajaran yang dilakukan oleh diri seseorang yang mandiri, mengembangkan pemahaman dan konsep secara terintegrasi, dan mampu mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting. Teori Pembelajaran Kultural menekankan kekuatan kultur dan subkultur masyarakat. Teori ini memiliki prinsip bahwa lewat sistem kultural yang ada dewasa ini kondisi pendidikan dapat dianalisis dan diubah untuk dikembangkan menjadi proses pembelajaran yang efektif. Untuk itu pendidikan harus meninjau ulang asumsi dan nilai-nilai mereka sendiri dalam praktek pendidikan. Teori pembelajaran Collaborative menekankan pada proses pembelajaran yang digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan emosi secara dinamis baik dari fihak siswa maupun guru. Teori ini didasarkan poda ide bahwa pencarian dan pengembangan pengetahuan adalah merupakan proses aktivitas sosial, di mana siswa perlu mempraktekkannya. Pendidikan bukannya proses di mana siswa hanya menjadi penonton dan pendengar yang pasif. <br />
<br />
Berdasarkan uraian di atas, maka lembaga pendidikan harus bergeser untuk mengembangkan kultur pembelajaran yang holistik termasuk mengembangkan visi pendidikan yang jelas, konsisten, disertai dengan kepemimpinan yang dapat memberikan arah, memajukan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, mengembangkan masyarakat pembelajaran, mendorong munculnya iklim belajar di manapun juga, dan secara sadar mengembangkan proses sosialisasi profesional baik di kalangan guru ataupun siswa. Kepemimpinan yang konsisten dan mampu memberikan arah diperlukan sebab budaya masyarakat memang menghendakinya. Prinsip kepemimpinan tersebut memiliki implikasi bahwa kepemimpinan lembaga harus dilihat sebagai suatu keniscayaan, bahwa transformasi pendidikan mencakup seluruh hirarkis kelembagaan. Dengan demikian, transformasi pendidikan diarahkan untuk mengembangkan sejumlah peran kepemimpinan di sekolah, meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, menciptakan lingkungan yang mendorong siswa untuk ambil peran, mendorong dan menghargai inisiatif siswa, dan memberikan insentif bagi keterlibatan siswa. Tujuan akhir transformasi pendidikan adalah menghasilkan siswa yang utuh: Kematangan intelektual, sosial, dan emosi.<br />
<br />
PRADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN <br />
<br />
<br />
3.8. Reformasi Pendidikan: dari Fondasi ke Aksi <br />
<br />
Krisis yang dialami bangsa Indonesia baik ekonomi, politik dan keamanan belum juga dapat di atasi. Berbagai krisis tersebut di atas berdampak negatif terhadap dunia pendidikan dengan memunculkan keseimbangan baru pendidikan. Pada keseimbangan baru ini, pelayanan pendidikan tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan cara seperti biasa (bussines as ussual). Orientasi pelayanan pendidikan dengan menggunakan cara berfikir lama tidak dapat diterapkan dengan begitu saja, dan bahkan mungkin tidak dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan pada keseimbangan baru ini. Cara-cara berpikir baru dan terobosan-terobosan baru harus diperkenalkan dan diciptakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan pada saat ini dan di masa mendatang. Dengan kata lain, reformasi pendidikan merupakan suatu imperative action. <br />
<br />
Reformasi pendidikan adalah proses yang kompleks, berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang amat interaktif, sehingga reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dan dalam tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan dapat difahami karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang apabila dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi, apalagi dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik. Seminar reformasi di Jerman Timur yang diselenggarakan sehabis tembok Berlin diruntuhkan mencatat bahwa untuk reformasi politik diperlukan waktu cukup enam bulan. Untuk reformasi ekonomi diperlukan waktu enam tahun, dan untuk reformasi pendidikan diperlukan waktu enam puluh tahun. Sungguhpun demikian, hasil dan produk setiap fase atau periode tertentu dari reformasi pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan mutu pendidikan. <br />
<br />
Reformasi pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih etektif dan efisien mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu dalam reformasi dua hal yang perlu dilakukan: a) mengidentifikasi atas berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan, dan, b) merumuskan reformasi yang bersifat strategik dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan. Oleh karena itu, kondisi yang diperlukan dan program aksi yang harus diciptakan merupakan titik sentral yang perlu diperhatikan dalam setiap reformasi pendidikan. Dengan kata lain, reformasi pendidikan harus mendasarkan pada realitas sekolah yang ada, bukan mendasarkan pada etalase atau jargon-jargon pendidikan semata. Reformasi hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian yang memadai dan valid, sehingga dapat dikembangkan program reformasi yang utuh, jelas dan realistis. <br />
<br />
Apa syarat utama yang harus dipenuhi untuk dapat mencapai tujuan reformasi yang memadai? Terdapat tuntutan yang merupakan keharusan untuk dipenuhi agar reformasi dapat berjalan mencapai tujuan. Meskipun demikian, tidak ada senjata pamungkas yang dapat memastikan keberhasilan reformasi. Pendekatan sistemik mengisyaratkan agar dalam reformasi tidak ada faktor yang tertinggal. Reformasi harus menekankan pada faktor kunci yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi akan melibatkan seluruh faktor 'yang penting, dan menempatkan semua faktor tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik. <br />
<br />
Implementasi reformasi pendidikan yang berada di antara kebijakan publik dan kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar tersebut, memusatkan pada empat dimensi: Dimensi Kultural-Fondasional, dimensi Politik-Kebijakan, dimensi Teknis-Operasional, dan dimensi Kontekstual. <br />
<br />
A. Dimensi fondasional kultural <br />
<br />
Dimensi kultural berkaitan dengan nilai, keyakinan dan norma-norma berkaitan dengan pendidikan, seperti apa sekolah itu?, siapa guru itu? Seberapa jauh materi yang harus dipelajari oleh siswa? dan, siapa siswa itu? Siapa yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol sekolah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menentukan gambaran fungsi dan tanggung jawab serta peranan komponen sekolah: kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa, bahkan orang tua siswa. <br />
<br />
Secara khusus, reformasi pendidikan ditunjukkan oleh perilaku dan peran baru siswa khususnya dalam proses belajar dan mengajar di sekolah. Perubahan pada diri siswa tersebut sebagai hasil adanya perubahan perilaku pada diri guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar khususnya, dan perubahan iklim sekolah pada umumnya.<br />
<br />
Perubahan perilaku guru merupakan perubahan pada aspek teknis yang dapat disebabkan oleh aspek politik. Namun, reformasi pendidikan tidak dan lebih dari sekedar dimensi teknis dan politik, melainkan harus meletakkan dimensi kultural dalam proses reformasi. Sayangnya, aspek kultural merupakan sesuatu yang bersifat relatif abstrak sekaligus sulit untuk dikendalikan. Aspek kultural dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai dan keyakinan ini merupakan inti dari reformasi pendidikan. <br />
<br />
Berkaitan dengan dimensi kultural ini, sekolah harus diperlakukan sebagai suatu institusi yang memiliki otonomi dan kehidupan (organik), bukan sekedar institusi yang merupakan bagian dari suatu sistem yang besar (mekanik). Sebagai suatu sistem organik, sekolah dapat dilihat sebagai tubuh manusia yang memiliki sifat kompleks dan terbuka yang harus didekati dengan sistem thinking. Artinya, dalam pengelolaannya sekolah harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Perbaikan dalam suatu aspek sekolah harus mempertimbangkan aspek yang lain. Dengan pendekatan sistem thinking tersebut dapat diidentifikasi struktur, umpan balik, dan dampak, seperti: a) keterbatasan perubahan pendidikan, b) pergeseran sasaran reformasi pendidikan, c) perkembangan pendidikan, dan, d) sektor pendidikan yang kurang dijamah. <br />
<br />
B. Dimensi politik-kebijakan <br />
<br />
Dimensi politik berkaitan dengan otoritas, kekuasaan dan pengaruh, termasuk di dalamnya negosiasi untuk memecahkan konflik-konflik dan isu-isu pendidikan. Aspek politik dari reformasi pendidikan amat kompleks. Reformasi memiliki wajah plural yang satu sama lain saling berinteraksi. Keberhasilan dalam mengendalikan aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kebijakan tetapi satu kebijakan dengan yang lain saling melengkapi, menuju arah tunggal: meningkatkan kemajuan pendidikan. Juga, ditunjukkan oleh adanya serangkaian kebijakan di mana kebijakan yang kemudian melengkapi kebijakan sebelumnya. <br />
<br />
Dimensi politik ini tidak sekedar adanya hak-hak politik warga sekolah, khususnya guru dan kepala sekolah, tetapi memiliki pengertian yang lebih luas. Yakni, penekanan pada adanya kebebasan atau otonomi sekolah, khususnya dalam kaitan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan otonomi yang dimiliki sekolah, keberadaan sekolah akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat sekitararnya. Sekolah tidak terlalu menggantungkan pada birokrasi di atas, tetapi sebaliknya sekolah lebih bertumpu pada kekuatan masyarakat sekitar. Untuk itu, keberadaan Pemimpin Lokal di samping kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan kunci dari keberhasilan sekolah. <br />
<br />
Pemimpin Lokal, tokoh masyarakat dan Kepala Sekolah harus senantiasa memberdayakan (empowering) guru, antara lain dengan tidak banyak memberikan instruksi atau petunjuk melainkan memberikan tantangan, insentif dan penghargaan dalam melaksanakan misi sekolah. Keberhasilan reformasi pendidikan ditentukan oleh keberhasilan dalam memberdayakan guru. Yakni, guru memiliki otonomi profesional dan kekuasaan untuk menentukan bagaimana visi dan misi sekolah harus diujudkan dalam praktek sehari-hari. Pemberdayaan guru ini akan memungkinkan mereka memadukan apa yang mereka yakini dengan agenda aksi reformasi. <br />
<br />
Sekolah yang baik senantiasa memiliki visi dan misi. Visi dan misi sekolah harus difahami oleh semua guru dan merupakan landasan kerja bersama yang diharapkan dapat memberikan kekuatan dalam melaksankan misi di atas Dengan demikian di sekolah akan dapat dibangun suatu iklim kerjasama di antara warga sekolah, khususnya di kalangan guru. Kerjasama di antara guru ini akan memperkuat proses pemberdayaan guru.<br />
<br />
Pemberdayaan guru perlu dilakukan pula lewat pemberian kesempatan dan dorongan bagi para guru untuk selalu belajar menambah ilmu. Proses pembelajaran sepanjang waktu bagi guru merupakan keharusan, dan menjadi titik pusat dalam reformasi pendidikan. Proses pembelajaran (learning) terjadi manakala guru memiliki kewenangan dan kesempatan untuk mengembangkan visi mereka sendiri tentang bagaimana perubahan yang diperlukan dalam mewujudkan pendidikan yang lebih baik. <br />
<br />
C. Dimensi teknis operasional <br />
<br />
Dimensi teknis berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan profesional dan bagaimana keduanya dapat dikuasai oleh pendidik. Dengan kata lain, aspek teknis dipusatkan pada kemauan dan kemampuan guru untuk melakukan reformasi pada dimensi kelas atau melaksanakan proses belajar mengajar sebagaimana dituntut oleh reformasi. Sudah barang tentu hal ini menuntut adanya perubahan perilaku baik siswa, kepala sekolah dan juga di lingkungan kantor pendidikan selaku fihak yang memiliki wewenang untuk. merumuskan kebijakan pendidikan. <br />
<br />
Kemampuan guru yang dituntut dalam setiap reformasi pendidikan pada umumnya adalah kemampuan penguasaan materi kurikulum dan kemampuan paedagogik. Orientasi kurikulum harus lebih menitikberatkan pada penguasaan akan konsep-konsep pokok, dan lebih menekankan berbagai hubungan antar konsep-konsep tersebut, serta lebih menekankan pada cara bagaimana peserta didik menguasai konsep dan hubungan untuk dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat dibandingkan hanya menguasai serpihan-serpihan pengetahuan dan kumpulan fakta. <br />
<br />
Di samping kurikulum harus disempurnakan, guru harus memahami dan memiliki motivasi untuk mempergunakan pendekatan dan cara mengajar yang lebih alami, asli dan menarik. Untuk itu perlu dikembangkan tim kerja yang melibatkan guru dan ahli. Misal lewat MGMP seminar, pelatihan dan lewat media cetak dan elektronik. Tujuan dari itu semua adalah meningkakan komunikasi akademik baik di kalangan guru sendiri maupun dengan kalangan luar sekolah. Dengan komunikasi ini diharapkan secara berkesinambungan para guru akan mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya sendiri.<br />
<br />
D. Dimensi kontekstual <br />
<br />
Pendidikan tidak berproses dalam suasana vakum dan tertutup, namun terbuka, senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek lain yang berada di luar pendidikan. Aspek-aspek lain tersebut dapat memiliki dampak positif maupun negatif bagi pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain: a) kepedulian masyarakat terhadap pendidikan, b) perkembangan media massa, dan c) sistem politik pemerintahan. <br />
<br />
Keberhasilan reformasi pendidikan juga ditentukan oleh seberapa besar dukungan masyarakat. Warga masyarakat, khususnya mereka orang tua siswa yang memiliki kelebihan dalam harta dan pendidikan perlu dilibatkan dalam proses reformasi sejak awal. Dukungan masyarakat pada umumnya, dan orang tua siswa khususnya tidak sebatas dukungan finansial, tetapi jauh lebih luas. Termasuk antara lain dukungan orang tua siswa. dalam bentuk partisipasi untuk meningkatkan proses pembelajaran. <br />
<br />
Untuk itu, orang tua siswa khususnya dan tokoh-tokoh masyarakat pada umumnya, perlu diajak memahami visi dan misi sekolah, dan mengambil peran dalam melaksanakan misi sekolah sesuai dengan keyakinan dan kemampuan mereka sendiri. <br />
<br />
Empat aspek di atas: Kultural-Fondasional, Politik-Kebijakan, Teknis-Operasional dan dimensi kontekstual dapat disilangkan dengan empat fokus: a) kondisi riil masa kini, b) hakekat reformasi atau reformasi yang ingin dicapai, c) penghambat untuk terlaksananya reformasi, dan d) program aksi yang perlu dikembangkan untuk muwujudkan tujuan reformasi, dapat diujudkan dalam matriks analisis reformasi sebagai berikut.<br />
MATRIKS REFORMASI PENDIDIKAN <br />
Kondisi Masa Kini Esensi Reformasi Faktor Penghambat Program Aksi <br />
Aspek Teknis Pengajaran one way direction dan tidak dapat merangsang peserta didik belajar keras. Daya serap siswa atas kurikulum sangat rendah Meningkatkan kemampuan dan kreatifitas guru, mengembangkan sistem komunikasi professional di kalangan guru sehingga menjadi “a Learning Teacher”. Mengembangkan kurikulum yang menekankan pada konsep pokok dan keterkaitan di antara konsep tersebut yang terintegrasi ke dalam satuan yang bersifat utuh dan fleksibel. Mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku baru siswa dalam pembelajaran, mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran. Kualitas dan kemampuan guru kurang siap untuk melaksanakan PBM yang lebih bermakna (kolaborasi, constrctivist). Kurikulum sarat materi. Penguasaan kurikulum oleh guru belum sebagaimana di harapkan. <br />
Siswa terbiasa belajar dengan mendengar, menghafal, dan mengerjakan ujian dengan pilihan ganda. <br />
Resistensi di kalangan guru untuk melaksanakan feformasi. Meningkatkan sistem In service Training yang lebih komprehensif. <br />
Memperbanyak forum bagi guru untuk meningkatkan kemampuan profesional, seperti seminar, penerbitan majalah/Jurnal Guru secara berkala, sehingga tidak ketinggalan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. <br />
Membekali para guru dengan kemapuan penelitian aksi, sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mengajar.<br />
<br />
Aspek Politis Manajemen sentralistis birokratis. <br />
Kepala Sekolah terbiasa bergantung keatas. <br />
Inovasi pada dimensi sekolah amat rendah. Menciptakan sistem persekolahan dimana masing-masing sekolah memiliki otonomi yang luas dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. <br />
Mengembangkan kepemimpinan Kepala Sekolah dengan sifat-sifat inovatif. <br />
Mendorong Kepala Sekolah untuk senentiasa berupaya memberdayakan guru. <br />
Menjadikan Fungsi pokok Departemen Pendidikan, Kanwil dan Kandep lebih menekankan sebagai pendukung dan pelayanan kebutuhan sekolah untuk mencapai program nasional.<br />
Tidak adanya konsesus yang jelas dan terbuka berkenaan dengan arah dan tujuan reformasi pendidikan di kalangan luas masyarakat. <br />
Pola kepemimpinanpaternalistik. Memberikan kewenangan yang luas bagi Kepala Sekolah dalam menjalankan program nasional sesuai sekolah masing-masing. Seperti, merumuskan visi dan missi sekolah, mengelola sumber-sumber, dan menentukan sasaran dan target sekolah. <br />
Aspek Kultur Kreatifitas dan inisiatif rendah. <br />
Kepemimpinan kepala sekolah gaya komando. Kultur sekolah tidak kondusif untuk mencapai prestasi (sasaran persaingan, kurang kerjasama, tidak terbuka, guru terlalu aktif, siswa kurang disiplin dan belajar keras. Mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku. <br />
Mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran. Fokus sekolah terlalu menekankan NEM, dan mengabaikan aspek yang lain. Mengembangkan sistem insentif dan rewards bagi upaya-upaya inovatif. <br />
Mengembangkan sistem penghargaan atas keberhasilan guru dan siswa yang tidak saja di bidang prestasi intelektual tetapi juga pada bidang-bidang yang lain. <br />
Mengembangkan suasana kebersamaan di samping suasana kompetitif di sekolah. <br />
<br />
Aspek Kontekstual Terpisah dari masyarakatnya. <br />
Dukungan masyarakat rendah. <br />
Faktor negatif lingkungan amat besar (TV, Film, dll) Mengembangkan iklim hubungan sekolah dan masyarakat yang kuat, sehingga sekolah memiliki basis dan menyatu dengan masyarakat sekitar. Sebahagian besar siswa berasal dari tempat yang jauh dari sekolah. <br />
Masih besar rasa ketidakpercayaan penggunaan fasilitas sekolah oleh masyarakat sekitar. <br />
Masyarakat tidak melihat sekolah bagian dari mereka.<br />
Memberikan kesempatan seluas-luasnya partisipasi orang tua siswa dan masyarakat sesuai dengan kemampuan mereka. <br />
E. Sekolah mandiri <br />
Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan. <br />
<br />
Sekolah mandiri tidak berarti tanpa kendali. Melainkan mandiri dalam konteks sistem-pendidikan nasional. Sekolah memiliki kemandirian dalam melaksanakan rekayasa untuk menjabarkan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara nasional, tanpa meninggalkan latar belakang dan karakteristik kondisi lokal setempat. Untuk itu sekolah mandiri memiliki kultur, kebiasaan dan cara kerja baru yang berbeda dengan kebiasaan dan tata cara kerja sekolah dewasa ini. Kultur, kebiasaan-kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah: Kepala Sekolah, guru, pegawai administrasi dan siswa. Bahkan, dalam jangka panjang, kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan berpengaruh di kalangan orang tua siswa dan masyarakat. Kultur, kebiasaan, dan tata cara kerja baru tersebut antara lain: a) setiap sekolah memiliki visi dan misi, b) sekolah memiliki program yang mendasarkan pada data kuantitatif, c) sekolah merupakan sistem organik, d) sekolah memiliki kepemimpinan mandiri, e) sekolah memiliki program pemberdayaan bagi seluruh komponen sekolah, f) sekolah merupakan kegiatan pelayanan jasa dengan tujuan utama memberikan kepuasan maksimal bagi siswa, orang tua siswa dan masyarakat selaku konsumen, dan, g) sekolah mengembangkan "Trust" (Kepercayaan) sebagai landasan interaksi internal maupun eksternal seluruh warga sekotah. <br />
<br />
F. Ciri sekolah mandiri <br />
<br />
Sekolah Mandiri tidak hanya diartikan dengan membentuk suatu lembaga di sekolah dengan wewenang tertentu seperti anggaran dan kurikulum. Dengan telah dibentuknya lembaga ini belum tentu sekolah sudah memahami tanggung jawab dan peran yang baru dalam mengelola sekolah, dan akan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan singkat dikatakan, bahwa implementasi Sekolah Mandiri memerlukan suatu bentuk kesadaran baru dalam menjalankan roda organisasi sekolah. Kepala sekolah beserta guru harus memiliki otonomi dan otoritas yang memadai, dan instruksi serta petunjuk dari kantor pendidikan harus dikurangi. Sejalan dengan itu, berbagai sumber daya perlu disebarluaskan sampai pada dimensi sekolah. Seperti, informasi prestasi siswa dan kepuasan orang tua siswa dan masyarakat, serta sumber-sumber yang tersedia perlu disampaikan pada dimensi sekolah sehingga sekolah memiliki pertimbangan yang jelas dalam menentukan kegiatan. <br />
<br />
Visi dan misi <br />
<br />
Sekolah harus megembangkan visi dan misi sendiri. Visi suatu sekolah merupakan suatu pandangan atau keyakinan bersama seluruh komponen sekolah akan keadaan masa depan yang diinginkan. Keberadaan visi ini akan memberikan inspirasi dan mendorong seluruh warga sekolah untuk bekerja lebih giat. Visi sekolah harus dinyatakan dalam kalimat yang jelas, positif, realistis, menantang, mengundang partisipasi, dan menunjukkan gambaran masa depan. <br />
<br />
Misi erat berkaitan dengan visi. Kalau visi merupakan pernyataan tentang gambaran global masa depan, maka misi merupakan pernyataan formal tentang tujuan utama yang akan direalisir. Jadi kalau visi merupakan ide, cita-cita dan gambaran di masa depan yang tidak terlalu jauh, maka misi merupakan upaya untuk konkritisasi visi dalam ujud tujuan dasar yang akan diujudkan. <br />
<br />
Visi dan misi sekolah merupakan penjabaran atau spesifikasi visi dan misi pendidikan nasional yang disesuaikan dengan latar belakang dan kondisi lokal. Adalah sangat mungkin latar belakang dan kondisi lokal dari sekelompok sekolah memiliki kemiripan, dan untuk ini dimungkinkan untuk mengembangkan visi dan misi dari beberapa sekolah yang berada dalam suatu cluster sekolah. <br />
<br />
Visi dan misi sekolah ini akan terus membayangi segenap warga sekolah: Kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa dan orang tua siswa, dengan pertanyaan-pertanyaan: Mengapa kita di sini? Apa yang harus kita perbuat atau kerjakan? Bagaimana kita melaksanakan? Bagi kepala sekolah harus selalu ditantang dengan pertanyaan: Mengapa dan untuk opa saya jadi kepala sekolah? Apa yang harus saya kerjakan sebagai kepala sekolah? Bagaimana saya melakukan pekerjaan tersebut? Pertanyaan akan muncul bagi guru: Mengapa dan untuk apa saya menjadi guru? Apa yang harus saya kerjakan sebagai guru? Bagaimana saya melaksanakan pekerjaan tersebut? Pertayaan-pertanyaan tersebut akan mendorong seluruh warga sekolah, sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing bekerja keras berdasarkan misi guna mendekati visi sekolah. <br />
<br />
Sekolah sebagai sistem organik <br />
<br />
Suatu sekolah merupakan gabungan dari berbagai, baik akademik maupun non-akademik, termasuk bagaimana interaksi guru-siswa formal dalam proses belajar mengajar, interaksi antar guru, interaksi guru dan pegawai administrasi dalam proses mengurus kenaikan pangkat guru, interaksi antara siswa dan staf perpustakaan dalam proses bagaimana tenaga perpustakaan melayani para siswa, interaksi antara guru dan kepala sekolah dalam proses bagaimana kepala sekolah memimpin para guru, dan sebagainya. Interaksi yang begitu banyak terjadi di sekolah tersebut, memberikan signal bagi kita semua, bahwa program kerja sekolah memiliki suatu sistem yang mampu mengkoordinasi dan mensinergikan dari seluruh interaksi yang ada di sekolah. <br />
<br />
Inti dari interaksi pendidikan adalah interaksi formal guru-siswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan interaksi dari berbagai komponen pendidikan: guru, siswa dan bahan ajar serta peralatan. Dalam istilah yang singkat disebut proses pembelajaran yang berasal dari kata 'learning'. Meskipun interaksi formal dalam proses pembelajaran merupakan interaksi akademik, tetapi interaksi ini tidak bisa diisolir dari interaksi kegiatan yang lain termasuk kegiatan non-akademik, seperti interaksi dalam proses pengurusan kenaikan jenjang jabatan guru, pelayanan perpustakaan, pelaksanaan apel bendera, atau kepemimpinan sekolah. Oleh karena itu, sekolah mandiri merupakan kebutuhan dari seluruh interaksi tersebut. <br />
<br />
Sekolah jangan dipandang sebagai suatu jaringan individu tetapi sebagai jaringan interaksi. Setiap interaksi akan menghasilkan kekuatan atau energi yang berpengaruh terhadap sekolah: negatif atau positif. Bentuk-bentuk dan bagaimana kualitas interaksi berlangsung akan menentukan sifat dan besaran energi. Oleh karena itu, sekolah mandiri harus memfokuskan pada interaksi ini di samping memfokuskan pada diri individu warga sekolah. Sudah barang tentu fokus ini tidak dapat dipisahkan secara absolut, melainkan secara simultan. Malahan dapat dikatakan bahwa sekolah harus secara simultan memahami masing-masing individu dengan segala karakteristiknya dan interaksi saling ketergantungan dari berbagai individu tersebut. Kita tidak dapat memisahkan keduanya.<br />
<br />
Tuntutan yang penting adalah sekolah perlu mengidentifikasi keberadaan berbagai bentuk interaksi dengan masingmasing karakteristik pokok yang menyertai. Misalnya, sekolah memiliki a) interaksi formal dalam ujud proses belajar mengajar, b) interaksi guru informal, c) interaksi guru formal dalam rapat, d) interaksi siswa dalam kelas, e) interaksi siswa di luar kelas, dan sebagainya. Masing-masing interaksi tersebut masih dapat diperinci. Interaksi belajar mengajar terdiri dari: a) interaksi guru dalam menjelaskan materi, b) interaksi guru dalam mengajukan pertanyaan terhadap siswa, c) interaksi guru dalam menanggapi jawaban siswa, dan sebagainya. <br />
<br />
Karakteristik masing-masing interaksi tersebut akan menghasilkan energi yang bersifat positif atau negatif. Bersifat positif apabila hasil interaksi akan menimbulkan seseorang bekerja lebih keras. Sebaliknya, bersifat negatif apabila interaksi akan menyebabkan seseorang menjadi malas, tertekan, dan menurun semangatnya. Dalam kalangan profesi kedokteran, interaksi antar dokter menimbulkan energi positif untuk kemajuan ilmu kedokteran, sebab apabila dokter ketemu dokter mereka bertukar pikiran tentang bagaimana pengalaman mereka berkaitan dengan praktek pengobatan. Demikian juga kalau insinyur ketemu insinyur yang dibicarakan adalah bagaimana teknik pembangunan jalan layang baru yang lebih hemat dan canggih telah diketernukan, sehingga interaksi ini menimbulkan energi yang positif. Tetapi tengoklah, kalau guru berinteraksi dengan guru, jarang mereka membicarakan pengalaman masing-masing dalam interaksi dengan siswa. Kalau interaksi guru dengan guru dapat diubah dan di arahkan dalam interaksi mereka membicarakan pengalaman mereka tentang proses belajar mengajar, maka interaksi ini akan menimbulkan energi yang dahsyat yang akan membawa kemajuan pendidikan. Dalam jangka 2-3 tahun, jika dalam setiap interaksinya guru membiasakan berdiskusi dengan sesama guru, maka dunia pendidikan akan mengalami perubahan besar. <br />
<br />
Dalam sekolah mandiri yang memiliki sifat sistem organik, kepala sekolah di samping menaruh perhatian terhadap warga sekolah sebagai individu atau kelompok, ia juga harus memahami dan menaruh perhatian terhadap proses interaksi ini. Energi yang dihasilkan oleh interaksi tersebut harus dicermati dan merupakan sesuatu yang akan diorganisir. Kepala sekolah berperan untuk memfokuskan, mendorong, mengembangkan dan mengorganisir serta mengelola energi tersebut <br />
untuk di arahkan guna kemajuan sekolah. Untuk itu sekolah dan seluruh warganya harus bersifat adaptif. <br />
<br />
Dekonsentrasi dan desentralisasi <br />
<br />
Sekolah Mandiri merupakan implementasi dari desentralisasi pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaannya, pada Sekolah Mandiri perlu dikembangkan Dekonsentrasi pengambilan keputusan yang memerlukan restrukturisasi organisasi pendidikan. <br />
<br />
Organisasi pendidikan bersifat sentralistis. Kebijakan pendidikan secara umum dan politis ditetapkan oleh Departemen Pendidikan. Keputusan politis ini harus dijabarkan oleh direktorat jenderal yang relevan. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan Dirjen ini akan dioperasionalkan ke dalam kebijakan teknis oleh direktorat yang relevan. Kemudian Kantor Wilayah dan Kantor Daerah Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan koordinasi implementasi kebijakan teknis tersebut.<br />
<br />
Implementasi Sekolah Mandiri memerlukan restrukturisasi organisasi dengan menempatkan pembuatan kebijakan teknis pada Kantor Daerah Pendidikan. Organisasi Direktorat dan Kantor Wilayah Pendidikan perlu dihapuskan. Sebab, kebijakan teknis yang diperlukan adalah yang sesuai dengan tuntutan dan kondisi lokal. Dengan demikian Kantor Daerah akan memiliki fungsi mewakili Departemen dalam pengambilan keputusan untuk daerahnya masing-masing. <br />
<br />
Reformasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Sebab, cara-cara yang selama ini dilaksanakan dalam pengelolaan pendidikan tidak akan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dewasa ini. Krisis moneter dan ekonomi yang diikuti oleh krisis politik, kepercayaan dan keamanan, mempercepat keharusan reformasi pendidikan. <br />
<br />
Reformasi pendidikan yang diperlukan bersifat menyeluruh dan mendasar, menyangkut dimensi kultural-fokasional, politik-kebijakan, teknis-operasional, dan, dimensi kontekstual. Tambal sulam dalam dunia pendidikan saat ini harus dihindarkan, sebab hanya akan berakibat menunda datangnya bencana yang lebih parah lagi. <br />
<br />
Betapapun Reformasi merupakan suatu keharusan, tetap saja akan muncul resistensi yang menghambat jalannya reformasi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan perlu untuk: <br />
<br />
1. Mendapatkan dukungan dari kalangan profesional dengan: a) memberikan pelayanan yang lebih baik, b) menciptakan iklim yang kondusif untuk mengembangkan kerjasama profesional, dan c) meningkatkan kesejahteraan mereka. <br />
<br />
2. Mengembangkan kesadaran di kalangan profesional dan kesempatan bagi orang tua untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah sehingga merasa ikut memiliki. <br />
<br />
3. Mengurangi beban administrasi atau non-profesional guru dengan lebih menekankan pada aspek teknis profesional. <br />
<br />
Di samping itu, selain tambal sulam, reformasi pendidikan juga harus menghindari upaya pencapaian hasil jangka pendek atau semu dengan mengorbankan pencapaian hasil jangka panjang. Hal ini dapat terjadi, misalnya, apabila reformasi hanya menekankan pada aktivitas yang memfokuskan pada perilaku baru guru dalam mengajar, bagaimana guru menguasai materi baru, memahami makna hakiki dari reformasi pendidikan yakni membantu peserta didik mengembangkan peran dirinya yang baru. <br />
<br />
<br />
oooooal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-25069735724649155752010-11-22T20:07:00.000-08:002010-11-22T20:07:15.672-08:00Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia (Sebuah Kajian terhadap Masalah-Masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini)Oleh: Imam Mustaqim, S.Pd.I., M.Pd<br />
Staf Pengajar pada STKIP Muhammadiayah Pagaralam<br />
Abstrak<br />
Indonesia, sebagaimana negara berkembang lainnya memiliki permasalahan sosial yang tidak sederhana. Namun, penting untuk dipertanyakan mengapa Indonesia lebih tertinggal dari Malaysia atau Singapura, padahal Indonesia lebih awal merdeka. Padahal konon Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat baik. Tetapi mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini hanya berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia. Bahkan yang paling mengerikan, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan.<br />
Krisis ekonomi yang dikuti dengan berbagai krisis lainnya, menyadarkan kita akan pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat. <br />
Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan “agent of change” bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia baik melalui substansi maupun model pembelajaran. Hal ini dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan peserta didik dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. <br />
Kata Kunci: Pendidikan, Multikultural, Masalah sosial.<br />
1. Pendahuluan<br />
Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.<br />
Wacana Pendidikan Multkultural di Indonesia<br />
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa, <br />
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya. <br />
2. Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural <br />
Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.<br />
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.<br />
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.<br />
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.<br />
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. <br />
3. Implementasi Dalam Dunia Pendidikan<br />
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.<br />
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.<br />
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.<br />
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.<br />
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.<br />
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.<br />
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.<br />
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.<br />
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.<br />
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:<br />
• Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.<br />
• Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.<br />
• Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.<br />
• Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.<br />
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.<br />
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.<br />
4. Penutup<br />
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.<br />
Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.<br />
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan. <br />
5. Daftar Pustaka<br />
Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education.<br />
——, (1994), An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA <br />
Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.<br />
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.<br />
Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.al-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7677419320643218399.post-25890980668542771402010-11-07T17:33:00.000-08:002010-11-07T17:33:28.479-08:00PENGERTIAN HAKEKAT MANUSIAPENGERTIAN HAKEKAT MANUSIA<br />
Oleh : Imam Mustaqim, S.Pd.I.,M.Pd.<br />
Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal. <br />
Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir sebagian besar para ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal dari sebuah evolusi dari seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi biologi. Anggapan ini tentu sangat keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia. Dalam hal ini membuat kita para manusia kehilangan harkat dan martabat kita yang diciptakan sebagai mahluk yang sempurna dan paling mulia.<br />
Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan yang sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT. {“Allah telah menundukkan bagi kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi semuanya.”}(Q. S. Al-Jatsiyah: 13). {“Allah telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar. Dia juga telah menundukkan bagi kalian malam dan siang.”}(Q. S. Ibrahim: 33). {“Allah telah menundukkan bahtera bagi kalian agar dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya.”}(Q. S. Ibrahim: 32), dan ayat lainnya yang menjelaskan apa yang telah Allah karuniakan kepada manusia berupa nikmat akal dan pemahaman serta derivat (turunan) dari apa-apa yang telah Allah tundukkan bagi manusia itu sehingga mereka dapat memanfaatkannya sesuai dengan keinginan mereka, dengan berbagai cara yang mampu mereka lakukan. Kedudukan akal dalam Islam adalah merupakan suatu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati.<br />
Dengan demikian, manusia adalah makhluk hidup. Di dalam diri manusia terdapat apa-apa yang terdapat di dalam makhluk hidup lainnya yang bersifat khsusus. Dia berkembang, bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak, menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan kekurangan dan membutuhkan yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya. Dia memiliki rasa kasih sayang dan cinta,<br />
rasa kebapaan dan sebagai anak, sebagaimana dia memiliki rasa takut dan aman, menyukai harta, menyukai kekuasaan dan kepemilikan, rasa benci dan rasa suka, merasa senang dan sedih dan sebagainya yang berupa perasaan-perasaan yang melahirkan rasa cinta. Hal itu juga telah menciptakan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan pemuasan rasa cintanya itu dan memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari adanya potensi kehidupan yang terdapat dalam dirinya. <br />
Oleh karena itu manusia senantiasa berusaha mendapatkan apa yang sesuai dengan kebutuhannya,hal ini juga dialami oleh para mahluk-mahluk hidup lainnya, hanya saja, manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya dalam hal kesempurnaan tata cara untuk memperoleh benda-benda pemuas kebutuhannya dan juga tata cara untuk memuaskan kebutuhannya tersebut. Makhluk hidup lain melakukannya hanya berdasarkan naluri yang telah Allah ciptakan untuknya sementara manusia melakukannya berdasarkan akal dan pikiran yang telah Allah karuniakan kepadanya.<br />
Dewasa ini manusia, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara spermatozoa dengan ovum.<br />
Didalam Al-Qur`an proses penciptaan manusia memang tidak dijelaskan secara rinci, akan tetapi hakikat diciptakannya manusia menurut islam yakni sebagai mahluk yang diperintahkan untuk menjaga dan mengelola bumi. Hal ini tentu harus kita kaitkan dengan konsekuensi terhadap manusia yang diberikan suatu kesempurnaan berupa akal dan pikiran yang tidak pernah di miliki oleh mahluk-mahluk hidup yang lainnya. Manusia sebagai mahluk yang telah diberikan kesempurnaan haruslah mampu menempatkan dirinya sesuai dengan hakikat diciptakannya yakni sebagai penjaga atau pengelola bumi yang dalam hal ini disebut dengan khalifah. Status manusia sebagai khalifah , dinyatakan dalam Surat All-Baqarah ayat 30. Kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah.<br />
Namun kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah Nabi Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-‘Abbasiah. Akan tetapi fungsi dari khalifah itu sendiri sesuai dengan yang telah diuraikan diatas sangatlah luas, yakni selain sebagai pemimpin manusia juga berfungsi sebagai penerus ajaran agama yang telah dilakukan oleh para pendahulunya,selain itu khalifah juga merupakan pemelihara ataupun penjaga bumi ini dari kerusakan.<br />
SIAPAKAH MANUSIA<br />
Kehadiran manusia pertama tidak terlepas dari asal usul kehidupan di alam semesta. Asal usul manusia menurut ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari teori tentang spesies lain yang telah ada sebelumnya melalui proses evolusi.<br />
Evolusi menurut para ahli paleontology dapat dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan tingkat evolusinya, yaitu :<br />
Pertama, tingkat pra manusia yang fosilnya ditemukan di Johanesburg Afrika Selatan pada tahun 1942 yang dinamakan fosil Australopithecus.<br />
Kedua, tingkat manusia kera yang fosilnya ditemukan di Solo pada tahun 1891 yang disebut pithecanthropus erectus.<br />
Ketiga, manusia purba, yaitu tahap yang lebih dekat kepada manusia modern yang sudah digolongkan genus yang sama, yaitu Homo walaupun spesiesnya dibedakan.<br />
Fosil jenis ini di neander, karena itu disebut Homo Neanderthalesis dan kerabatnya ditemukan di Solo (Homo Soloensis).<br />
Keempat, manusia modern atau Homo sapiens yang telah pandai berpikir, menggunakan otak dan nalarnya.<br />
Beberapa Definisi Manusia :<br />
1. Manusia adalah makhluk utama, yaitu diantara semua makhluk natural dan supranatural, manusia mempunyai jiwa bebas dan hakikat hakikat yg mulia.<br />
2. Manusia adalah kemauan bebas. Inilah kekuatannya yg luar biasa dan tidak dapat dijelaskan : kemauan dalam arti bahwa kemanusiaan telah masuk ke dalam rantai kausalitas sebagai sumber utama yg bebas – kepadanya dunia alam –world of nature–, sejarah dan masyarakat sepenuhnya bergantung, serta terus menerus melakukan campur tangan pada dan bertindak atas rangkaian deterministis ini. Dua determinasi eksistensial, kebebasan dan pilihan, telah memberinya suatu kualitas seperti Tuhan<br />
3. Manusia adalah makhluk yg sadar. Ini adalah kualitasnya yg paling menonjol; Kesadaran dalam arti bahwa melalui daya refleksi yg menakjubkan, ia memahami aktualitas dunia eksternal, menyingkap rahasia yg tersembunyi dari pengamatan, dan mampu menganalisa masing-masing realita dan peristiwa. Ia tidak tetap tinggal pada permukaan serba-indera dan akibat saja, tetapi mengamati apa yg ada di luar penginderaan dan menyimpulkan penyebab dari akibat. Dengan demikian ia melewati batas penginderaannya dan memperpanjang ikatan waktunya sampai ke masa lampau dan masa mendatang, ke dalam waktu yg tidak dihadirinya secara objektif. Ia mendapat pegangan yg benar, luas dan dalam atas lingkungannya sendiri. Kesadaran adalah suatu zat yg lebih mulia daripada eksistensi.<br />
4. Manusia adalah makhluk yg sadar diri. Ini berarti bahwa ia adalah satu-satuna makhluk hidup yg mempunyai pengetahuan atas kehadirannya sendiri ; ia mampu mempelajari, manganalisis, mengetahui dan menilai dirinya.<br />
5. Manusia adalah makhluk kreatif. Aspek kreatif tingkah lakunya ini memisahkan dirinya secara keseluruhan dari alam, dan menempatkannya di samping Tuhan. Hal ini menyebabkan manusia memiliki kekuatan ajaib-semu –quasi-miracolous– yg memberinya kemampuan untuk melewati parameter alami dari eksistensi dirinya, memberinya perluasan dan kedalaman eksistensial yg tak terbatas, dan menempatkannya pada suatu posisi untuk menikmati apa yg belum diberikan alam.<br />
6. Manusia adalah makhluk idealis, pemuja yg ideal. Dengan ini berarti ia tidak pernah puas dengan apa yg ada, tetapi berjuang untuk mengubahnya menjadi apa yg seharusnya. Idealisme adalah faktor utama dalam pergerakan dan evolusi manusia. Idealisme tidak memberikan kesempatan untuk puas di dalam pagar-pagar kokoh realita yg ada. Kekuatan inilah yg selalu memaksa manusia untuk merenung, menemukan, menyelidiki, mewujudkan, membuat dan mencipta dalam alam jasmaniah dan ruhaniah.<br />
7. Manusia adalah makhluk moral. Di sinilah timbul pertanyaan penting mengenai nilai. Nilai terdiri dari ikatan yg ada antara manusia dan setiap gejala, perilaku, perbuatan atau dimana suatu motif yg lebih tinggi daripada motif manfaat timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatan suci, karena ia dihormati dan dipuja begitu rupa sehingga orang merasa rela untuk membaktikan atau mengorbankan kehidupan mereka demi ikatan ini.<br />
8. Manusia adalah makhluk utama dalam dunia alami, mempunyai esensi uniknya sendiri, dan sebagai suatu penciptaan atau sebagai suatu gejala yg bersifat istimewa dan mulia. Ia memiliki kemauan, ikut campur dalam alam yg independen, memiliki kekuatan untuk memilih dan mempunyai andil dalam menciptakan gaya hidup melawan kehidupan alami. Kekuatan ini memberinya suatu keterlibatan dan tanggung jawab yg tidak akan punya arti kalau tidak dinyatakan dengan mengacu pada sistem nilai.<br />
Al Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan social. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah, sama dengan makhluk lain. Manusia sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan roh Allah yang memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah.<br />
Manusia memiliki fitrah dalam arti potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan pada saat dilahirkan ke dunia. Potensi yang dimiliki manusia dapat dikelompokkan pada dua hal, yaitu potensi fisik dan potensi ruhaniah.<br />
Potensi fisik manisia adalah sifat psikologis spiritual manusia sebagai makhluk yang berfikir diberi ilmu dan memikul amanah.sedangkan potensi ruhaniah adalah akal, gaib, dan nafsu. Akal dalam penertian bahasa Indonesia berarti pikiran atau rasio. Dalam Al Qur’an akal diartikan dengan kebijaksanaan, intelegensia, dan pengertian. Dengan demikian di dalam Al Qur’an akal bukan hanya pada ranah rasio, tetapi juga rasa, bahkan lebih jauh dari itu akal diartikan dengan hikmah atau bijaksana.<br />
Musa Asyari (1992) menyebutkan arti alqaib dengan dua pengertian, yang pertama pengertian kasar atau fisik, yaitu segumpal daging yang berbentuk bulatpanjang, terletak di dada sebelah kiri, yang sering disebut jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah, yaitu hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan, dan arif.<br />
Akal digunakan manusia dalam rangka memikirkan alam, sedangkan mengingat Tuhan adalah kegiatan yang berpusat pada qalbu.<br />
Adapun nafsu adalah suatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya. Dorongan-dorongan ini sering disebut dorongan primitif, karena sifatnya yang bebas tanpa mengenal baik dan buruk. Oleh karena itu nafsu sering disebut sebagai dorongan kehendak bebas.<br />
PERSAMAAN dan PERBEDAAN MANUSIA DENGAN MAHLUK LAIN.<br />
Manusia pada hakekatnya sama saja dengan mahluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk meraih tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan diantara keduanya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan keunggulan yang dimiliki manusia dibanding dengan mahluk lain.<br />
Manusia sebagai salah satu mahluk yang hidup di muka bumi merupakan mahluk yang memiliki karakter paling unik. Manusia secara fisik tidak begitu berbeda dengan binatang, sehingga para pemikir menyamakan dengan binatang. Letak perbedaan yang paling utama antara manusia dengan makhluk lainnya adalah dalam kemampuannya melahirkan kebudayaan. Kebudayaan hanya manusia saja yang memlikinya, sedangkan binatang hanya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bersifat instinctif.<br />
Dibanding dengan makhluk lainnya, manusia mempunyai kelebihan.kelebihan itu membedakan manusiadengan makhluk lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, baik di darat, di laut, maupun di udara. Sedangkan binatang hanya mampu bergerak di ruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang bergerak di darat dan di laut, namun tetap saja mempunyai keterbatasan dan tidak bisa meampaui manusia. Mengenai kelebihan manusia atau makhluk lain dijelaskan dalam surat Al-Isra ayat 70.<br />
Diantara karakteristik manusia adalah :<br />
1. Aspek Kreasi<br />
2. Aspek Ilmu<br />
3. Aspek Kehendak<br />
4. Pengarahan Akhlak<br />
Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang kelihatannya tidak berbeda dengan argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037) untuk tujuan yang sama, melalui pembuktian dengan kenyataan faktual. Al Ghazaly memperlihatkan bahwa; diantara makhluk-makhluk hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak yang monoton, juga mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa vegetatif. Jenis hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain kemampuan bisa bergerak bervariasi juga mempunyai rasa. Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Dalam kenyataan manusia juga mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia selain mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia juga mempunyai semua yang dimiliki jenis-jenis makhluk tersebut, disamping mampu berpikir dan serta mempunyai pilihan untuk berbuat dan untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip yang memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an nafs al insaniyyat. Prinsip inilah yang betul-betul membeda manusia dari segala makhluk lainnya.<br />
TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA<br />
Allah SWT berfirman dalam surat Ad-dzariyat:56 bahwasannya:”Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk mengabdi kepadanya”mengabdi dalam bentuk apa?ibadah dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya seperti tercantum dalam Al-qur’an.<br />
<br />
“Sesungguhnya telah ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.”<br />
Perintah ataupun tugas yang diberikan oleh Allah kepada manusia dalam beribu-ribu macam bentuk dimulai dari hal yang paling kecil menuju kepada hal yang paling besar dengan berdasarkan dan berpegang kepada Al-qur’an dan hadist didalam menjalankannya.Begitupun sebaliknya dengan larangan-larangannya yang seakan terimajinasi sangat indah dalam pikiran manusia namun sebenarnya balasan dari itu adalah neraka yang sangat menyeramkan,sangat disayangkan bagi mereka yang terjerumus kedalamnya.Na’uudzubillaahi min dzalik<br />
Dalam hadist shohih diungkapkan bahwa jalan menuju surga itu sangatlah susah sedangkan menuju neraka itu sangatlah mudah.Dua itu adalah pilihan bagi setiap manusia dari zaman dahulu hingga sekarang,semua memilih dan berharap akan mendapatkan surga,namun masih banyak sekali orang-orang yang mengingkari dengan perintah Allah bahkan mereka lebih tertarik dan terbuai untuk mendekati,menjalankan larangan-larangannya.Sehingga mereka bertolak belakang dari fitrahnya sebagai manusia hamba Allah yang ditugasi untuk beribadah.Oleh karenanya,mereka tidak akan merasakan hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.<br />
FUNGSI DAN PERANAN MANUSIA<br />
Berpedoman kepada QS Al Baqoroh 30-36, maka peran yang dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran allah dan sekaligus pelopor dalam membudayakan ajaran Allah. Untuk menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi pelopor pembudayaan ajaran Allah, seseorang dituntut memulai dari diridan keluarganya, baru setelah itu kepada orang lain.<br />
Peran yang hendaknya dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, diantaranya adalah :<br />
1. Belajar (surat An naml : 15-16 dan Al Mukmin :54)belajar yang dinyatakan pada ayat pertama surat al Alaq adalah mempelajari ilmu Allah yaitu Al Qur’an.<br />
2. Mengajarkan ilmu (al Baqoroh : 31-39) ilmu yang diajarkan oleh khalifatullah bukan hanya ilmu yang dikarang manusia saja, tetapi juga ilmu Allah.<br />
3. Membudayakan ilmu (al Mukmin : 35 )<br />
Ilmu yang telah diketahui bukan hanya untuk disampaikan kepada orang lain melainkan dipergunakan untuk dirinya sendiri dahulu agar membudaya. Seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.<br />
Manusia terlahir bukan atas kehendak diri sendiri melainkan atas kehendak Tuhan. Manusia mati bukan atas kehendak dirinya sendiri Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruhnya berada ditangan Tuhan Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun hukum yang penuh dengan rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya.<br />
Kuasa memberi juga kuasa mengambil Betapa piciknya kalau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi. Sebaliknya menangis duka dan penasaran Sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita. Yang terpenting adalah menjaga sepak terjang kita Melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran Kejujuran dan keadilan?Cukuplah Yang lain tidak penting lagi.<br />
Suka duka adalah permainan perasaan. Yang digerakan oleh nafsu iba diri Dan mementingkan diri sendiri. Tuhanlah sutradaranya, Maka manusia manusia adalah pemain sandiwaranya Yang berperan diatas panggung kehidupan Sutradara yang menentukan permainannya Dan ingatlah bukan perannya yang penting Melainkan cara manusia yang memainkan perannya itu.<br />
Walaupun seseorang diberi peran sebagai seorang raja besar, Kalau tidak pandai dan baik permainannya ia akan tercela. Sebaliknya biarpun sang sutradara memberi peran kecil tak berarti Peran sebagai seorang pelayan atau rakyat jelata Kalau pemegang peran itu memainkannya dengan sangat baik Tentu ia akan sangat terpuji dimata Tuhan juga dimata manusia.<br />
Apalah artinya seorang pembesar Yang dimuliakan rakyat Bila ia lalim rakus dan melakukan hal hal yang hina. Maka ia akan hanya direndahkan dimata manusia Dan juga dimata Tuhan. Sebaliknya betapa mengagumkan hati manusia Yang menyenangkan Tuhan Bila seorang biasa yang bodoh miskin Dan dianggap rendah namun mempunyai sepak terjang Dalam hidup ini penuh dengan kebajikan Yang melandaskan kelakuannya pada jalan kebenaran. Maka mereka itulah yang paling mulia dimata Tuhan.<br />
“Wahai orang orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan, diatasnya terdapat malaikat malaikat yang bengis dan sadis yang tidak mengabaikan apa yang diperintahkan kepada mereka, dan mereka melakukan apa yang diperintahkan”<br />
Itulah firman Allah yang diberikan kepada manusia dalam menjalankan peranannya selama hidup di muka bumi.Peran terhadap diri sendiri dan keluarga.Bukan diawali dari peran untuk keluarga atau pun negara tapi justru peran itu ditujukan untuk diri sendiri sebelum berperan untuk orang lain.Peranan seseorang harus dibangun dari dalam diri sendiri secara terus menerus untuk mendapatkan hasil yang maksimal,ketika sebuah pribadi telah menguasai peranannya untuk diri sendiri, barulah bisa berperan untuk orang lain,terutama keluarga.Ada sebuah kata kata dari seorang teman yang pernah berbagi dengan saya tentang masalah berderma. Dia berkata pada saya”kawan untuk kita bisa memberikan sesuatu kepada orang lain tentunya kita harus dalam kondisi lebih terlebih dahulu, tidak mungkin kita dalam kondisi kekurangan terus kita meberi untuk orng lain”.Jadi untuk bisa membangun sebuah keluarga, kelompok, negara dan mungkin yang lebih besar lagi maka haruslah menjadi kewajiban kita untuk bisa terlebih dahulu membangun diri kita.<br />
TANGGUNG JAWAB MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH<br />
Tanggungjawab Abdullah terhadap dirinya adalah memelihara iman yang dimiliki dan bersifat fluktuatif ( naik-turun ), yang dalam istilah hadist Nabi SAW dikatakan yazidu wayanqusu (terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah).<br />
Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggungjawab terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahliikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman dari neraka).<br />
Allah dengan ajaranNya Al-Qur’an menurut sunah rosul, memerintahkan hambaNya atau Abdullah untuk berlaku adil dan ikhsan. Oleh karena itu, tanggung jawab hamba Allah adlah menegakkan keadilanl, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman dengan ajaran Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kenungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, Abdullah harus senantiasa melaksanakan solat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran (Fakhsyaa’iwalmunkar). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran (Al-Imran : 2: 103). Demikianlah tanggung jawab hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.<br />
TANGGUNG JAWAB MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH ALLAH<br />
Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan , wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.<br />
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya.<br />
Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimilikitidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang.<br />
Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hokum-hukum Tuhan baik yang baik yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam QS 35 (Faathir : 39) yang artinya adalah :<br />
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafiranorang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lainhanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”.<br />
Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifan adalah realisasi dari pengabdian kepada allah yang menciptakannya.<br />
Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajad manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah, seperti fiman-Nya dalam QS (at-tiin: 4) yang artinya<br />
“sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.<br />
KESIMPULAN<br />
Manusia adalah mahluk Allah yang paling mulia,di dalam Al-qur’an banyak sekali ayat-ayat Allah yang memulyakan manusia dibandingkan dengan mahluk yang lainnya.Dan dengan adanya ciri-ciri dan sifat-sifat utama yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia menjadikannya makhluk yang terpilih diantara lainnya memegang gelar sebagai khalifah di muka bumi untuk dapat meneruskan,melestarikan,dan memanfaatkan segala apa yang telah Allah ciptakan di alam ini dengan sebaik-baiknya.<br />
Tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah SWT.Semua ibadah yang kita lakukan dengan bentuk beraneka ragam itu akan kembali kepada kita dan bukan untuk siapa-siapa.Patuh kepada Allah SWT,menjadi khalifah,melaksanakan ibadah,dan hal-hal lainnya dari hal besar sampai hal kecil yang termasuk ibadah adalah bukan sesuatu yang ringan yang bisa dikerjakan dengan cara bermain-main terlebih apabila seseorang sampai mengingkarinya.Perlu usaha yang keras,dan semangat yang kuat ketika keimanan dalam hati melemah,dan pertanggungjawaban yang besar dari diri kita kelak di hari Pembalasan nanti atas segala apa yang telah kita lakukan di duniaal-imamu-imam Malikhttp://www.blogger.com/profile/16816796153564803975noreply@blogger.com1